Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 28/09/2000
 

Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2)

Adil - Dalam kolom edisi pekan kemarin, saya sudah kemukakan betapa arogansi kekuasaan --tetapi sebetulnya sekaligus mencuatkan unsur hipokrisi di dalamnya-- acapkali dipertontonkan secara kasat mata oleh kekuatan-kekuatan Barat. Contoh yang paling mutakhir adalah reaksi Amerika Serikat yang sudah kelewat batas terhadap peristiwa yang terjadi di Atambua beberapa waktu lalu.

Dalam kaitan ini saya ingin mengingatkan bahwa ada contoh-contoh yang begitu jelas di muka bumi, bagaimana sebaiknya sikap yang harus diambil tatkala kita berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Barat yang angkara murka itu.

Ada contoh di mana negara-negara yang ditekan oleh kekuatan eksternal mudah terteror, dan kemudian mencoba menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan eksternal itu. Pada umumnya kita melihat sikap yang demikian, tampaknya luwes dan arif pada jangka pendek. Tetapi untuk jangka panjang, akhirnya sikap seperti itu merupakan sebuah sale off atau penjualan diri secara murah terhadap kekuatan asing untuk kerugian bangsa sendiri.

Saya tidak akan menyebutkan contoh negara yang mengambil sikap demikian, supaya tidak menyinggung perasaan mereka. Tetapi kita tahu bahwa memang banyak model seperti itu yang dalam jangka panjang justru sangat merugikan mereka sendiri. Sementara itu ada sikap yang lebih kesatria dan positif dalam jangka panjang, yaitu sikap istiqomah atau konsisten, dan tidak mudah ditundukkan oleh gertakan-gertakan kekuatan Barat.

Kita bisa melihat Malaysia di bawah Mahatir Mohammad, Libya di bawah Moammar Kadhafi, bahkan Kuba dibawah Fidel Castro, Iran di bawah Presiden Khattami, dan sampai batas tertentu Irak di bawah Saddam Husein --walaupun kasus terakhir ini mungkin bukan contoh yang baik karena memang ada hal-hal yang eksesif yang menyebabkan Irak menghadapi musibah berkepanjangan sekarang ini.

Tetapi, lihatlah Malaysia di bawah Mahatir. Bagaimana negeri jiran itu begitu kukuh menghadapi Barat. Dan, akhirnya Barat memang angkat topi karena Malaysia telah mengambil langkah-langkah yang rasional dan penuh kepribadian. Demikian juga betapa bangganya seorang Khadafi yang memimpin negara dengan penduduk sekitar 5,5 juta orang, ternyata mampu menghadapi tekanan-tekanan Barat dan akhirnya sekarang bisa membangun negaranya secara lebih cepat dan mandiri. Tidak usah kita katakan bahwa Iran juga merupakan contoh yang sangat bagus di dalam mencari jalan keluar bagi negaranya dalam menghadapi tekanan Barat.

Indonesia, saya kira, harus berpikir dengan tangkas dan cepat bagaimana menghadapi tekanan-tekanan Barat yang tampaknya ingin melihat Indonesia pecah berantakan. Saya sangat yakin bahwa makin menguatnya separatisme di "Tanah Rencong" Aceh maupun di "Tanah Papua" Irian Jaya, pasti ada unsur atau elemen-elemen eksternal. Mengapa begitu sulit dua provinsi ini memecahkan masalah-masalahnya, oleh karena telah ada jaringan-jaringan internasional yang menggarap dua provinsi kita yang sangat potensial tersebut.

Tetapi, kembali pada tema kolom ini, akhirnya terpulang kepada kita sendiri juga. Apabila kita mengambil sikap yang loyo dan penuh dengan sifat budak, maka tidak tertutup kemungkinan kita menjadi bangsa yang akan terjajah kembali secara politik maupun ekonomi. Namun kalau kita mampu mengambil sikap yang tegas untuk secara sungguh-sungguh memukul balik arogansi kekuasaan eksternal itu, maka kita justru akan diperhitungkan oleh masyarakat internasional dan kita akan sangat dihargai.

Terus terang saya punya imajinasi yang tidak terlalu cerah. Rekayasa peristiwa Atambua, buat kita semua sesungguhnya sudah terlalu gamblang. Sekarang kita boleh merentangkan imajinasi kita secara proporsional seperti berikut. Kalau sikap, posisi dan perlakuan yang kita ambil dalam memecahkan keresahan di "Tanah Rencong" Aceh dan "Tanah Papua" Irian Jaya hanya seperti sekarang ini, memang tidak tertutup kemungkinan akan ada anak-anak bangsa di sana, yang ingin mencontoh Timor Timur.

Andai kata kekuatan separatisme sudah demikian besar dan melampaui ambang tertentu --sehingga memang sudah didukung secara luas oleh rakyat lokal, maka yang mereka perlukan tinggal satu lagi; yaitu pengakuan internasional. Nah, sekarang bayangkanlah, andai kata suatu ketika ada proklamasi Aceh Merdeka, Papua Barat merdeka, kemudian ada beberapa negara besar yang menyambut proklamasi itu dengan pengakuan internasional, maka selesai sudah riwayat republik yang kita cintai bersama.

Apa yang saya gambarkan di atas, sama sekali bukan hal yang mengada-ada dan dicari-cari. Ini adalah sebuah realitas politis yang sangat getir yang mungkin bisa menimpa kita. Lihatlah, setelah 70 tahun, Uni Soviet bubar menjadi kepingan negara-negara yang lemah dan tidak punya kekuatan seperti pada masa lampau. Lihat juga Yugoslavia, setelah sekitar 65 tahun, negera itu bubar dan pecah berantakan.

Profesor Syafi'i Maarif dalam perjalanan ke Timur Tengah belum lama ini, berulang kali menanyakan pada saya, sampai berapa puluh tahun lagi kita bisa menjaga republik ini kalau yang kita lakukan hanya seperti sekarang. Apakah kita harus tega melihat republik ini bubar gara-gara kebodohan dan kelembekan kita sendiri. Maka tentu sebagai anak-anak bangsa, tidak boleh sedikit pun pernah terlintas di benak kita, bahwa republik kita akhirnya harus bubar.

Untuk menjaga keutuhan republik ini, tentu dibutuhkan sikap yang arif dan tegas dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang sangat destruktif terhadap keutuhan bangsa kita. Kita tinggal melihat bagaimana pemerintah sekarang memberikan reaksi kepada tekanan seorang William Cohen. Kalau di hari-hari mendatang kita bersikap tegas dan mengirimkan pesan yang lugas pada Washington agar tidak bermain-main dengan negara Indonesia yang sangat besar ini, maka kita masih boleh optimis --insya Allah-- republik kita akan dihargai orang.

Tetapi kalau hanya karena seorang William Cohen, kemudian kita mundur teratur bahkan membungkuk-bungkuk di hadapan Amerika Serikat, mungkin yang akan kita temui di masa depan bukan Indonesia yang kuat, bukan republik yang semakin bisa dibanggakan, tetapi sebuah republik yang akan mengalami kekocar-kaciran --dan itu merupakan sinyal negatif buat kita semua. Akhirnya harus kita ingat, masalah menjaga integritas teritorial adalah masalah paling primer yang tentu mengalahkan semua masalah yang sedang kita hadapi.

Tentu saja, ini memerlukan sebuah kepemimpinan nasional yang mempunyai misi jelas tentang apa yang harus kita kerjakan di masa mendatang. Wallahu a'lam.


comments powered by Disqus

Betapa Penting Konsistensi | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2) | Ke mana setelah Sidang Tahuan MPR? | Kekuasaan dan Takhayul | Nasib Kabinet Baru | Kejujuran Pemimpin Bangsa | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1) | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2) | Serba tidak Pasti | Harapan Kita pada Polri | Korupsi adalah Panglima | Sedikit Catatan dari Washington | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1) | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3) | Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq