Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 07/09/2000
 

Kejujuran Pemimpin Bangsa

Adil - Tidak sulit dipahami bahwa kejujuran merupakan masalah yang sangat penting di dalam usaha bangsa Indonesia untuk membangun masa depan yang lebih baik. Kejujuran memang mudah dikatakan dan dipidatokan, tetapi terbukti tidak mudah dilaksanakan. Kita lantas teringat pada hadis Nabi, ketika sahabat bertanya kepada Rasulullah apa yang harus dilakukan agar seseorang dapat masuk surga. Jawab Nabi ringkas, ''Engkau jangan bohong''.

Berbohong dalam arti luas dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu berbohong kepada sesama anggota masyarakat, berbohong kepada Tuhan, dan bohong pada diri sendiri. Dan, bila direnungkan, maka yang terakhir yaitu berbohong kepada diri sendiri merupakan sumber dari kebohongan-kebohongan yang lain.

Saya tidak menyangkal, adakalanya berbohong dengan maksud yang baik sampai batas tertentu dapat dibenarkan. Misalnya, membohongi musuh dalam sebuah peperangan, atau berbohong untuk mendamaikan dua orang yang sedang bermusuhan --dengan mengatakan kepada masing-masing pihak bahwa pihak yang lain sesungguhnya sudah sangat ingin membangun persahabatan kembali, dan tidak ingin memperpanjang permusuhan.

Tetapi pada umumnya kebohongan atau ketidakjujuran itu merupakan sumber malapetaka. Bukan saja bagi mereka yang suka berbohong, tetapi lebih-lebih malapetaka bagi orang yang lain yang tidak pernah ada kaitan dengan kebohongan itu sendiri. Saya tertarik membicarakan masalah kebohongan, karena belakangan kita melihat berbagai kasus yang nerebak dan sangat mengecewakan masyarakat, ternyata akar permasalahannya adalah kebohongan.

Lihatlah, misalnya, pengadilan Pak Harto yang semakin tidak jelas ujung pangkalnya. Sejak Soeharto turun dari kekuasaan, kemudian pada masa Habibie, Andi Ghalib sebagai Jaksa Agung sudah mempertontonkan rangkaian manuver yang akhirnya bermuara pada makin gelapnya kasus hukum mantan presiden itu. Setelah Ghalib diganti Marzuki Darusman dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid, lagi-lagi kasus Soeharto semakin ruwet, tidak jelas, dan kian jauh dari harapan masyarakat. Harapan itu adalah diselesaikannya kasus Soeharto dengan lugas, apa adanya, serta dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum, politik, maupun segi kemanusiaan dan keagamaan.

Salah satu pertanyaan yang mencuat, mengapa hanya soal-soal yayasan saja yang diadili sementara penyalahgunaan kekuasaan Pak Harto selama tiga dasawarsa yang mungkin sekali menyangkut lenyapnya ratusan triliun uang negara, seolah-olah dilupakan. Tidak berlebihan jika kita mengatakan ada semacam ketidakjujuran yang sejak awal sudah bisa dilihat di dalam proses pengadilan Pak Harto.

Demikian juga ketika Joko S. Tjandra yang terlibat dalam skandal Bank Bali, sekarang diputus bebas oleh pengadilan, maka lagi-lagi hati nurani kita tersentak, betapa masalah ketidakjujuran sudah menyelinap jauh ke dalam dunia hukum kita. Memang tidak dapat dipungkiri, politik seringkali mengintervensi hukum, dan mereka yang punya kekuasaan dapat menentukan corak serta isi proses peradilan yang dipertontonkan pada publik.

Dalam kasus Joko S. Tjandra, kita mendapat sebuah pelajaran bahwa seorang yang telah melakukan kejahatan korupsi tapi karena dapat menyulap kejahatannya itu dengan selubung perdata dan dalil-dalil yang lain, kemudian dia lepas bebas dari jerat hukum. Kita juga menyaksikan bagaimana salah seorang pimpinan nasional kita sekarang telah dianggap berbohong dalam masalah-masalah yang sesungguhnya lebih sempit cakupannya, namun juga berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.

Secara demikian, masalah utama kita adalah penegakan kejujuran dalam kehidupan keluarga, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap kali kita membaca hasil laporan penelitian tentang korupsi di negara berkembang, setiap kali pula kita mengalami keterkejutan karena Indonesia selalu berada di urutan paling gawat dalam praktik korupsi di dunia internasional.

Tabloid ini pernah secara dramatis mengungkap bagaimana yang terjadi sekarang ini dapat disimbolisasi sebagai konflik antara maling lama dan maling baru. Tampaknya dalam pandangan masyarakat, masalah korupsi model lama yang masih banyak pendukungnya, kini berhadapan dengan korupsi model baru yang juga tidak kalah banyak pendukungnya. Malah saya terkejut ketika mendengar gurauan sejumlah anggota DPR, bahwa di antara anggota DPR yang melancarkan hak interpelasi dan hak angket pada pemerintah, salah satu motivasinya untuk mendapatkan imbalan dari pihak eksekutif supaya kasus-kasusnya tidak diteruskan sampai ke pengadilan.

Ada yang berkelakar, marilah kita serang Gus Dur dengan hak-hak DPR agar kita kecipratan amplop dan sebagainya. Saya tidak tahu sejauh mana keseriusan dan sendau gurau yang sangat berbahaya itu. Tetapi dalam bahasa Jawa ada ungkapan guyon parikeno, tampaknya sendau gurau tapi ada substansi yang riil dan betul ada dalam kenyataan. Saya tidak bisa membuktikan namun dapat merasakan bagaimana ketika Sidang Tahunan MPR berlangsung, telah terjadi berbagai ketidakjujuran yang berseliweran di gedung Senayan.

Inilah masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan kita sangat malu apabila kita bandingkan praktik kemauan untuk menegakkan clean government bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Seolah-olah di negara kita situasi permisif sudah begitu menggejala secara umum. Permisif di bidang moral, permisif dalam pelanggaran hukum, kejahatan kemanusiaan, penggerogotan uang negara, dsb.

Tentu kita menyadari, sebuah negatifisme yang mulai subur di tengah masyarakat, kalau tidak dihentikan akan menjadi penyakit umum yang menimpa para pemimpin, para anggota masyarakat, para aktivis dari berbagai kelompok sosial, dan tentu hal ini menyiratkan masa depan yang suram bagi republik kita.

Bagaimana masalah kejujuran dan kebohongan menjadi masalah yang sangat puncak, ditunjukkan di Amerika Serikat ketika skandal Clinton-Lewinsky merebak. Rakyat Amerika marah sekali, bahkan mengusulkan sebuah impeachment pada Bill Clinton, karena dia dianggap berbohong pada publik tentang hubungannya dengan Monica Lewinsky. Pada pokoknya dapat dikatakan, Clinton dinilai telah mengingkari instruksinya sendiri pada Lewinsky, untuk menyangkal bahwa Lewinsky kenal baik dan melakukan hubungan-hubungan tercela dengan Presiden AS itu.

Ada hal yang seolah-olah janggal, bahwa kebohongan seorang presiden di Amerika Serikat dianggap serius sampai-sampai kongres melakukan voting, apakah Clinton perlu diimpeach atau tidak. Pelajaran moral dari skandal Clinton-Lewinsky begitu gamblang; sebuah negara akan selamat dan sejahtera bila para pimpinannya menjauhi kebohongan yang tidak dibenarkan bahkan terkutuk di depan agama, hukum, maupun moral kemanusiaan.

Dalam konteks ini kita perlu merefleksikan, sejauh mana masing-masing kita, lebih-lebih para pemimpin bangsa dan aktivis masyarakat telah memegang kejujuran sebagai sikap hidup yang tidak dapat dikompromikan dengan uang, jabatan, atau apapun. Rumusnya begitu jelas, kalau kejujuran telah menjadi pegangan pokok para pemimpin dan masyarakat umumnya, maka keselamatan bangsa pasti terjamin. Sebaliknya jika kebohongan, keculasan, dan ketidakjujuran telah melanda masyarakat, hampir dipastikan secara otomatis keselamatan bangsa tersebut dalam bahaya. Wallahu a'lam.


comments powered by Disqus

Betapa Penting Konsistensi | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2) | Ke mana setelah Sidang Tahuan MPR? | Kekuasaan dan Takhayul | Nasib Kabinet Baru | Kejujuran Pemimpin Bangsa | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1) | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2) | Serba tidak Pasti | Harapan Kita pada Polri | Korupsi adalah Panglima | Sedikit Catatan dari Washington | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1) | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3) | Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq