Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 30/11/2000
 

Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1)

Adil -
Alhamdulillah, saya dan teman-teman telah menyelesaikan sebuah perjalanan yang cukup melelahkan tapi sangat membahagiakan, yaitu tour Sumatera 2000. Misi muhibah tersebut dinamakan penghayatan kehidupan anak bangsa.

Sesungguhnya asal muasal tour Sumatra 2000 sangat sederhana. Ketika saya pulang dari Jambi bersama sahabat saya Safri Saiman yang aktif di PAN, saya mengatakan ingin meluangkan waktu khusus sekitar 15-20 hari, untuk menyusuri Pulau Andalas agar lebih memahami perikehidupan anak-anak bangsa di Sumatera. Sambil menikmati pemandangan alam yang pasti indah, dan memecah rutinisme kehidupan yang hiruk pikuk di Jakarta, saya ingin menyerap lebih dalam aspirasi rakyat kita di pulau Sumatera.

Omong-omong yang tercetus secara spontan itu, ternyata ditangkap oleh saudara Safri Saiman. Sebulan kemudian, dia membuat proposal sangat lengkap berupa road show menjelajahi 8 propinsi dan 49 kabupaten/kotamadya di Sumatera. Itu terjadi sekitar 3 bulan silam. Namun karena kesibukan saya, impian untuk menyelusuri pulau Sumatera baru kesampaian pada 5 hingga 21 November yang lalu.

Mungkin banyak yang menanyakan, apa sesungguhnya motivasi muhibah Sumatera itu. Jawaban saya, persis seperti tertulis di buku panduan, yaitu untuk mendalami dan menghayati lebih jauh kehidupan anak-anak bangsa di pulau Sumatera, sekaligus untuk menangkap denyut aspirasi rakyat kita di sana.

Berulangkali saya katakan, ini bukan sebuah kampanye parpol atau ormas tertentu. Bahkan, saya tanggalkan baju MPR. Saya ingin seinformal mungkin melakukan misi muhibbah itu. Namun ada pendapat usil yang mengatakan bahwa saya menyimpan agenda tersembunyi, misalnya untuk menambah popularitas saya, dll. Saya sendiri secara tulus mengatakan, tujuan pribadi saya untuk membuat kami --khususnya saya sendiri-- lebih arif dalam menangani persaoalan bangsa. Karena dengan cara itu, saya dan teman-teman bisa mempunyai simpati dan empati terhadap persalan bangsa sendiri.

Ada juga yang menyanyakan, mengapa dimulai dari Sumatera. Mengapa bukan dari Papua Irian Jaya atau Kalimantan, dsb. Saya katakan secara gampang, hal ini memang sesuai dengan lagu perjuangan "..dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau." Dan, insya Alah, saya dengan teman-teman akan membuat tour yang sama ke Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua Irian Jaya, dst

Tentang biaya muhibah ke Sumatera, saya bisa diterangkan secara singkat. Saya punya seorang pengusaha bus yang cukup kaya di Jawa Barat. Namanya Amir Mahfud. Dia punya sekitar 2000 buah bus yang dioperasikan di Jakarta dan di Jawa Barat. Dialah yang meminjami 3 bus dengan sopir dan kru-nya. Bahkan dia juga menutup segala ongkos transpor. Sedangkan untuk biaya makan rombongan dan rekan-rekan wartawan, memang kita sudah menyiapkan sekadar makan nasi bungkus di perjalanan.

Persoalan konsumsi itu menjadi pecah sama sekali, ketika para gubernur dan bupati serta walikota mengetahui rencana kami. Mereka semua menyilahkan kami untuk mampir makan siang atau malam, pada saat rombongan melewati daerah mereka. Maka biaya yang kami tanggung tinggallah biaya penginapan. Itupun ditanggung oleh sejumlah teman. Karena kami tidak pernah menginap di hotel berbintang, tentu biayanya jadi sangat murah.

Perjalanan itu membawa hikmah yang sangat besar, karena paling tidak saya sendiri merasa sangat bahagia diterima di segenap lapisan masyarakat secara hangat. Saya mengunjungi hampir semua forum yang memungkinkan. Saya datang ke gedung-gedung pemerintah daerah, untuk bersilaturahmi dengan para anggota pemda serta berbagai lapisan masyarakat yang diundang untuk berdialog.

Saya pergi ke masjid untuk berceramah dan berkhutbah. Saya mampir ke pasar tradisional maupun pasar modern, untuk bersalaman dengan sebanyak mungkin para pengunjung sambil berdialog singkat. Saya berhenti desa-desa pinggir sungai secara mendadak dan berdialog dengan rakyat. Saya pergi ke pondok pesantren baik yang dikelola NU atau Muhammadiyah, maupun sekolah-sekolah madrasah yang lain. Saya juga pergi ke kampus-kampus untuk memberikan ceramah dan berdebat dengan tokoh-tokoh mahasiswa. Alhamdulillah, dalam seluruh forum itu saya mendapatkan masukan yang sangat berharga sekaligus pertanyaan-pertanyaan yang sampai sekarang perlu saya pikirkan.

Memang dari catatan perjalanan itu ada satu hal kecil yang saya harus berhati-hati mengatasinya, ketika ada sekitar 30-an anak yang membawa sepanduk di gerbang kampus USU. Mereka mencoba menghalangi saya dan rombongan. Begitu mendengar hal ini, saya batalkan untuk masuk ke USU sekalipun senat mahasiswa menyakinkan bahwa tidak ada masalah kalau saya memaksakan diri masuk ke USU. Justru kata-kata memaksakan diri itulah yang saya hindari, supaya perjalanan saya ke Sumatera tidak ternoda oleh aroma kekerasan sekecil apapun.

Catatan pertama yang bisa dibuat di sini adalah betapa luas, indah dan suburnya pulau Sumatera. Saya juga pergi ke industri batu bara Bukit Asam, di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim. Saya menyaksikan begitu dahsyat kemampuan industri batu bara kita di sana, untuk mensuplay bahan bakar sampai ratusan tahun mendatang. Dari sana saya pergi ke PTPN IV di Sumatra Utara dan saya melihat kehebatan industri CPO atau kelapa sawit kita. Saya berhadapan dengan pimpinan pabrik maupun ratusan buruh dan berdialog bebas. Saya pun pergi ke pabrik pulp PT Kerinci di daerah Riau. Saya tertegun menyaksikan betapa dahsyatnya kemampuan Indonesia untuk mensuplay pabrik-pabrik kertas kaliber dunia pada saat ini.

Memang kesan pulau Sumatera yang subur dan makmur, tidak bisa tidak akan tertancap di dalam memori kami. Malah saya sering katakan bahwa seluruh luas pulau Sumatera dibandingkan dengan Britania Raya, hampir sama. Namun sekaligus juga saya renungkan, bagaimana mungkin ada ribuan atau jutaan hektar lahan tidur di pulau Sumatera. Saya juga pernah melewati beberapa daerah di Sumatera dengan helikopter. Kesan saya sama, yaitu betapa luas lahan tidur yang ada di pulau yang sangat menjanjikan itu.

Namun demikian, segera terasa betapa paradok yang kita lihat dewasa ini. Pulau-pulau yang lain saya kira tidak jauh beda dengan Sumatera dalam hal potensi daya alamnya, tapi mengapa rakyat Indonesia masih saja miskin?

Saya masih ingat bagaimana buku-buku teks mengenai ekonomi pembangunan yang diajarkan di Amerika, biasanya menyebutkan kalau ada negeri yang subur dan kaya tetapi penduduknya tetap miskin, itulah Indonesia. Sangat terasa kesan itu di hati kami masing-masing, sehingga doktor Marwah Daud Ibrahim yang menyertai saya sampai ke Bengkulu selalu berdecak kagum melihat kekayaan pulau Sumatera yang indah itu.

Pendapat Bu Marwah dengan saya, tentu sama oleh karena kami sangat yakin andaikata ada manajemen yang benar untuk mengelola negeri ini maka tidak ada alasan sama sekali kita akan menjadi negara miskin seperti yang kita derita sekarang. Masalah mis-manajemen barangkali adalah masalah yang harus bersama-sama kita perhatikan untuk kita pecahkan sesegera mungkin.

comments powered by Disqus

Betapa Penting Konsistensi | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2) | Ke mana setelah Sidang Tahuan MPR? | Kekuasaan dan Takhayul | Nasib Kabinet Baru | Kejujuran Pemimpin Bangsa | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1) | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2) | Serba tidak Pasti | Harapan Kita pada Polri | Korupsi adalah Panglima | Sedikit Catatan dari Washington | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1) | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3) | Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq