Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 24/08/2000
 

Kekuasaan dan Takhayul

Adil - Di dalam cerita legenda Jawa maupun Melayu, banyak didongengkan bahwa raja-raja zaman dahulu selalu berusaha memagari kekuasaannya dengan berbagai langkah mistis yang sulit dinalar oleh akal sehat. Misalnya, diceritakan para empu yang pandai membuat keris sakti menjadi langganan raja, karena diyakini keris sakti atau keris bertuah dapat melanggengkan kekuasaan seseorang.

Sampai sekarang berbagai mitos masih menyelimuti kehidupan orang-orang yang masih sangat percaya pada kekuatan magis atau mistik pada umumnya. Bukan saja seorang penguasa negara, kadang pejabat tinggi atau birokrat di tingkat menengah pun jadi langganan dukun atau sering disebut "orang tua". Dukun paranormal terus didatangi pengunjung, karena sebagian masyarakat kita masih percaya klenik, yang diyakini menempel pada diri sang dukun.

Namun kita juga belajar dari sejarah. Tenyata kekuatan mistis yang dianggap ampuh itu, tidak sanggup mempertahankan kekuasaan seseorang atau membentengi sebuah kerajaan, ketika berhadapan dengan penjajah Belanda yang berperilaku sepenuhnya rasional. Tetapi mereka yang percaya klenik, biasanya menggunakan berbagai dalih untuk mengingkari kenyataan sejarah itu.

Kita juga mengetahui pada masa kejayaan Soekarno, diyakini banyak masyarakat bahwa beliau yang seorang insinyur dan sangat rasional, sampai batas tertentu juga percaya kepada dukunisme. Begitu pula cerita tentang Pak Harto dan klenik, sudah menjadi rahasia umum. Barangkali ada juga yang mulai percaya Pak Harto adalah sosok digdaya, karena diselimuti oleh berbagai kekuatan magis. Namun ternyata 'kedigdayaan' tidak bisa bertahan, tatkala harus menghadapi perlawanan mahasiswa dan rakyat yang meminta pergantian kekuasaan.

Dalam kaitan ini, benar apa yang dikatakan Dr. Kuntowijoyo bahwa sejak dahulu sampai sekarang masalah dukunisme masih saja hadir di tengah-tengah kehidupan kita, bahkan tatkala kita hendak membangun demokrasi yang rasional, terbuka, jernih, dan betul-betul dijauhkan dari aroma mistis dan klenik. Maka, ketika Abdurrahman Wahid menghadiri ruwatan di Yogyakarta atau jauh sebelum dia jadi presiden dia sendiri pernah diruwat oleh seorang dukun Romo Tunggul Panuntun dari Solo, maka kita melihatnya dengan rasa keprihatinan yang mendalam.

Sudah tidak pantas lagi buat Indonesia memasuki abad ke-21, masih saja para pemimpinnya percaya pada hal-hal yang bersifat irasional. Memang saya juga harus fair dalam hal ini, maksudnya kita tidak boleh menyinggung keyakinan atau kepercayaan seseorang. Andaikan kegiatan-kegiatan perdukunan itu dilakukan di balik tirai dan betul-betul dijadikan wacana pribadi dan tidak dipublikasikan, saya sepenuhnya bisa memahami. Mengapa? karena dalam alam demokrasi, menjadi hak setiap warga negara untuk melakukan keyakinan atau kepercayaannya, sejauh itu tidak mengganggu kepentingan dan kepercayaan orang lain.

Tapi yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid, saya kira telah masuk ke wacana publik, karena menghubungkan ruwatan dengan kekuasaan. Malah dalam pidatonya pada acara ruwatan di kampus UGM, dia yakin bahwa Betara Kala baginya sudah lewat. Dan, Betara Kala itu disimbolkan para anggata MPR yang berpidato mengritik Gus Dur dalam Sidang Tahunan MPR.

Sekalipun disampaikan secara berkelakar, tetapi substansi kelakar Gus Dur itu tidak elok di dalam mengembangkan demokrasi. Pertanyaannya; kapan kita menjadi dewasa berdemokrasi, kalau di satu pihak kita berupaya mengembangkan sebuah proses kehidupan demokrasi yang serba terbuka dan rasional, namun di lain pihak selalu ada kekuatan yang mengganggu demokrasi itu dengan kepercayaan mistis yang dipaksakan dan diinjeksikan ke dalam kehidupan demokrasi di negara kita.

Paling tidak, ada dua hal yang patut kita cermati dalam menghadapi fenomena takhayul yang dihubungkan dengan kekuasaan. Dari segi akidah, jelas setiap takhayul akan jadi racun yang distruktif bagi keimanan kita. Tetapi yang tak kalah hebatnya, dengan mengembangkan takhayul dengan segala dalih dan selubung itu, sesungguhnya kita sedang menyuburkan tanaman yang sangat berbahaya, yaitu masyarakat dipaksa mempercayai sesuatu yang irasional yang bisa menyebabkan masyarakat mengalami setback luar biasa di dalam mendewasakan kemampuan berpikirnya.

Apabila kita lebih percaya pada batu besar atau penunggu laut Selatan atau Betara Kala dan segala tetek bengeknya, maka mudah dipahami segera akan muncul calo-calo politik yang berpretensi menguasai berbagai takhayul itu untuk masuk ke dalam decision making process Indonesia. Dengan kata lain, dalam pengambilan keputusan, seorang penguasa tidak lagi menggunakan ijtihad politik yang rasional dan berlandaskan kepentingan bangsa, akan tetapi yang dipakai adalah masukan calo-calo politik yang bergelimang takhayul tersebut.

Tentu yang paling berbahaya, apabila sang penguasa sampai terjebak mempercayai bahwa umur kekuasaannya akan ditentukan oleh sejauh mana dia mendengarkan dan melaksanakan setiap masukan dari dukun atau "orang tua" yang paling dipercayainya. Hal ini menjadi musibah bukan saja buat si penguasa, tetapi juga buat seluruh rakyat Indonesia.

Ada cerita bagaimana seorang dukun bisa menguasai seorang raja di Rusia awal abad 20. Pada waktu itu ada seorang dukun dari desa sekitar Moskow bernama Rasputin yang dianggap oleh Nicholas II memiliki keampuhan dan kesaktian, karena dapat menghentikan penyakit hemofilia yang diderita oleh anak sang kaisar. Bermula dari kepercayaan itu, Rasputin kemudian dapat masuk ke dalam jantung kekuasaan Rusia. Malahan akhirnya segala keputusan kaisar Rusia itu ditentukan terutama oleh dukun Rasputin.

Kita tentu tidak mengharapkan di negara kita yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dikembangkan fenomena yang memprihatinkan dan membahayakan, yaitu munculnya dukunisme dan sejenisnya di atas panggung politik nasional. Inilah barangkali perjalanan sejarah bangsa yang cukup memprihatinkan. Ketika kita bersama-sama sedang jatuh bangun menghidupkan demokrasi yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, kita diberi tontonan yang tidak menyegarkan dan tidak mendidik, yaitu model ruwatan secara publik dan disponsori oleh pemerintah sendiri yang dampaknya tentu sangat jauh.

Bagi orang yang beriman, kekuasaan tidak usah dicengkeram atau dipagari dengan mati-matian. Kekuasaan hanyalah titipan Tuhan yang setiap kali bisa diberikan kepada siapa pun, dan setiap kali pula dapat dicabut dari siapa pun. Al-Quran menyindir dalam surat Al-Baqarah, bahwa kita memang akan menemukan orang-orang yang sangat tamak dengan dunia dan kekuasaan. Malahan orang-orang itu ingin hidup seribu tahun lagi. Tetapi Allah mengingatkan, andaipun mereka bisa memiliki usia panjang yang maksimal, tapi mereka tidak pernah akan bebas dari api neraka. Kalau sudah berhadapan dengan wahyu Ilahi, maka wajib bagi kita masing-masing untuk segera menundukkan kepala dan melakukan koreksi diri.

Kekuasaan adalah sesuatu yang sifatnya temporer, sementara, tidak langgeng. Oleh karena itu, sikap kita pada kekuasaan juga harus wajar-wajar saja. Tidak usah terjebak ke dalam berbagai takhayul yang menjerumuskan, karena hal yang saya paparkan di atas merupakan bahaya buat kekuasaan itu sendiri. Lihatlah contoh-contoh yang sudah digelar oleh sejarah di depan mata kita. Kalau kekuasaan sudah harus berakhir, maka dengan cara apapun --dengan mengerahkan seribu jin dan seribu dukun, kekuasaan itu niscaya akan berakhir sesuai dengan takdir Allah.

comments powered by Disqus

Betapa Penting Konsistensi | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2) | Ke mana setelah Sidang Tahuan MPR? | Kekuasaan dan Takhayul | Nasib Kabinet Baru | Kejujuran Pemimpin Bangsa | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1) | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2) | Serba tidak Pasti | Harapan Kita pada Polri | Korupsi adalah Panglima | Sedikit Catatan dari Washington | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1) | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3) | Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq