Korupsi adalah Panglima
Adil - Pada zaman Bung Karno berkuasa, ada semacam slogan yang mengatakan politik harus dijadikan panglima. Artinya, kehidupan nasional bangsa Indonesia harus disubordinasikan pada kepentingan perjuangan politik. Waktu itu kita mengetahui Bung Karno punya obsesi, bahwa Indonesia sedang dikepung oleh kekuatan neo-kolonialis dan neo-imperialis yang ingin menenggelamkan republik ini.
Betul apa tidak, namun waktu itu memang cukup jauh tersosialisasikan bahwa Indonesia yang baru mencoba mengisi kemerdekaannya, telah mendapatkan tekanan yang luar biasa dari kekuatan Barat yang tidak ingin melihat Indonesia mandiri, berkembang dan sejahtera. Oleh karena itulah, Bung Karno memang membenarkan pentingnya politik sebagai panglima. Bahwa kemudian terjadi ekses yang luar biasa, kita sudah mengetahui bersama.
Waktu itu ekonomi Indonesia sampai mengalami keterpurukan yang sangat memprihatinkan. Inflasi rupiah pada masa itu sampai menyentuh angka 600 persen dan kondisi ekonomi Indonesia sungguh morat-marit. Malah ada sebuah dagelan politik, tatkala Bung Karno menantang kembali para pengritiknya yang suka menyalahkan dirinya sebagai tidak menaruh perhatian pada masalah ekonomi. Bung Karno menantang, kalau ada seseorang yang berani jadi menteri ekonomi pada waktu itu, silakan maju. Namun apabila sampai gagal, maka orang tersebut perlu diganjar hukuman yang seberat-beratnya. Dan, ketika ekonomi dalam keadaan morat-marit, maka orang menyalahkan bahwa semua itu gara-gara politik telah dijadikan panglima.
Ketika Pak Harto menggantikan Bung Karno sebagai penguasa negeri ini, banyak orang yang mengatakan di tangan Soeharto "politik sebagai panglima" telah diganti "ekonomi adalah panglima". Seluruh perhatian kepemimpinan nasional seolah-olah dikonsentrasikan pada pembangunan ekonomi semata.
Sampai-sampai ditelikungnya proses demokrasi serta dikuranginya hak asasi manusia dari rakyat Indonesia sendiri, konon dikarenakan ekonomi telah dijadikan panglima. Yang penting, bagaimana Indonesia bisa makmur, income perkapita rakyat bisa naik, volume perdagangan meningkat, dan bagaimana supaya Indonesia bisa lepas dari keterbelakangan ekonomi serta menjadi aktor ekonomi internasional yang cukup disegani.
Namun ternyata "ekonomi sebagai panglima" itu juga telah menelantarkan kehidupan politik bangsa Indonesia. Secara bertahap, demokrasi menjadi semakin lumpuh. Dan, sebagaimana kita ketahui, otoritarianisme Orba telah mampu membawa kita pada eliminasi HAM serta partisipasi politik bangsa Indonesia.
Dengan menjadikan ekonomi sebagai panglima, sudah tentu kehidupan sosial politik bangsa Indonesia dianggap tidak penting dan harus diletakkan menjadi subordinat dari kepentingan ekonomi itu sendiri. Dan, begitu terobsesinya sebagian pemimpin kita dengan menjadikan ekonomi sebagai panglima itulah, maka tanpa sadar kita telah melakukan ketidakadilan dan menelantarkan kepentingan banyak orang, karena hanya mengejar indikasi-indikasi ekonomi yang sifatnya makro --walaupun hal itu mengelabui keadaan rakyat yang sesungguhnya.
Dengan kenaikan income perkapita yang lumayan signifikan, dengan volume ekspor yang lumayan tinggi, dan juga secara kasat mata terlihat jumlah pabrik yang dibangun serta jalan raya --sebagai infra struktur ekonomi yang dibuat semakin banyak, kita menyangka ekonomi sungguh-sungguh sudah take off sekalipun dengan mengorbankan kepentingan sosial dan politik rakyat Indonesia.
Jebul-nya kita mengetahui, bahwa ekonomi sebagai panglima juga sama gawatnya dengan politik sebagai panglima. Namun demikian tampaknya sekarang ini ada situasi yang lebih gawat lagi, di mana banyak orang telah menjadikan korupsi sebagai panglima. Tidak kurang Abdurrahman Wahid sendiri telah membuat kejutan yang luar biasa. Dia mengatakan bahwa tiga konglomerat yang sudah berhasil merontokkan sendi-sendi ekonomi Indonesia karena tersangkut kasus BLBI yang meliputi puluhan bahkan ratusan triliun rupiah, oleh Gus Dur tokoh-tokoh itu dibela dengan jalan menunda pengusutannya sampai --katanya-- tahun 2002.
Orang awam pun tahu, bahwa cara seperti itu akan membuat semakin besar tekad kaum koruptor untuk meningkatkan tindak korupsinya semaksimal mungkin. Dengan contoh yang telah diberikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, maka para konglomerat yang sudah berhasil mencuri kekayaan negara dalam skala yang tidak masuk akal itu akan semakin berani lagi melanjutkan korupsinya di segala bidang kehidupan.
Karena itu, tidak berlebihan kalau kita katakan, pada masa pemerintahan Gus Dur ini yang dijadikan panglima adalah korupsi itu sendiri, dan tentu kita dengan cepat dapat melihat bahaya yang segera timbul. Bisa dibayangkan, kalau para konglomerat hitam yang telah menghancurkan perekonomian nasional justru dibela secara terang-terangan oleh sang Presiden, maka kita akan melihat dalam tempo dekat keadaan yang semakin kacau-balau.
Namun saya masih sedikit bergembira, bahkan ada sedikit pelipur lara. Seluruh media massa, termasuk yang biasanya membela Gus Dur secara membabi buta pun, dalam kasus tiga konglomerat yang dibela Gus Dur ini mereka juga mengeluarkan suara yang kritis dan cukup tajam. Ternyata mereka pun masih punya nurani yaitu tidak pernah setuju adanya penundaan pengusutan terhadap Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, dan Sjamsul Nursalim yang telah terlibat dalam skandal BLBI.
Pertanyaannya, apakah korupsi sebagai panglima yang telah dikembangkan oleh pemerintah sendiri --secara sadar atau tidak, akan ditolerir? Apakah dengan mentoleransi korupsi sebagai panglima, rakyat telah menyadari bahwa kebangkrutan bangsa ini sudah ada di ujung jalan yang tidak terlalu jauh dari kehidupan kita sekarang.
Inilah satu perkembangan yang, menurut saya, sudah sangat jauh karena tampakanya aparat penegak hukum tidak berdaya sama sekali menghadapi korupsi dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kasus Buloggate hanya ramai di dalam forum Pansus DPR, tetapi tampaknya tidak pernah akan ramai bagi aparat penegak hukum, mungkin termasuk pihak kepolisian.
Bagaimana Soewondo telah diskenario untuk mengarahkan Buloggate menjadi kasus perdata semata. Bahkan dari mulut Sapuan dan pengacaranya pun sudah jelas bahwa hal itu akan digiring menjadi urusan perdata. Maka kita segera tahu bahwa hal itu bisa terjadi karena korupsi memang telah menjadi panglima. Korupsi harus dibela. Korupsi harus diamankan. Korupsi harus dilindungi. Dan bahkan kalau bisa, korupsi harus disuburkan oleh orang-orang yang sudah keblinger itu.
Demikian juga ketika Gus Dur dengan tenangnya tanpa merasa bersalah, pergi ke sebuah hotel menemui Tommy Soeharto dan Tutut, sesungguhnya itu menunjukkan korupsi telah menjadi penglima. Bahwa Tommy Soeharto telah melakukan korupsi besar-besaran kemudian telah menjadi terpidana, dan Gus Dur masih sempat pergi ke hotel menemui sang terpidana, maka sesunguhnya hal itu bisa ditafsirkan karena kita sekarang ada di dalam kehidupan di mana koruspi telah menjadi panglima.
Sekarang ini semua terpulang kepada rakyat Indonesia, juga para pemimpinnya baik formal maupun informal, mau diapakan pemerintah yang langsung atau tidak telah menjadikaa korupsi sebagai panglima. Silakan merenungkan hal ini, dan wallahu a'lam.