Waktu Isra-Mikraj Nabi Muhammad
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Demikian jauhnya jarak perjalanan ini, maka Aisyah (isteri Nabi) dan Muawiyah berpendapat bahwa Isra-Mikraj merupakan perjalanan ruhani dan bukan perjalanan fisik-jasmani. Menurut Aisyah, ruh Nabi Muhammad bergerak membelah semesta untuk berjumpa dengan Tuhan, sementara tubuhnya bersemayam di bumi. Pendapat ini ditolak jumhur ulama yang mengatakan bahwa Isra-Mikraj melibatkan jasmani-ruhani Nabi Muhammad secara sekaligus.
Isra-Mikraj adalah peritiwa spiritual yang dialami Nabi Muhammad. Ia dipahami sebagai perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Jerusalem, dan terus membubung menembus dinginnya langit menuju sebuah pucuk yang disebut Sidratul Muntaha. Alkisah, ketika Rasulullah sedang tidur malam bersama para sahabatnya di Masjidil Haram tiba-tiba Jibril datang membangunkan dan membawanya untuk Isra-Mikraj. Thabathaba’i (Tafsir al-Mizan, Jilid XIII, hlm. 22) menyebut bahwa di antara Sahabat yang sedang bersama Nabi saat itu adalah Hamzah ibn Abdul Muththalib, Ja’far ibn Abi Thalib, dan Ali ibn Abi Thalib. Namun, sebuah riwayat seperti dikutip Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib (Jilid X, Juz XX, hlm. 148) menyatakan bahwa Isra-Mikraj tak dimulai dari dalam Masjidil Haram, melainkan dari rumah Ummu Hani binti Abi Thalib. Yang lain lagi mengatakan bahwa start Isra-Mikraj adalah sebuah ruangan dalam rumah Abu Thalib.
Sejumlah literatur Islam menyebutkan bahwa Isra-Mikraj ditempuh hanya dalam satu malam. Perjalanan panjang ini dimulai habis isya’ dan rampung begitu fajar menyingsing. Demikian jauhnya jarak perjalanan ini, maka Aisyah (isteri Nabi) dan Muawiyah berpendapat bahwa Isra-Mikraj merupakan perjalanan ruhani dan bukan perjalanan fisik-jasmani. Menurut Aisyah, ruh Nabi Muhammad bergerak membelah semesta untuk berjumpa dengan Tuhan, sementara tubuhnya bersemayam di bumi. Pendapat ini ditolak jumhur ulama yang mengatakan bahwa Isra-Mikraj melibatkan jasmani-ruhani Nabi Muhammad secara sekaligus. Tentu pendapat jumhur ulama ini tak mudah dikunyah akal sehat dan tak bisa dijelaskan secara saintifik. Bagaimana mungkin benda material seperti tubuh manusia bisa berjalan lebih cepat dari gerak cahaya. Menurut teori Einstein, jika ada benda berjalan secepat cahaya, maka benda itu akan terurai dan hancur menjadi energi. Lalu jumhur ulama berkata, bahwa Isra-Mikraj bukan untuk difalsifikasi, melainkan untuk diimani.
Pertanyannya, kapan peristiwa Isra-Mikraj ini terjadi? Beberapa buku tarikh menjelaskan sejumlah riwayat berbeda perihal peristiwa itu. Pertama, ulama yang berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi pada (diperkirakan hari Jum’at) 27 Rajab. Inilah pandangan paling populer di kalangan umat Islam. Namun, sebagian yang lain berkata bahwa Isra’-Mikraj terjadi di awal (bukan di akhir) bulan Rajab. Kedua, menurut al-Harbi, sebagaimana dikutip al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Jilid V, hlm. 551), Isra-Mikraj terjadi pada 27 Rabi’ul Awwal. Itu juga yang dikatakan al-Zuhri dan Urwah. Ibnu Abbas berpendapat bahwa Isra-Mikraj terjadi pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal. Sebab, pada hari, tanggal dan bulan itulah Rasullah dilahirkan, diangkat menjadi nabi, di-Isra-Mikraj-kan, hijrah ke Madinah, dan meninggal dunia. Ketiga, al-Sudi berpendapat bahwa Isra-Mikraj terjadi pada bulan Dzul Qa’dah. (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz III, hlm. 155).
