Yang Tetap dan Yang Berubah
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Umat Islam saat ini cenderung memberikan tekanan yang berlebihan terhadap aspek “permanensi” ketimbang “perubahan”; aspek yang “tetap” (al-tsabit) ketimbang yang berubah (al-mutahawwil). “Masa lampau” terlalu kuat menguntit memori masa kini dunia Arab sehingga gerak perubahan ke masa depan terhambat. Ini terjadi pada kehidupan pemikiran, politik, dan kebudayaan.
Komentar
Agama itu hadir untuk manusia. Syariah dan peraturan-peraturan itu pun hadir untuk manusia, diciptakan oleh manusia pula, yang konon disebut sebagai Nabi. Apalagi fikih, ia justru ciptaan para ulama. Sebagai manusia, dengan hormat saya katakan, mereka pun tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan. Ajarannya tidak perlu diabsolutkan. Tidak ada itu hukum Tuhan, yang ada hanyalah Sunnah Tuhan, Sunnah Allah yang bersifat universal dan absolut, menjangkau seluruh makhluk tak peduli latar belakang agama atau bangsanya.
Untuk mengimplementasikan wahyu Ilahi, sang Nabi harus berijtihad, maka lahirlah syariah yang bersifat kontekstual dan partikular. So, mengapa manusia diperbudak oleh syariah? Sebagaimana Mas Ulil bilang, atau Arkoun bilang, jangan sampai agama ini menjadi fosil yang tidak berarti lagi bagi kehidupan. Mari kita segarkan kembali agama ini dengan memaknai kembali substansinya, agar bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.
Islam itu agama yang bisa menyesuaikan diri dengan waktu dan tempat, bukan? Saya kira agama-agama lainpun demikian. Agama-agama itu ‘organisme’ hidup (seperti Mas Ulil bilang, Islam adalah organisme hidup). Musykil zaman menyesuaikan dengan syariah yang stagnan dan statis. Manusia dan kesadarannya senantiasa berevolusi. Bukankah eksistensi (yang mana orang beragama menyebutnya Tuhan) pun selalu berkembang? Mari kita sebagai manusia berkembang bersama Keberadaan alias Eksistensi alias Tuhan itu, jangan mandek nanti malah jadi fosil....[]
Saya berharap Mas Ulil juga harus berimbang untuk menilai bahwa bukti bahwa hal perubahan yang terjadi lebih baik dari hal yang sifatnya tetap.
Kita tidak berhak menilai hal yg sifatnya tetap tidak menguntungkan bahkan merugikan Umat Islam. Jadi kita manusia Islam harus membuktikan(memberi contoh) bahwa sesuatu hal yg telah berubah dan yg akan berubah membawa manfaat bagi manusia Islam.
Umat Islam umumnya dan Arab pada khususnya, tidak takut terhadap perubahan dalam agama. Sebab hal ini berarti melawan sunnahtullah. Tapi, sebenarnya rasa takut ini hanya semata-mata karena yang dihadapi adalah hukum Allah. Kalau tidak hati-hati dalam menyikapi perubahan dalam agama, tentu akibatnya adalah neraka.
Kemudian satu lagi yang mesti saudara pahami, ijtihad jangan samakan dengan berpikir. Kalau Anda defenisikan ijtihad dengan berpikir, maka Anda sudah membelokkan maksud dan tujuan ijtihad itu sendiri.
Mas Ulil, artikel Anda kok hanya separuh2, mengapa anda tidak menjelaskan hal tersebut bisa terjadi begitu.
Contoh yg baru2 ini terjadi (setelah baca di Gatra), Pak Masdar diancam akan dihukum mati jika memaksa memberi ceramah tentang, antara lain, alternatif waktu pelaksanaan haji, di depan mahasiswa Indonesia di Kairo.
Kenapa orang Islam tidak bisa mendengar atau menerima pendapat orang lain yg berbeda. Tidakkah ada ajaran2 dari Rasulullah yg bisa membuat org Islam lebih santun dan lembut? Apakah karena ajaran2 Islam tsb awalnya hidup dan berkembang di lingkungan yg sangat keras (baik kondisi alam maupun manusianya)? Mengapa para guru agama gemar sekali menakut2i muridnya dg api neraka, instead of, menggambarkan Allah sebagai Pencipta yg maha lembut, maha mengerti dan maha pengampun?
Mas Ulil, tulisan Anda mengenai hal ini, saya pikir hanyalah pengulangan dari wacana Anda yang lalu, yaitu pada artikel “perlunya penyegaran kembali pemahaman Islam”. Cuma dalam artikel singkat ini, Anda hanya memperhalus bahasa --tanpa provakatif-- tapi ide besarnya tetap sama. menurut saya, ini adalah kemandegan dan stagnisasi dari ide/wacana Anda --isa jadi juga teman-teman di JIL.
Kmudian saya juga tidak melihat semakin hari Ada --dan juga JIL secara organisasi-- semakin matang, baik secara ide maupun gerakan. Secara ide, JIL sampai hari ini belum mampu melontarkan wacana seperti Cak Nur pada tahun 1970-an tentang sekulerisasi maupun pada tahun 1992 tentang pemaknaan Islam secara generik yang telah mampu memberikan warna baru dalam pemikiran keagamaan di Tanah Air. Secara gerakan, JIL juga mengalami stagnisasi yang cukup mengkhawatirkan. Tiga tahun semenjak pendirian JIL, sampai kini JIL belum mampu --atau memang tidak mau-- mendirikan cabang-cabang ke seluruh Indonesia. padahal secara pesonal, JIL memiliki “asteroid-asteroid” yang mampu dimenembus tatanan nilai dan pemahaman maistream, sehingga dengan peneyebarannya secara merata ke suluruh Tanah Air, wacananya akan semakin cepat berkembang dan diterima di seluruh Tanah Air.
Yang tetap dan yang berubah (ytyb) adalah dua hal yg selalu bergandeng tangan kalau kita mau berpikir secara filosofis (utk ilmu sosial), matematis (untuk natural science). Contoh: begitu banyak model baju; baju Arab, baju model indo, model Barat, model Pakistan, dll. Ini mewakili sesuatu yang berubah berdasarkan geografis/ruang (belum berubah berdasarkan evolusi/waktu). Yang tetapnya adalah menutup aurat seperti tercantum dalam Al-Quran (lupa ayatnya).
Kebanyakan orang berpikir terikat pada ruang dan waktu kekinian, sehingga yang seharusnya sesuatu itu berubah dianggap tetap. Contoh pakaian Arab adalah dianggap satu2nya pakaian islami (dengan perkataan lain, pakai Islam adalah pakaian Arab). Padahal dalam sesuatu itu selalu ada YTYB-nya bukan YT aja atau YB aja.
Dalam istilah lain (terutama science) padanan YTYB adalah yang prinsip yang aplikasi (YPYA). Saya pribadi lebih suka istilah YPYA. YPYA berlaku tak hanya dalam bidang agama tetapi semua bidang. YP bersifat tak terikat ruang dan waktu, YA bersifat terikat ruang dan waktu. Islam adalah YP sedangkan YA-nya adalah budaya Islam Arab tahun/zaman nabi, budaya Islam Arab tahun sekarang, budaya Islam Indonesia zaman Nurcholis Madjid, budaya Islam zamannya JIL, dll.
Dengan pemakai YPYA dalam sesuatu hal membuat Anda mudah dan akurat mempelajari sesuatu dan berfikir merdeka/kreatif dari kurungan ruang dan waktu Anda sekarang. Janganlah memisahkan YP dengan YA atau hidup dengan salah satu aja. Gandengankan tangan selalu YP dan YA.
Saran utk JIL, kalau beragumen sebaiknya Anda pakai sedikitnya YP dari Al-Quran (sukur2 ada YA-nya di Al-Quran atau sejarah Islam) biar umat mudah dan kuat menerimanya.
Bismillahirohmanirohim
Assalamualaikum wr wb
Dan salamsejahtera kepada semua pengunjung JIL
Islam tidak melarang perubahan. Sebaliknya menganjurkan agar umatnya mencari perubahan baik dalam bidang agama ataupun keduniaan. Itu sebab ramai ulama mengakui pintu itjihad masih belum tertutup.
Contohnya saperti mana Saidina Umar yang begitu kuat menganjurkan agar Al-Quran dibukukan, walaupun pada mulanya ditentang keras oleh Saidina Abu Bakar, kerana takut bercanggah dengan sunnah Rasullullah saw. Kerana Nabi saw tidak pernah menyuruh Al-Quran dibukukan pada zamannya.
Begitu juga perubahan dalam zakat fitrah dimana Imam Abu Hanifah dengan fatwanya mengunakan wang adalah sah sebagai ganti pada beras ketika membayar zakat fitrah.
Contoh di atas hanya segelintir saja sebagai bukti yang Islam tidak melarang perubahan. Tapi biarlah perubahan itu membawa erti yang suci dan luhur. Membawa kepada kemashalatan umat. Bukan kepada kerusakan akidah dan amalan yang boleh membawa kepada kehancuran umat Islam dewasa ini.
Sejauh ini usaha JIL untuk membuat perubahan dalam isu-isu Islam belum menghasilkan buah. Sebabnya ialah banyak topik yang dibicarakan oleh Bang Ulil atau JIL dapat dipatahkan dengan hujah dan dalil yang kuat dari pembaca-pembaca.
Nasihat saya ialah, kalau Bang Ulil ingin menganjur sesuatu perubahan biarlah ianya bersesuaian dengan dalil Al-Quran dan Sunnah. Insya Allah saya adalah orang pertama yang akan menyokong Bang Ulil dan JIL.
Sekian, terima kasih
Wassalam
Sa’at bin Mohamed Singapore
ISLAM TAK SEMPURNA Tedi Kholiludin **
Permasalahan “yang tetap” dan “berubah” sebenarnya akan lebih menarik jika dikaitkan sebagai usaha untuk melapangkan jalan bagi mekanisme ijtihad. Meski harus diakui ada pemaknaan yang cukup paradoks dalam dua idiom ini. Yang tetap (sempurna) selalu identik dengan stagnasi, sementara yang berubah sesuai dengan kaidah fleksibilitas.
Dalam surat al-Maidah ayat 3, Allah telah menahbiskan Islam sebagai agama yang sempurna. Sementara dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dikatakan bahwa Allah akan senantiasa mengutus mujaddid di penghujung waktu seratus tahun. Klaim tentang kesempurnaan memang menutup ruang gerak manusia untuk melakukan perubahan (taghyir). Karena segalanya telah sempurna maka tidak ada lagi yang harus dilakukan oleh manusia selain taken for granted dan melanggengkan kesempurnaan itu.
Menurut saya, doktrin inilah yang membuat perdebatan antara kesempurnaan (iktimal al-din) dan perubahan (taghyir) menjadi menarik. Sayang, tulisan Mas Ulil tidak dilengkapi dengan pembacaan metodologi yang cukup komprehensif untuk menengahi dua titik ekstrem ini.
Sekedar meminjam analisa Abdul Karim Soroush, perubahan dan kesempurnaan bisa didamaikan dengan menggunakan pendekatan al-qabdh wa al basth (pengembangan dan penyempitan) dalam memahami agama. Ini dilakukannya sebagai “jihad epistemologis” untuk memperbaiki kerangka berpikir dalam diskursus Islamic Studies. Ia mencoba mendialogkan epistemologi-tradisional Islam (fiqh, tasawuf dan ushul fiqh) dan epistemologi-modern Barat (sosiologi, linguistik dan hermeneutik), untuk mencoba mengakomodir isu-isu aktual, seperti hubungan nalar-wahyu, kebebasan manusia vis a vis ketentuan Ilahi serta relasi Islam dan demokrasi.
Dalam teorinya tersebut, Soroush berpegang pada tiga prinsip fundamental. Prinsip Koherensi dan Korespondensi yang menekankan pentingnya penguasaan manusia akan ilmu pengetahuan, Prinsip Interpenetrasi, serta prinsip Evolusi (ilmu pengetahuan). Soroush memang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai langkah awal dalam memahami Islam.
Teori ini yang kemudian memunculkan preposisi bahwa sebenarnya, kesempurnaan yang ada dalam Islam, hanya terletak pada hal yang bersifat prinsipil (ushul). Penghargaan terhadap kebebasan (huriyyah), keadilan (al-`adalah). Kesetaraan (al-musawah), toleransi (tasamuh) itulah yang sebenarnya telah sempurna dan abadi. Islam menghargai dan menjunjung tinggi apa yang menjadi universal value. Nilai-nilai dasar memang tidak lagi dapat diobrak-abrik karena telah menjadi vonis Allah. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa ushul adalah immutable dan immortal.
Namun, pada permasalahan furu`iyyah kita tidak lagi bisa berapologi bahwa itu juga telah mencapai titik kesempurnaan. Karena pada masalah furu` didalamnya memerlukan tafsiran dan ijtihad yang harus disesuaikan dengan maqashid al-syari`ah (tujuan-tujuan yuridis) nya. Nah, disinilah kita bisa melihat secara transparan, bahwa kesempurnaan Islam (iktimal al-Islam) tidaklah syamil yang meliputi dua wilayah sekaligus (ushul dan furu`).
Sebagai agama, Islam memang seharusnya menjadi agama yang tidak sempurna dan terus berproses merealisasikan kemaslahatan. Karena dengan proses dan berbagai bentuk perubahan itulah Islam akan menampakan diri sebagai agama populis yang senantiasa akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Islam harus terus diuji, dikritik dan diverifikasi untuk mencapai kematangan doktrinnya. Apakah doktrin yang selama ini dipegang dan dilaksanakan sudah sesuai dengan asas al-tasyri` atau tidak.
Dengan demikian, terbukalah pintu ijtihad yang selama ini sering menjadi kekhawatiran. Karena ternyata Islam memang bukan agama yang sempurna segala-galanya. Menurut Imarah, iktimal al-din dan tajdid meski terlihat paradoks, tetapi sebenarnya dua hal tersebut integral dan mencerminkan murunat al-islam.
** Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang, Redaktur Jurnal Justisia
Saat ini umat Islam sangat membutuhkan suatu perubahan. Perubahan dimaksud hanyalah perubahan kondisi dari terpecah belah berubah menjadi bersatu sehingga menjadi kuat/maju/modern/kaya/cerdas. Umat tidak takut terhadap perubahan, justru yang takut terhadap perubahan umat Islam menjadi bersatu adalah pihak2 tertentu.
Pengkondisian atau stigma yang dilakukan oleh pihak2 tertentu dengan menyebarkan isu bahwa umat Islam takut akan perubahan adalah dilakukan oleh pihak2 yang takut akan perubahan umat Islam menjadi bersatu.
Perubahan bukanlah merubah agama itu sendiri, karena Alqur’an tidak perlu dirubah sebab Allah tidak mungkin salah.
Hingga saat ini tidak suatu faktapun yang menyimpulkan jika seseorang mengamalkan Islam secara utuh tidak bisa menjadi doktor, insinyur, jendral, menjadi kaya, dsb.
Tidak memilih sekularisme sebagai pandangan hidup bukanlah berarti takut akan perubahan. Tidak ada istilah permanensi dalam sistem yang kita pilih. Sebagai contoh: komunisme bukanlah sudah usang saat ini, tetapi “sedang usang”, karena who knows 20 tahun ke depan akan laku lagi, begitu juga dengan Islam.
Sekularisme bukanlah suatu keharusan. Kita bebas memilih sistem mana yang akan kita pakai.
Yang sangat mengherankan adalah mengapa ada kelompok yang secara massif berusaha mempengaruhi orang lain, bahkan orang Islam agar meragukan Islam?
Apa maksudnya dan siapa donaturnya?
Salam
Terus terang saja, saya mungkin setuju dengan tulisan Anda. Tapi rasa setuju saja mungkin belum mencukupi, mengingat sebenarnya saya sudah hampir jenuh dengan membaca teks-teks yang berkaitan dengan dekonstruksi pemikiran Islam, yang pada akhirnya lagi-lagi kekuatan politik yang akan kembali mengeruhkan. Saya pikir, untuk membangun pemahaman di kalangan publik, perlu dukungan politik yang sangat kuat, katakan saja negara. Saya mungkin tidak terlalu dalam memahami teologi Islam, mengingat minat saya pada teologi lebih cenderung ke Judaisme dan pemikir-pemikir teologi Kristen semisal Kierkegaard atau Barth.
untuk kali ini saya cukup seneng baca komentar artikel, karena dari 10 tanggapan yang sudah masuk, lebih banyak yang argumentatif dan tidak emosional. dengan anggapan bahwa pemberi komentar artikel adalah orang beragama islam, maka ada contoh juga bahwa orang beragama islam ada/banyak yang tidak emosional dalam menanggapi persoalan agama, dan tetap bisa berpikir dengan tenang, dengan bahasa yg argumentatif dan sopan.
menurut pendapat saya hal itu lebih sesuai dengan perilaku nabi, yang kalau saya denger di pengajian, nabi lebih banyak bersifat tenang, tidak emosional, menghargai perbedaan, bersifat baik terhadap orang lain, bahkan terhadap musuh-musuhnya. karena sifat-sifat nabi yang baik itu maka menjadi dihormati & disegani banyak orang termasuk oleh orang-orang yang pada mulanya membencinya.
Bahasa yang emosional, konfrontatif, tidak sopan, penuh kebencian terhadap yang dianggap “musuh-musuh”, menurut pendapat saya hanya menunjukan sifat kurang percaya diri & kurang cerdas.
sifat konfrontatif dan juga emosional terhadap masalah agama, termasuk terhadap konservatisme, ide-ide perubahan atau pendapat-pendapat baru, menurut pendapat saya, juga terjadi untuk penganut semua agama baik di islam, kristen, yahudi, hindu dll.
Dinamisasi, kalau boleh saya katakan adalah bagian dari sunnatullah. Termasuk dalam lingkup kehidupan Islam. Tetapi bukan berarti harus menggusur elemen-elemen asasinya. Ada yang diijinkan untuk senantiasa diubah, ada juga yang yang tidak. Saya tertarik dengan tulisan Muhammad-Muhammad Isma’il dalam bukunya Al Fikru al-Islamiy, yang intinya--dinamisasi kultur dan tekhnologi adalah sebuah keharusan yang harus juga diikuti oleh ummat Islam, tanpa harus mendekonstruksi identitas imanen-fundamental yang sudah kadung menjadi ijma’ (jelasnya; Rukun Iman). Karena tanpa identitas imanen inilah, maka umat Islam akan terjun bebas menuju jurang nihilisme, seperti yang pernah disinyalir oleh Kanjeng Nabi sebagai “buih di lautan”. Kalau teman2 JIL tetap nekat “memaksakan” konsep gebyah-uyahnya terhadap perubahan fundamental kaum muslimin, maka polemik-polemeik intelektual seperti ini masih akan tetap berlanjut. Saya yakin itu !!!
assalamu alaikum wr wb
sebenarnya, tidak ada yang takut akan sebuah perubahan dalam islam, saya kira, perubahan itu pasti akan ada, sesuai dengan berubahnya zaman, karenanya, letak masalahnya bukan pada masalah tersebut, tapi penekanan pada, sisi manakah islam dapat menampung perubahan, dan sisi manakah islam tidak toleran dalam perubahan tersebut, karenanya, kitaharus jernih untuk senantiasa memilah - milah masalah terlebih dahulu, hingga kita tidak terlalu buru - buru untuk mengatakan bahwa islam saat ini stagnan, karenanya, ada beberapa pertanyaan yang kita harus jawabsecara jernih, 1, apakah islam menerima perubahan ? jika ia, sisi mana saja islam menerima perubahan tersebut, apakah semua sisi dalam islam bisa berubah? jika ia, apakah dari kewajiban sholat yang diwajibkan, bisa berubah hukumnya menjadi sunnah ? apakah hukum kewajiban orang tua pada anak,begitupun sebaliknya bisa berubah dalam islam sesuai dengan perubahan zaman ? 2. apakah tolak ukur kitadalam menerima perubahan tersebut! apakah cukup dengan perubahan zaman saja, hingga kita merubahnya ?? ataukah kita harus memakai tolak ukur lain? 3. dimana sebenanrnya batasan antara yang “tsabit” dan “ mutahawwil”? jangan samapai kita buru - buru untuk mengadopsi perubahan tersebut, hingga kit amasuk dalam pengeralisasian, itu saja mungkin sebagai tanggapan, wassalam
-----
Komentar Masuk (13)
(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)