Teks Proklamasi Dibuat Tergesa-Gesa - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
27/08/2006

Goenawan Mohammad: Teks Proklamasi Dibuat Tergesa-Gesa

Oleh Redaksi

Bagi generasi sekarang, perayaan 17 Agustusan sudah kehilangan daya magisnya; bak ritual tanpa makna. Tapi bagaimana orang-orang terdahulu memaknai kata merdeka dan membayangkan konsep Indonesia setelah terlepas dari belenggu penjajah? Berikut perbincangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Goenawan Mohamad, esais yang saban minggu menulis Catatan Pinggir di Majalah Tempo, Kamis (17/8) lalu.

Bagi generasi sekarang, perayaan 17 Agustusan sudah kehilangan daya magisnya; bak ritual tanpa makna. Tapi bagaimana orang-orang terdahulu memaknai kata merdeka dan membayangkan konsep Indonesia setelah terlepas dari belenggu penjajah? Berikut perbincangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Goenawan Mohamad, esais yang saban minggu menulis Catatan Pinggir di Majalah Tempo, Kamis (17/8) lalu. 

JIL: Mas Goen, kalau mengenang masa lalu, apa makna merdeka bagi orang-orang Indonesia yang pertama kali merasakannya di tahun 1945?

GOENAWAN MOHAMAD: Jika membaca atau melihat semacam memoir, cerita fiksi, atau catatan apapun pada hari-hari itu, tampak sekali adanya antusiasme yang meluas untuk merdeka. Selalu ada pendapat yang mengatakan bahwa perjuangan dan kemerdekaan Indonesia hanya pekerjakaan elitis, karena perubahan politik kadang-kadang hanya dikerjakan sekelompok elit. Pendapat demikian tidak tepat.

Suatu kelompok elitis tidak akan bertahan lama dan tak akan mampu mengubah keadaan tanpa dukungan popular secara langsung. Kalau kita melihat potret-potret setelah proklamasi kemerdekaan, dan terutama tentang rapat umum di IKADA, jelas sekali terlihat adanya antusiasme banyak orang, dan itu bisa dimengerti. Sudah lama orang mendengar kata merdeka, dan sudah lama pula mereka dijanjikan untuk itu setelah merasakan ketidakadilan yang tampak sekali di masa-masa penjajahan.

JIL: Kalau membaca Sejarah Indonesia Modern yang dikarang sejarawan asal Australia, MC Ricklefs, kita akan tahu bahwa ketika proklamasi Indonesia merdeka diikrarkan Soekarno-Hatta, banyak sekali yang berlum tahu....

Betul, yang mendengarkan ikrar kemerdekaan Soekarno-Hatta itu mungkin tak banyak. Tapi pada hari-hari berikutnya, dukungan makin meluas. Itu disebabkan media berkomunikasi waktu itu memang masih sangat terbatas. Pada zaman Jepang, radio dikontrol pemerintah Jepang dan orang Indonesia yang punya radio juga tak banyak. Tapi melalui gerakan-gerakan politik zaman itu, berita tentang kemerdekaan bisa juga disiarkan. Saya pernah mendengar cerita Ibu Trimurti yang kenalan orang tua saya. Konon, dia harus mengabarkan berita tentang kemerdekaan itu sampai ke Jawa Timur dengan memakai mobil yang bobrok. Usaha-usaha demikian banyak sekali dilakukan oleh para aktivis politik saat itu.

JIL: Apa komentar Anda tentang teks proklamasi yang tampak tidak dipersiapkan secara matang. Misalnya, ada kalimat ”...hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dll...”?

Teks proklamasi itu memang dibuat dengan sangat tergesa-gesa. Tapi justru karena itu tampak makna pentingnya teks tersebut. Itu menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia lebih merupakan keputusan yang diambil di tengah-tengah ketidakpastian dan bukan program yang sudah jadi. Menarik sekali memperhatikan kalimat ”dan lain-lain” itu. Itu sudah menunjukkan bahwa pada akhirnya, bukan proklamator, bukan bapak pendiri bangsa saja yang akan mengisi kemerdekaan, tapi juga generasi berikutnya. Tidak ada suatu dogma atau program yang sudah pasti mengenai apa yang akan dilakukan oleh Indonesia setelah merdeka. Kemerdekaan hanya disebut sebagai jembatan emas. Dengan demikian, ada fleksibilitas yang cukup luas di situ untuk membangun bangsa ini.

JIL: Apa itu juga menunjukkan bahwa para proklamator kita belum begitu tahu tentang konsep negara sepeti apa yang hendak mereka bentuk setelah merdeka?

Itu tidak benar. Sebab, sebelum 17 Agustus 1945, sudah ada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang waktu itu memilih Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pemimpin, dan sudah pula merumuskan draf konstitusi yang disebut UUD 1945. Tentu harus diakui, UUD 1945 itu memang belum sempurna dan sudah dikatakan pula di dalam sidang bahwa itu tidak sempurna. Namun begitu, sudah ada dasar-dasar yang ditentukan, misalnya soal wilayah atau bentuk negara; kerajaan atau republik. Mungkin perdebatan seperti itu sekarang sudah dianggap tak diperlukan lagi. Tapi pada waktu itu, ada panitia yang nyeletuk mempertanyakan kita ini mau jadi negara kerajaan atau republik? Itu menunjukkan bahwa isu-isu seperti itu sudah dibicarakan dan ditentukan.

JIL: Dari buku-buku sejarah kita juga tahu bahwa kelahiran Indonesia bukanlah proses persalinan yang mudah. Ada masa-masa transisi yang berdarah-darah dari negara kolonial ke negara merdeka. Gejolak yang tak kalah besarnya terjadi di masa Revolusi 1945-1950. Tapi yang menarik, apa yang membuat orang Indonesia mampu menyatukan diri?

Sebetulnya, ide kesatuan Indonesia tidak lahir pada tahun 1945 itu, tapi di tahun 1925. Itu secara resmi sudah dikatakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Kemudian semangat itu dikukuhkan lagi lewat Sumpah Pemuda tahun 1928. Jadi, ada masa yang agak intensif selama 20 tahun untuk mengartikulasikan tentang apa keindonesiaan itu. Memang tidak sempurna, sebagaimana laiknya suatu artikulasi apapun.

Tapi gagasan tentang Indonesia sudah ada, sehingga artikulasi yang sesederhana itu menjadi semacam mitos yang mengandaikan kita ini satu bangsa, satu negara, satu tanah air. Mitos itu kemudian menjadi penting dan selalu dipelihara dan dikembangkan. Dan jangan lupa, selain penderitaan yang sama dan aspirasi untuk keadilan di era penjajahan, ada faktor kesamaan bahasa yang membantu kita untuk bersatu. Bahkan, itu merupakan modal luar biasa yang tidak dimiliki oleh India atau negeri-negeri semacam Philipina sekalipun. Jadi sebetulnya, bahasa Indonesia itu bahasa Indonesia-Melayu.

JIL: Tapi bahasa Melayu kan hanya digunakan oleh sedikit orang, tidak seperti bahasa Jawa yang populasinya paling banyak…

Kalau dikatakan bahasa Jawa digunakan oleh mayoritas, itu tidak betul. Sebab, bahasa Jawa yang kita kenal ”baik dan benar” itu, kan hanya bahasa Jawa yang basisnya di Solo dan Jogja saja. Nah, bahasa orang Pekalongan kan lain. Bahasa Banyumas juga lain. Bagaimana dengan Tegal?! Meski sama-sama Jawa, tapi semuanya beda-beda. Saya tidak tahu dari mana akar anggapan seperti itu. Tapi sungguh tidak betul kalau bahasa Jawa dianggap bahasa mayoritas. Semua bahasa lokal itu bersifat minoritas.

Bahasa Melayu justru sebaliknya. Ia sudah dipakai sebagai bahasa perdagangan antarkawasan sejak berabad-abad. Bahkan, sebelum tahun-tahun kemerdekaan, bahasa Melayu sudah digunakan oleh media massa yang umumnya dikelola oleh kalangan Tionghoa. Jadi, bahasa Melayu itu sudah seperti bahasa Inggris sekarang ini. Bahasa Inggris orang Singapura dan India kan tetap sama?!

JIL: Bagaimana dengan dukungan dunia internasional atas kemerdekaan Indonesia; Anda bisa gambarkan konfigurasinya?

Saya kira dukungan pertama datang dari negara-negara Asia dan Afrika seperti Mesir dan India. Dan tentu saja, Amerika Serikat punya aspirasi yang tidak jauh berbeda dengan dunia-dunia progresif saat itu: mendukung dekolonisasi. Kalau kita melihat prinsip-prinsip di 14 pasal yang diajukan Presiden Amerika menjelang terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, masalah kemerdekaan nasional suatu bangsa sudah pula disebut-sebut. Jadi, Amerika masa itu memang bersemangat melakukan dekolonisasi, meski dengan catatan: lebih baik sebuah negara itu menjadi negara nasional daripada negara komunis. Tapi memang, Amerika saat itu lebih mengerti tentang aspirasi kemerdekaan dibandingkan Inggris, Prancis, bahkan Belanda.