Bukan hanya bulan yang diperselisihkan, melainkan juga tahun dari peristiwa itu. Ada yang berpendapat bahwa Isra-Mikraj terjadi satu tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Yang lain berkata bahwa Isra-Mikraj diperkirakan terjadi 18 bulan sebelum peristiwa hijrah. Sementara yang lain lagi berkesimpulan bahwa Isra-Mikraj terjadi ketika Khadijah masih hidup. Menurut Yunus ibn Bukair, pasca Isra-Mikraj, Khadijah masih sempat melaksanakan shalat. Ini karena Isra-Mikraj terjadi pada tahun kelima dari kenabian, beberapa bulan sebelum Khadijah meninggal dunia. Bahkan, seperti dikutip Thabathabai (hlm. 30), Ibnu Abbas berkata bahwa Isra-Mikraj terjadi pada tahun kedua dari kenabian. Intinya, ada beragam pendapat. Yang satu berkata tahun ketiga kenabian. Yang lain mengatakan tahun kelima kenabian; tahun keenam kenabian; 10 tahun 3 bulan dari kenabian; 12 tahun dari kenabian; 1 tahun 5 bulan sebelum hijrah; 1 tahun 3 bulan sebelum hijrah; 6 bulan sebelum hijrah.
Kenapa perselisihan seperti ini terjadi? Satu, ketika Isra-Mikraj terjadi tak ada orang yang mencatat dan mendokumentasikannya secara persis. Rasulullah pun dikisahkan tak bisa membaca dan menulis. Soal hari, tanggal, bulan, dan tahun peristiwa Isra-Mikraj di atas sepenuhnya didasarkan pada ingatan para Sahabat, dan bukan pada data rekaman-tertulis yang otentik. Dua, penyusunan kalender Islam pada saat Isra-Mikraj itu belum terumuskan. Dengan demikian, semua soal di sekitar Isra-Mikraj serba tak pasti, misterius, dan tak mudah diverifikasi. Bagi sebagian besar umat Islam, hanya satu yang pasti; bahwa Isra-Mikraj nyata terjadi dan dari situ shalat disyariatkan. Tentang bagaimana terjadinya dan kapan berlangsungnya, para ulama dan sejarawan tak melahirkan sebuah konsensus. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Komentar
Dalam menjustifikasi kisah Isra Mi’raj ada yg berdasarkan sains, bahwa kecepatan yg luar biasa (jarak Masjid al Haram, via Masjid Al Aqsha langsung ke al Mustawa dan kembali ke Makkah) dalam waktu kurang dari setengah malam adalah hal yg tidak mustahil. Kalau zaman sekarang,zaman teknologi canggih, memang betul atau dapat diterima. Sekali lagi,itu terjadi karena kecepatan dg teknologi (teknos: alat, logos: Ilmu) canggih. Bila mencari dalil yg mirip: boleh lihat QS55:33 ("Wahai masyarakat jinn dan manusia,bila kalian sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, (silahkan) lintasi. Kalian tidak akan mampu melintasinya kecuali dengan KEKUATAN”.) Sulthaan=teknologi. Bila hal tsb (berkecepatan tinggi)dilaksanakan oleh jiwa dan raga Rasulullah adalah hal yg mustahil. Kisah seperti ini identik dgn cerita Mahabharata atau Israiliyyat. Maka mejustifikasi kisah Isra-Mi’raj lewat pandangan sains adalah akal-akalan (bukan akal yg benar). Demikian pula, pembenaran itu berdasarkan ayat populer, Kalau Allah menghendaki adanya sesuatu, cukup mengatakan: “KUN FAYAKUN” (Terdapat pada 8 ayat dlm Al Quran, a.l. QS2:117, QS3:47,QS3:59,QS16:40 dst) Kun fayakuunu, jangan diartikan : “Jadilah (engkau) maka terjadi (atau langsung ada)”. Kalau seperti itu yg dimaksud, maka ayat akan berbunyi:"KUN, FAKAANA” (silahkan kaji ulang kata FA YAKUUNU dan kata FA KAANA). Jadi maksud ayat ini menggambarkan Kemahamampuan Allah.Karenanya, kata FAYAKUUNU berarti maka dia (sesuatu yg diingini Allah) akan melalui proses sehingga kemudian eksis (ada). Ihwa ayat pada QS17:1, sama sekali tidak menyentuh apa yg dikisahkan oleh (di antaranya): Anas bin Malik, Malik bin Sha’sha’ah ataupun Abu Dzar Al Ghifari. Maukah Anda membuktikan bahwa Al Quran sama sekali tidak merekomendasi kisah Isra-Mi’raj ?!
Sepertinya tulisan dan pandangan pak Abdul Muqsith Ghazali ttg Isra Mikraj akan mengarah kepada pendapat saya, yakni kisah Isra Mikraj adalah muncul dari pemikiran klenik atau takhayul. Makanya ketika ‘Aisyah mengomentari soal Isra Mikraj bahwa peristiwa itu peristiwa ruhani, memang tepat. Kalau bukan peristiwa ruhani, tentulah sulit kita mempercai turunnya wahyu kpd Rasulullah. Kemudian bila kita lebih meluas dlm membaca hadits yg menyangkut peristiwa tsb., tertulis dlm kitab At Tawhid sbb: “...Qaala: fahbith bismillahi, Qaala: wastayqadha wa huwa filmasjidil haraam”. Artinya:...kata Jibril:"Turunlah engkau (Muhammad) dengan nama Allah”. Kata Anas (perawi hadits tsb):"Dan ia (Nabi) sadar (bangun), bahwa beliau tengah berada di Masjidil Haram. Jumhur ulama berpendapat, melalui penelusuran ayat, bahwa kata “abdihi” *QS17:1) selalu gabungan jiwa dan raga. Kia akan menjawab dg pertanyaan,:Adakah manusia hidup itu, antara jiwa dan raganya terpisah?. Seseorang dikatakan hidup bila bertaut (menyatu) antara raga (fisik) dan jiwa (nafas). Fakta Al Quran menyebutkan dlm QS17:93, di antaranya disebutkan bahwa kafir Kuraisy meminta agar Muhammad NAIK KE LANGIT, DAN MEREKA TIDAK AKAN PERCAYA TTG KENAIKAN ITU, BILA (DARI LANGIT)MUHAMMAD TIDAK MEMBAWA KITAB UNTUK MEREKA BACA RAME-RAME.
Dan talah Allah jawab, “Katakanlah (Muhammad): Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanysa manusia yng mendapat perintah (menyampaikan wahyu)?.”
Nanti saya sambung.
Untuk komentar Abu Hanif, pada 23/7 @ 11.33 am
Berbicara “kalau” (Law (Arab)=andaikata, bilamana,jika + lau) berarti tidak ada kepastian. Berbeda dengan “Laqod” yg pasti terjadinya. Bandingkan FirmanNya dalam QS10:99,"Dan kalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman siapapa saja (semua manusia) di muka bumi ini seluruhnya. Maka apakah engkau (Muhammad)akan memaksa orang, sehingga mereka beriman (semua)?”.Jawaban Rasulullah pasti “tidak (akan memaksa)”. Dan kenyataannya/faktanya/buktinya, jelas bahwa sedikit sekali orang yg beriman, bersyukur dan menyadari. Qaliilan maa tasykuruun, Qalilan maa tadzakkaruun. Jadi kalau bicara kalau Allah mau, berarti belum tentu Allah mau.Jadi iman yg kuat harus mengetahui mana yg Allah mau, dan mana yg tidak mau.
Saya setuju dgn komentar M RCHAM UBAIDILLAH pada 26/7 @ 4.36 pm. Saya tidak pernah risau oleh ceritera/kisah/hadits manapun yg ad di tengah-tengah kita.Namun ketika nalar kita bekerja dan selalu mengikuti alur wahyu/Al Qur-an, kita diperkenankan memilih mana yg hak dan mana yg bathil. Bila kita telah mendalami hadits, harus dipahami bahwa pernah terjadi seleksi hadits oleh tokoh-tokoh hadits (a.l Imam Bukhari dan Imam Muslim), lantaran ada hadits yg patut (shahih, hasan)dan yg tak ptut (dha’if/pseudo), apakah lantaran ihwal periwayatan, personaliti perawi, matan (artikulasi)ataupun kandungan (isi) hadits tsb. Itulah alasan saya selalu berhati-hati thd hadits yg berbau Israiliyyat ataupun Jahiliy. Pengamatan kpd Al Quran yg kental, akan mampu memilih setiap informasi keagamaan (hadits, fatwa ataupun pendapat ‘ulama). Mengimani setiap kredo agama tidaklah harus secara membabi-buta, namun harus ilmiah. Tidak mengimani beberapa hadits, bukanlah secara otomatis berkelompok pada sebutan “inkarus sunnah”. Lagi pula kisah Isra-Mik’raj tidak termasuk rukum Iman ataupun rukun Islam. Tolok ukur keimanan adalah meyakini kebenaran Al Quran, tanpa satu katapun diabaikan. Al Quran adalah wahyu Allah yg dituturkan oleh lisan bersih Muhammad Al Mustafa Rasulullah SAW,bahkan tentang prosesi wahyu jauh lebih hebat ketimbang kisah Isra-Mi’raj.Sedangkan Al hadits adalah pemberitaan tentang Rasulullah yg diangkat dari para shahabat, yg kemudian disebar luaskan oleh para pengikutnya (tabi’in, tab’inattabi’in) dan seterusnya hingga sampai kepada kita sekarang. Yg diperlukan oleh para peyakin Isra-Mikraj,adalah sejauh mana bahwa Al Quran tidak merekomendasi kisah seperti itu.Mari kita buktikan.
tidak akan pernah habis waktu kita untuk membicarakan kebesaran Alloh swt bersama rasullullah muhammad saw...Alhamdulillah kita termasuk orang yg percaya/iman pada peristiwa isra’ mi’raj tsb. Allohu Akbar
Komentar Masuk (22)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)