‘Wisata Spiritual’ di Tahun Duka
Oleh Novriantoni
Dalam kondisi kesejarahan demikianlah skenario Allah berjalan. Nabi diperjalankan (isra’) dan dinaikkan (mi’raj) menuju ke haribaan-Nya. Soal apakah peristiwa itu berlangsung secara pisik saja, atau pisik dan psikis sekaligus, ramai diperdebatkan sejarawan Islam. Namun, polemik itu bukan bagian bahasan kita. Sebagaimana galib terdengar, perjalanan Israk Mikraj, mempunyai misi menjemput kewajiban salat. Proses negosiasi perihal salat ini, dibahas panjang lebar oleh Ibnu Hisyam dalam kitab Al-Sirah Al-Nabawiyyah. Namun sebatas yang kita cermati, makna Israk Mikraj lebih dari itu. Israk dan Mikraj merupakan sebuah ‘wisata spiritual’ yang melampaui batas-batas material-formal kesejarahan.
Dari Republika, 5 Oktober 2002
Setiap tanggal 27 Rajab saban tahun, umat Islam memperingati salah satu kisah besar dalam sejarah nabi: Israk Mikraj. Sebagai sebuah kisah agama yang simbolik—sejajar dengan kisah Adam memakan buah ‘kekekalan’, perahu keselamatan Nuh, pelayaran Musa kecil, dan ‘penyaliban’ Isa—Israk Mikraj juga memiliki makna penting dalam ruang imajinasi umat Islam.
Makna penting itu jika diurai tentu akan memanjang. Israk Mikraj, bisa dimaknai dari sudut pergolakan dakwah nabi, kebenaran doktrin Islam, perjumpaan dengan para nabi lain dan lain sebagainya. Tapi yang jelas, kisah-kisah serupa itu mengarahkan pengetahuan dan kesadaran umat beragama akan narasi besar yang memperkukuh dinamika umat untuk menyaksikan kehadiran Yang Mutlak (Allah). Ini penting, setidaknya demi membendung tergelincirnya sejarah ketuhanan dan agama dari sekadar sejarah dunia yang biasa dan profan (Arkoun, 1996).
Pemahaman seperti yang dikemukakan Arkoun di atas, untuk sebuah momen bersejarah dalam agama, sangat penting dan selalu menemukan signifikansinya. Paling tidak, agama selalu membutuhkan legitimasi tertinggi untuk memperkukuh sisi kebenarannya (truth claim), dan itu terkadang melampaui rasio. Untuk menangkap spirit itu, kesadaran kita digiring untuk melampaui simbol-simbol. Artinya, terkadang kita dituntut untuk melampaui konsep-konsep yang selalu membedakan antara realitas dengan imajinasi, benar dengan salah, sejarah dengan mitos, yang natural dan supernatural. Kisah-kisah simbolik seperti Israk Mikraj terkadang lebih perlu ditangkap sebagai pesan yang mengandung misteri-misteri yang pantas diuraikan hikmah-hikmahnya saja, ketimbang menggali fakta sejarahnya. Dalam rangka itu, kita ingin mengemukakan beberapa hikmah yang mungkin dapat dipetik dari kisah Israk Mikraj yang selalu kita rayakan itu.
Tahun Duka Cita
Kita tahu, secara historis Israk Mikraj (tahun ke-10 kenabian) didahului sebuah tragedi penting: mangkatnya Khadijah (isteri Nabi) dan Abi Thalib (paman). Hilangnya kedua figur yang sedari awal menjadi tulang punggung dakwah itu memiliki implikasi besar bagi suasana psikis nabi. Sejalan dengan itu, kaum Quraisy gencar meningkatkan tekanan-tekanan psikis, ekonomis, dan politis mereka atas nabi dan pengikut-pengikut awalnya. Pahitnya boikot terhadap kebutuhan pangan dan komunikasi, dirasakan nabi dan para sahabat selama kurang lebih dua tahun. Dalam caratan sejarah, tahun-tahun menjelang peristiwa Israk Mikraj itu, akhirnya diberinama ‘tahun duka cita’ (’am al-huzn).
Dalam kondisi kesejarahan demikianlah skenario Allah berjalan. Nabi diperjalankan (isra’) dan dinaikkan (mi’raj) menuju ke haribaan-Nya. Soal apakah peristiwa itu berlangsung secara pisik saja, atau pisik dan psikis sekaligus, ramai diperdebatkan sejarawan Islam. Namun, polemik itu bukan bagian bahasan kita. Sebagaimana galib terdengar, perjalanan Israk Mikraj, mempunyai misi menjemput kewajiban salat. Proses negosiasi perihal salat ini, dibahas panjang lebar oleh Ibnu Hisyam dalam kitab Al-Sirah Al-Nabawiyyah. Namun sebatas yang kita cermati, makna Israk Mikraj lebih dari itu. Israk dan Mikraj merupakan sebuah ‘wisata spiritual’ yang melampaui batas-batas material-formal kesejarahan.
Bahwa pencapaian spiritualitas selalu menggunakan prosesi-prosesi simbolik (pembedahan dada, transportasi burak, guiding Jibril, perjumpaan dengan nabi-nabi lain), tidak ingin kita diskusikan di sini. Titik penting yang ingin kita capai adalah, bahwa setiap manusia membutuhkan spiritualitas yang terkadang justeru melampaui simbol-simbol. Itulah yang kita teladani dari sampel kisah nabi kali ini. Memang, pencapaian spiritualitas dalam pembahasan sosiologi agama, selalu menggunakan simbol-simbol yang disakralkan. Misalnya, kita menyaksikan orang Yahudi merengek dan membentur-benturkan jidatnya ke tembok ratapan; orang Katolik atau Protestan melakukan kebaktian dengan pujaan-pujaan dalam syair yang indah-indah; umat Islam bertandang ke Mekkah mengitari Ka’bah yang berbentuk kubus.
Yang hendak kita tekankan di sini bukanlah simbol-simbol atau ritual-ritual itu sendiri. Penekanan yang berlebihan pada simbol-simbol terkadang malah berakibat celaka, bahkan bisa berpretensi syirik. Orang yang berumrah dan haji saban tahun, tidak serta merta memastikan capaian spiritualitas yang hakiki. Adakalanya simbol-simbol malah menipu dan memalingkan manusia dari esensi spiritualitas sebenarnya: ketundukan (islam) kepada yang Maha Sakral (Allah). Dari poin ini, kita kemudian dapat memahami penegasan nabi, bahwa tidak ada sistim klerikal dalam Islam. Dalam hal spiritualitas, manusia sangat otonom. Otonomi untuk capaian spiritualitas itu, pada gilirannya menjelma menjadi kebutuhan dan unsur penting kesetimbangan hidup (al-tawazun). Hasilnya, capaian spiritualitas itu nantinya menjelma dalam apa yang dikenal dengan ‘kebaikan yang melampaui’. Ini sejalan dengan kredo sufistik yang berbunyi: “Kebaikan menurut standar orang biasa, merupakan keburukan bagi mereka yang mendekatkan dirinya kepada-Nya”.
Kita menyadari, banyak problem-problem hidup yang dipersepsi dapat ditanggulangi dengan pendekatan objektif (hukum, ekonomi, sosial, politik dan budaya), ternyata malah mengecewakan dan membuat hidup hampa makna. Dalam kehampaan inilah, momentum Israk Mikraj sebagai wisata spiritual diharapkan dapat memberi perspektif lain dalam penyelesaian problem-problem keduniaan dan kemanusiaan. Persis sama, Israk Mikraj didahului tahun-tahun duka cita yang mengganggu nabi secara psikis. Wisata spiritual Israk Mikraj ingin menegaskan, bahwa kekuatan, ketabahan, harapan dan tantangan, sedikit banyak dapat ditanggulangi oleh peningkatan spiritualitas. Sekilas bahasan kita berkesan terlalu simbolik. Tapi dalam kasus nabi, Israk Mikraj terbukti menggairahkan, menunjang motivasi, dan lebih dari itu, menumbuhkan perasaan bahwa Tuhan berdekatan dengan hamba-Nya sebagaimana yang diwartakan-Nya dalam al-Qur’an. Dari sinilah munculnya harapan.
Beberapa Butir Hikmah
Kita berharap, kondisi objektif bangsa kita yang tidak menentu dewasa ini, mengingatkan akan makna penting di sebalik kisah Israk Mikraj itu. Kalau boleh memberi istilah, kita tidak ragu menyebut tahun-tahun yang kita hadapi belakangan ini sebagai ‘tahun-tahun duka cita’. Kita tahu, banyak kemajuan-kemajuan dalam materi hukum dan perundang-undangan, tapi lebih banyak lagi pejabat yang justeru tambah lihai berlindung di balik hukum dan perundang-undangan itu. Kita sama-sama mendengar jeritan TKI yang mengais rejeki di negeri Jiran, sehingga terkesan bahwa negeri kita amat miskin. Tapi ironisnya, media massa memberitahu kita nominal ongkos perjalanan pejabat yang bermilyar-milyar. Kita berharap, moralitas dapat kita bangun demi bangsa, tapi justeru kebocoran anggaran di departemen-departemen ‘suaka moral’ yang menyayat hati kita.
Akhirnya, kita kehilangan harapan atas sistim dan perangkat hukum yang kita ciptakan. Kita protes, menuntut kesalehan personal dan sosial meningkat untuk menjadi ‘perahu Nuh’ yang akan mengangkut kita ke puncak keselamatan. Akhirnya kita perlu memeriksa dan mempertanyakan capaian spiritualitas yang kita banggakan sebagai ciri khas Dunia Timur.
Dalam refleksi makna Israk Mikraj kali ini, kita ingin menyarikan beberapa hikmah yang dapat dipetik dari momen-momen simbolik peristiwa itu:
Satu, kita menemukan, bahwa sejarah mencatat prosesi pembedahan dada nabi sewaktu Israk Mikraj. Dari peristiwa itu, kita menangkap simbol pelapangan dada, penyucian hati, penajaman nurani. Lebih spesifik lagi, pembedahan itu beresensi persiapan untuk bermunajat dengan yang Maha Tinggi dan Maha Suci (al-Musayyar, 2001). Dalam realitas kita sekarang, prinsip berlapang dada, mau mengalah, menggunakan nurani dalam relasi-relasi dengan masyarakat dan kekuasaan seolah lenyap. Banyak orang tidak bersedia melampaui batas-batas formal aturan yang diciptakan manusia. Sebagian pejabat yang cacat moral, tidak legowo mengundurkan diri dan melampaui batasan-batasan formal hukum dan konstalasi politik yang menggunakan logika kekuatan. Kebenaran bukan lagi menjadi prinsip, tapi sudah sangat terdistorsi oleh prosedur-prosedur formal. Kebenaran menjadi sangat formal-prosedural.
Dua, kelapangan dada, kerendahan hati dan ketajaman nurani sebagaimana yang dipraktekkan nabi, terlihat sangat penting dalam misi-misi profetik dan sosial demi mereformasi tatanan yang tidak ideal. Fungsinya, sebagaimana yang ditegaskan al-Qur’an, dapat meringankan beban (psikis), mengangkat citra, dan menumbuhkan optimisme, bahwa di balik kesengsaraan ada jalan keluar (QS. Al-Insyirâh: 1-6). Kita menyaksikan, proses reformasi berdampak menyembulnya sikap-sikap negatif yang skeptis, apatis dan pesimis. Momentum Israk Mikraj ini, seyogyanya menjadi inspirasi bagi tumbuhnya sikap-sikap yang positif, demi keberlangsungan reformasi yang kita harapkan.
Tiga, Israk Mikraj juga mengandaikan adanya dorongan untuk belajar dari pengalaman orang lain. Perjumpaan dan dialog antara nabi Muhammad dengan nabi-nabi seniornya, soal-jawabnya kepada Jibril, menandakan bahwa reformasi menuntut kerendahan hati untuk belajar dari banyak kisah gagal dan sukses orang lain. Pengalaman itu sangat bermanfaat bagi nabi sebagai pengemban misi profetik yang penutup. Untuk konteks kita, pengalaman orang lain dapat diajadikan inspirasi bagi penyelesaian problem-problem kebangsaan yang kita hadapi. Dari sini kita juga dapat memahami anjuran al-Qur’an untuk mengambil pelajaran (’ibrah) dari sejarah.
Empat, sebatas yang kita amati, spiritualitas atau perasaan bahwa adanya kontrol yang Maha Tahu atas aktivitas kita, menjadi penting tatkala sistim-sistim yang kita reformasi tidak berjalan dengan ruh yang kita idealkan. Wisata spiritual nabi dalam Israk Mikraj, menunjukkan bahwa spiritualitas sangat penting untuk menuntaskan misi dan visi reformasi. Akhir kalam, sebuah falsafah moralitas mengingatkan kita, bahwa innama al-umam al-akhlaq ma baqiyat, fain hum dzahabat akhlaquhum dzahaba (suatu komunitas akan kekal bersama moralitas; bila moralitasnya hancur, raiblah mereka bersamanya). []
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)