Dan saya kira, pada tahun 1940-an-1950-an, wacana yang terkuat di Amerika memang mengatakan bahwa kolonialisme adalah gagasan yang buruk. Amerika kala itu lebih progresif daripada Eropa. Tapi sebetulnya juga, wacana seperti itu tidak hanya terjadi di Amerika karena di Eropa juga ada dua penilaian tentang kolonialisme. Kaum buruh dan kaum kiri biasanya pro-dekolonisasi. Jadi, dukungan datang juga dari Eropa.

JIL: Kini, Amerika sebagai negara paling kuat di dunia justru tidak mendukung kemerdekaan Palestina dari Isreal. Apa itu yang membuat Palestina susah merdeka sampai sekarang?

Memang, pemerintahan Bush saat ini merupakan pemerintahan yang paling konservatif, paling kanan, tidak terbuka, dan tidak nyaman dengan ide-ide kebebasan negara di dunia ketiga, terutama Palestina. Pemerintahan Amerika kini adalah pemerintahan yang secara ideologi dipengaruhi sangat kuat oleh gambaran tentang Palestina yang dibentuk oleh para fundamentalis Kristen.

Mereka menganggap bahwa problem Palestina itu bisa diterjemahkan dengan bahasa Injil. Di sana kan ada gerakan yang disebut Yudaisme-Kristen. Maksud saya adalah orang-orang Kristen yang mendukung Israel bukan karena setuju dengan keberadaan Israel saja, tapi karena di sana ada kepercayaan tentang pentingnya perang untuk menjemput zaman baru. Pandangan ini memang gila, tapi kekuatan mereka riil. Itu belum lagi ditambah lobi Israel yang cukup berpengaruh di Amerika.

JIL: Kalau balik lagi ke Indonesia, kita tahu juga bahwa dukungan negara-negara Sekutu juga punya dampak terhadap kemerdekaan Indonesia. Seberapa besar konsesi yang diberikan Indonesia pada mereka setelah merdeka?

Saya tidak melihat diberikannya konsesi yang berlebih-lebihan oleh Indonesia pada mereka. Waktu itu, konsesi yang diminta tentu saja dalam bentuk investasi. Dan investasi asing di Indonesia, sampai tahun 1958-an memang terpelihara dengan baik. Tapi itu bukan berarti mesti jelek, karena bisa juga berarti ekonomi dapat berjalan dengan modal asing. Itu berbeda dengan apa yang terjadi setelah tahun 1958an, ketika para birokrat negara mulai korupsi. Dan budaya korupsi itu hanya terjadi di Indonesia setelah tahun 1958.

JIL: Bagaimana dengan konsesi politik dan ideologis?

Saya tidak begitu ingat soal konsesi politik. Tapi konsesi politik juga tergantung pada formasi politik Indonesia di dalam negeri. Jangan lupa, pada waktu itu dunia sedang dalam masa Perang Dingin antara blok komunisme dengan Amerika. Indonesia mau tidak mau juga terpengaruh oleh kecamuk Perang Dingin. Gerakan komunisme di Indonesia sudah dianggap sebagai bagian dari komunisme dunia yang oleh beberapa elemen negara lain juga dianggap asing. Dan saat itu, kalau ada percaturan politik untuk menjadi negara komunis atau tidak komunis, itu sudah inheren dengan formasi politik yang ada di dalam negeri Indonesia sendiri.

JIL: Kalau bicara soal pertarungan ideologi saat itu, bukan hanya soal komunis-tidak komunis, tapi Indonesia juga mengalami tarik-menarik ideologis antara islamisme, nasionalisme, dan sosialisme. Apa yang paling dominan saat itu?

Sebetulnya, apa yang diinginkannya Islamisme dari negara.yang pada masa itu tidak begitu jelas. Memang ada ide mendirikan negara Islam yang diusahakan oleh Darul Islam, bahkan dengan perang gerilya oleh Kartosuwiryo. Ada juga ide tentang perlunya negara Islam yang diperjuangkan lewat konstitusi oleh kelompok Masyumi dan NU di tahun 1955. Ideologi sosialisme juga muncul bermacam-macam rupa. Ada komunisme, dan ada pula sosialisme-demokrasi.

Memang (pertarungan ideologi masa itu) lebih gemuruh dari sekarang, karena orang belum banyak mengalami kekecewaan terhadap ideologi-ideologi. Tapi pada dasarnya, arus yang paling kuat di Indonesia, seperti di mana-mana juga, selalu yang moderat; yang tidak ingin terlalu ke kiri atau ke kanan. Dan itulah yang kemudian disebut sebagai nasionalisme.

JIL: Bagaimana menjelaskan tidak dipakainya Piagam Jakarta oleh para pendiri bangsa dalam rumusan Pancasila, Mas?

Kebetulan saya membaca beberapa notulen dari rapat persiapan kemerdekaan. Di sana terasa sekali keinginan banyak orang untuk tidak mengadopsi Piagam Jakarta dalam praktek bernegara. Pertama, keinginan untuk bersatu memang begitu besar, dan karena itu, kalau Piagam Jakarta dipaksakan sebagai dasar negara, ditakutkan akan terjadi perpecahan. Dan resiko bagi bangsa Indonesia yang baru muncul besar sekali pada masa itu.

Yang kedua, mungkin tidak jelas betul apa yang disebut dengan syariat Islam di dalam Piagam Jakarta itu. Apa yang dimaksud dengan ”kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”? Kalau agama begitu kuat tertanam dalam sanubari setiap masyarakat Islam, bukankah tak perlu adanya negara yang mengatur pelaksanaan syariat Islam?! Tidak perlu ada campur tangan polisi atau administrasi negara untuk hal itu. Dan ini saya kira yang masih jadi bagian dari kearifan dan pendirian banyak orang ketika itu.

Saya ingat, pada persidangan konstituante tahun 1955, salah seorang pembicara mengatakan bahwa negara itu mengandung watak kekerasan. Memang, negara menganut unsur kekerasan; satu-satunya institusi yang berhak memaksa dan lain sebagainya. Nah, kalau syariat dimasukkan ke dalam aturan negara, maka orang akan dipaksa untuk sesuatu yang tidak semestinya. Sehingga imannya itu menjadi iman yang palsu.

JIL: Apakah perda-perda bernuansa syariat yang kini banyak bermunculan sudah menyimpang dari kehendak para pendiri bangsa Indonesia?

Seandainya Bung Karno dan Bung Hatta masih hidup, apakah perda-perda yang ada saat ini akan mereka setujui? Saya kira, pasti mereka tidak setuju. Saya juga termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan Piagam Jakarta. Sebab, yang dipersoalkan pada masa itu adalah bagaimana kita merdeka bersama-sama. Lalu beberapa orang yang punya aspirasi Islam mengatakan, kita memerlukan peraturan khusus untuk orang Islam. Tapi karena peraturan untuk umat yang lain memang tidak ada di waktu itu, aspirasi mereka jadi mudah untuk dikalahkan.

Bagaimana dengan yang sekarang? Setahu saya, sejak kita punya iklim pemikiran bebas lagi dan sejak adanya perumusan kembali konstitusi, jelas sekali tidak adanya masalah Piagam Jakarta di situ. Kita sudah sepakat memilih wakil-wakil rakyat dan itu dipilih dengan bebas dan tanpa mencantumkan Piagam Jakarta di dalam konstitusi yang kita punya. Nah, kalau ada orang yang ingin kembali melakukan itu, menurut saya itu sudah melanggar konstitusi.

JIL: Mas Goen punya penilaian tentang sistem ekonomi yang dipraktekkan Indonesia sejauh ini?

Ketika kita merdeka, para pendiri republik ini memang punya kecenderungan sosialisme yang kuat. Jangan lupa, banyak dari mereka-mereka itu yang menafsirkan kolonialisme sebagai akibat dari kapitalisme. Itu tafsiran umum di dunia yang tentu saja sangat dipengaruhi oleh Marxisme. Di situ dikatakan, imperalisme adalah tingkatan tertinggi dari radikalisme. Mereka menganggap kolonialisme tidak adil, dan memang tidak adil. Karena itu, alternatifnya adalah sosialisme.

Lalu ketika Indonesia merdeka, sebetulnya kombinasi antara sosialisme dengan pasar bebas mulai dipraktekkan secara bersamaan. Sehingga waktu modal asing masuk, tetap saja pemerintah punya peran besar dalam beberapa sektor kecil. Kemudian di tahun 1958, semua perkembangan itu diganti menjadi sosialisme saja. Ekonomi terpimpin mulai diterapkan. Sektor perkebunan mulai dipegang oleh camat, bahkan harga-harga ditentukan oleh pemerintah.

Tapi akibatnya: perekonomian macet. Karena kita tahu, seorang pejabat negara, apalagi tentara, belum tentu betul-betul memikirkan produksi, tapi lebih dulu memikirkan kantongnya sendiri. Sekarang, setelah Orde Baru runtuh, sistem ekonomi kita diubah lagi tekanannya pada ekonomi pasar. Tapi penguasaan birokrasi pemerintah juga tetap luas, sehingga korupsi juga meluas. Pertamina yang menguasai sumber-sumber keuangan yang sangat besar, sampai sekarang masih ada problem.

Sementara di negeri lain, bahkan di negeri kita sendiri, sosialisme sudah mulai ditinggalkan demi menyelenggarakan pasar bebas. Karena itu, sekarang perlu menafsirkan kembali cita-cita sosialisme; apakah masih relevan? Apakah unsur keadilan dalam sosialisme harus mulai hengkang? Apakah bisa mewujudkan keadilan tanpa campur tangan korupsi? Nah, itulah dilema-delima yang dialami oleh pemerintah di sini, dan di dunia sekalipun.

JIL: Mas Goen bisa bicara sedikit soal keterjepitan ekonomi Indonesia saat ini?

Saya kira, ada beberapa faktor yang kini menyulitkan perekonomian Indonesia. Pertama, ketika Indonesia mulai bangkit dari krisis ekonomi, di Cina juga ada kebangkitan yang luar biasa ketika mereka menjadi kapitalis. Dan itu menyedot banyak sekali keperluan akan sumber-sumber energi. Harga minyak akhirnya mahal sekali karena permintaan Cina juga luar biasa besarnya. India juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan itu juga menyedot banyak energi. Dengan kata lain, kita berada pada posisi yang tidak beruntung, apalagi produk-produk mulai berebutan di pasaran dunia.

Investasi Indonesia sekarang ini dengan dunia luar sedikit sekali dibandingkan dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Di zaman Soeharto dulu, RRC tidak mau menerima investasi asing karena itu kita banyak ketiban berkah. Sekarang, kita harus bersaing dengan RRC. Itu juga dua faktor ekonomi yang kadang tidak kita perhitungkan. Tapi itu tidak bisa disalahkan pada siapa pun. Biarpun presidennya Bung Karno, ia akan mengalami problem yang sama.

Dengan kata lain, kondisi dunia saat ini memang berbeda dengan tahun-tahun lalu. Apalagi di Indonesia mulai ada terorisme sehingga turis asing tidak mau lagi datang. Ada juga perang di Palistina sehingga pesawat merasa tidak aman, dan orang juga tidak bisa berlalu lintas kesana-kemari untuk menumbuhkan ekonomi.

JIL: Setelah 61 tahun merdeka, semangat menonjolkan identitas primordial kelompok, tampaknya juga makin semarak di Indonesaia. Dengan sendirinya, toleransi berkurang. Apa komentar Anda?

Saya kira soal toleransi itu memang terasa menyedihkan. Contoh yang bagus adalah soal jemaat Ahmadiyah yang tidak boleh beribadah dan beragama menurut apa yang mereka yakini. Mengapa dulu kok boleh?! Saya kira, ini ada hubungannya dengan soal politik identitas itu. Karena kita berhadapan dengan banyak orang, pada umumnya itu akan memperkeras ide-ide sendiri. Lalu, kita tidak lagi menghargai orang lain. Orang Indonesia tidak semestinya terus- menerus seperti itu, karena struktur sosial dan geografis kita mau tidak mau memang berbeda-beda. Kalau kita mau memaksakan satu ide atau satu ajaran saja, pasti akan gagal total. Percayalah!

JIL: 61 tahun Indonesia merdeka. Tantangan terberat apa yang masih kita hadapi?

Pada hemat saya, faktor kepercayaan (trust) orang Indonesia terhadap segala sesuatu sangat berkurang karena korupsi yang merajalela sejak 40 tahun silam. Itu mengakibatkan apatisme yang meluas,dan orang tidak percaya lagi pada segala hal karena ujung-ujungnya duit. Saya kira, itu yang perlu dilawan betul kalau kita ingin mengembalikan kepercayaan orang satu sama lain.

Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan dan sekarang tampaknya sedang terjadi. Suka atau tidak suka dengan pemerintahan sekarang, angka orang yang masuk penjara akibat korupsi tampaknya terbanyak dalam sejarah Indonesia. Dengan demikian, tampaknya ada harapan, karena itu memang tugas yang harus ditunaikan. Jadi, kita memang harus berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan harapan. []

27/08/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq