Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 23/11/2000
 

Sedikit Catatan dari Washington

Adil - Pekan kemarin saya mendatangi seminar internasional Permias ke-1 di Chicago. Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias) mempunyai hajatan ilmiah. Mereka mengundang para mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di berbagai belahan dunia, untuk berkumpul bersama di Chicago dalam sebuah forum pertemuan dan seminar internasional.

Tema seminar cukup menarik, yakni menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia. Seminar itu dimulai dengan mengenang peristiwa sangat bersejarah yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, setelah mengingat Sumpah Pemuda itu, para mahasiswa kita mendiskusikan dari hati ke hati seluruh persoalan bangsa, khususnya gejala-gejala disintegrasi sosial dan disintegrasi teritorial yang semakin tampak nyata.

Dalam forum itu, saya mendapat kehormatan untuk memberikan pidato pembukaan singkat. Juga ikut "memeriahkan" suasana seminar dengan sejumlah teman dari Indonesia seperti Profesor Ryaas Rasyid, Profesor Afan Gaffar, Dr. Imam Prasodjo, Dr. Andi Mallarangeng dan Profesor Taufik Abdullah. Sementara orang Amerika yang berminat tentang studi Indonesia seperti W. Liddle, Jeffry Winters dan Dwight King juga tampak turut serta memeriahkan acara yang digagas dan digelar oleh para mahasiswa kita itu.

Namun yang akan saya tulis dalam kali ini adalah pertemuan saya dengan sejumlah pejabat Amerika Serikat, baik dari kalangan diplomat maupun kalangan departemen luar negeri, yang buat saya menambah keyakinan bahwa memang citra kita sekarang ini makin terpuruk di dunia internasional.

Setelah berpidato dan bertanya jawab kurang lebih 90 menit, dan diakhiri dengan makan siang bersama tokoh-tokoh Amerika tersebut, maka bisa disimpulkan antara lain; bahwa para investor Amerika tidak mungkin akan datang ke Indonesia selama tidak ada jaminan tiga hal yaitu stabilitas politik, supremasi hukum, dan jaminan keamanan.

Yang sungguh menyentak kesadaran saya adalah kata-kata salah seorang dari mereka. Dia mengatakan bahwa kalau Indonesia dalam keadaan kacau terus menerus, maka para investor asing tidak akan mengambil sikap wait and see --menunggu dan melihat perkembangan, untuk kemudian apabila sudah aman mereka akan datang ke Indoneeia.

Tetapi yang dikatakan oleh tokoh Amerika Serikta itu pada saya, "Jangankan mengharap investor asing datang ke Indonesia, mereka yang sedang di Indonesia pun bukan lagi wait and see melainkan pack and go." Artinya, mereka berbenah diri, berkemas-kemas, untuk kemudian pergi cepat-cepat dari Tanah Air kita.

Inilah sebuah cerita yang buat saya agak dramatis, karena Abdurrahman Wahid sudah melanglang buana dengan biaya ratusan miliar rupiah, tetapi masalah pokok kita belum juga bisa kita pecahkan. Siapa pun boleh menambah pelanglangbuanaan Abdurrahman Wahid itu berkali-kali, namun hasilnya akan nol besar selama tiga yang saya sebutkan di atas belum kita benahi bersama.

Sementara itu kita melihat dengan hati yang miris, bahwa negara-negara tetangga kita --kecuali Filipina-- bagaikan angsa-angsa Asia yang mulai terbang tinggi dengan mantap. Kita melihat negara-negara yang sesungguhnya sampai 10 tahun yang lalu masih berada di dalam tataran Indonesia, bahkan mungkin di bawah Indonesia, sekarang ini sudah mulai dengan mantap meninggalkan Indonesia di dalam keterbelakangannya.

Untung masih ada Filipina sebagai pelipur hati lara. Presiden Estrada juga sedang dirundung krisis kepercayaan, sehingga kita merasa masih ada teman dan tidak menjadi tontonan sendirian di panggung Asia khususnya maupun panggung dunia umumnya. Akan tetapi, mencari teman di dalam hal ketidakberhasilan, tentu bukanlah suatu sikap kesatria dan terpuji. Tetapi hanyalah suatu sikap pelarian diri yang sungguh tidak bertanggung jawab.

Yang juga bisa saya ceritakan dari Washington, bahwa mereka juga sulit mengetahui bagaimana mungkin hubungan Washington dengan Jakarta tampaknya semakin lama semakin tegang. Tetapi dalam hal ini saya perlu memberitahu pada mereka, bahwa komitmen bangsa Indonesia kepada perjuangan bangsa Palestina memang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Saya terangkan pada tokoh-tokoh Amerika itu bahwa di mata Indonesia, Amerika memang kurang bersikap berimbang di dalam menghadapi masalah-masalah yang ada di negara berkembang khususnya di dunia Islam.

Ketika serdadu Israel memberondongkan pelurunya ke warga Palestina sehingga 150 orang meninggal percuma, Amerika tetap bergeming seolah-olah menganggap sepi persoalan. Amerika sama sekali tidak mengutuk tindakan keji terhadap warga Palestina itu, bahkan membuat pernyataan penyesalan pun tidak dilakukannya. Sementara ketika ada kerusuhan di Atambua di mana tiga orang pegawai PBB kehilangan nyawa karena tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, maka Amerika segera mengancam Indonesia dengan ancaman yang terlalu jauh. Mereka mencoba menerapkan sanksi dan embargo ekonomi terhadap Indonesia.

Inilah barangkali satu hal yang saya harus katakan apa adanya, karena sebagai bangsa yang besar kita juga harus teguh pendirian. Namun demikian, saya mengharapkan hubungan Washington-Jakarta harus segera dipulihkan kembali. Mengapa? Karena jelas Indonesia akan lebih banyak merugi ketimbang Amerika di dalam hubungan Washington-Jakarta yang memburuk. Malahan saya katakan, Amerika mungkin bisa melupakan Indonesia. Sedangkan Indonesia akan mengalami jalan mendaki, kalau harus melupakan Amerika. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Betapa Penting Konsistensi | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2) | Ke mana setelah Sidang Tahuan MPR? | Kekuasaan dan Takhayul | Nasib Kabinet Baru | Kejujuran Pemimpin Bangsa | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1) | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2) | Serba tidak Pasti | Harapan Kita pada Polri | Korupsi adalah Panglima | Sedikit Catatan dari Washington | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1) | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3) | Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq