Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 14/12/2000
 

Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3)

Adil - Tentu tidak seluruh cerita Sumatera adalah cerita yang serba gembira dan membahagiakan. Di samping cerita sedih mengenai penggundulan hutan, ada cerita yang sangat memilukan yaitu tatkala saya pergi ke Banda Aceh dan Sabang. Dua kota itu menjadi persinggahan terakhir dari rangkaian muhibah kami ke Pulau Sumatera, yang memakan waktu lebih kurang dua pekan.

Dengan bantuan pesawat Casa CN 235 milik Angkatan Darat, saya dan rombongan kecil berkesempatan mengunjungi Banda Aceh dan Sabang. Waktu itu Pangdam Bukit Barisan Mayjen TNI Purnawa memberitahu, bahwa ada pesan dari Panglima TNI Jenderal Widodo agar saya tidak menggunakan jalan darat menuju Banda Aceh karena pertimbangan keamanan. Saya tentu serahkan sepenuhnya pada rekan-rekan TNI dan Polri, yang lebih mengetahui seluk-beluk keamanan itu.

Kunjungan saya kemarin ke Aceh merupakan kunjungan ke-9. Dan, tanpa mendramatisasi masalah, setelah melihat Banda Aceh kali ini kesimpulan saya adalah, betul-betul situasi Aceh sudah SOS. Tuntutan sebagian --mungkin sebagian besar rakyat Aceh-- untuk lepas dan merdeka dari Indonesia, tampaknya sudah hampir sampai pada point of no return yakni titik yang tidak bisa berbalik kembali.

Mengingat situasi keamanan yang demikian mencekam, berdasarkan pertimbangan Pemda Aceh dan rekan-rekan Polri, saya tidak usah pergi ke kantor gubernur di Banda Aceh. Sebagai gantinya para pejabat Pemda, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat termasuk rektor, mahasiswa dan LSM datang pada kami memaparkan situasi Aceh. Di Bandara Blang Bintang, dialog berlangsung dalam dua sesi masing-masing sekitar 1,5 jam.

Secara singkat dapat digambarkan bahwa tokoh-tokoh formal dan informal Aceh sangat kecewa atas penanganan pemerintah pusat terhadap penderitaan rakyat Aceh. Hal itu disebabkan karena;

a. Seluruh tuntutan rakyat Aceh untuk ditegakkannya hukum dan keadilan terhadap mereka yang pernah melakukan kejahatan kemanusiaan, tidak disahuti pemerintah secara sungguh-sungguh.

b. Dengan atau tanpa Daerah Operasi Militer (DOM), dengan atau tanpa persetujuan Jeda Kemanusiaan, ternyata pembunuhan atau penganiayaan terhadap rakyat Aceh terus saja terjadi.

c. Janji-janji pemerintah pusat untuk memperbaiki keadaan Aceh secara sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan tidak kunjung nyata sehingga rakyat Aceh merasa ditipu dan dipecundangi oleh pemerintah pusat.

d. Sebagian rakyat Aceh merasa bahwa daerahnya hanya dijadikan sapi perahan pusat, yang cenderung habis manis sepah dibuang.

e. Rakyat Aceh tidak pernah dapat memahami mengapa ada sejumlah orang yang datang dari pusat yang menyimpan kebencian total terhadap Aceh, sehingga penderitaan Aceh sudah menjadi seolah-olah hiburan bagi mereka.

f. Sebagian rakyat Aceh berpendapat apa gunanya hanya mempertahankan Aceh menjadi bagian integral Republik Indonesia, bila kenyataannya ikut Republik berarti pembunuhan terus-menerus terhadap rakyat Aceh dan menjual habis diri martabat dan muruah orang Aceh.

g. Mereka, kecuali tokoh-tokoh Pemda, berpendapat bahwa melepaskan diri dari Republik Indonesia agaknya merupakan pilihan satu-satunya dan mereka telah meyakininya sebagai takdir.

Saya berpendapat, waktu yang tersisa tinggal sedikit untuk menyelesaikan krisis Aceh yang sudah berkepanjangan. Saya setuju dengan tokoh-tokoh Pemda baik dari sipil maupun militer, bahwa sebab utama krisis Aceh yang sudah semakin eksplosif sekarang ini karena tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan tegas terhadap rakyat Aceh.

Secara demikian, tidak mungkin kita menyalahkan rakyat Aceh karena kesalahan terletak pada tidak adanya kebijakan yang tegas dan arif di pihak pemerintah pusat. Malahan Abdurrahman Wahid sendiri belum pernah menginjakkan sekalipun kakinya ke Tanah Rencong Aceh, semenjak dia menjadi presiden selama setahun.

Memang betul dia pernah datang ke Aceh dua kali, sebelum menjadi presiden. Tetapi setelah menjadi presiden, telah berulang kali dia melakukan perjalanan ke luar negeri dengan biaya ratusan miliar rupiah, tetapi tampaknya kaki Abdurrahman Wahid berat sekali untuk mampir ke Serambi Mekkah itu.

Inilah sebuah tontonan kepemimpinan yang sangat memilukan hati kita, yang tahu persis bahwa salah satu provinsi negaranya hampir lepas karena penderitaan yang begitu lama. Ternyata si Presiden tidak menggubris sama sekali masalah yang sudah gawat itu. Malah dia gemar sekali berputar-putar melanglang buana, walaupun hasilnya sampai sekarang tidak jelas.

Hal yang sama sesungguhnya juga bisa dikatakan tentang Papua atau Irian Jaya, yang dalam hal sangat elementer memiliki persamaan yang sangat kuat dengan masalah Aceh. Namun dengan sisa waktu yang sedikit "mungkin" penyelesaian Aceh dapat terkejar, bila seluruh tuntutan rakyat Aceh (kecuali referendum) yang legitimate, masuk akal, dan demi penutupan atas kezaliman sosial, politik, ekonomi masa lalu segera dipenuhi dengan seluruh kekuatan pemerintah pusat yang tersedia.

Memang kalau kita memiliki simpati dan empati terhadap rakyat Aceh, kita segera bisa memahami mengapa rakyat di sana betul-betul tidak tahan lagi hidup di lingkungan Republik Indonesia. Mereka selalu diberi janji muluk, tetapi tidak pernah menjadi kenyataan. Malahan pada zaman Abdurrahman Wahid ini sudah diundangkan bahwa pelabuhan Sabang akan dijadikan pelabuhan bebas. Tetapi nyatanya hal itu tidak dilaksanakan. Hal ini lagi-lagi contoh untuk ke sekian kalinya pemerintah Jakarta mempermainkan nasib rakyat Aceh yang sudah sangat limbung itu.

Seluruh unsur pimpinan nasional harus segera bermusyawarah untuk menemukan solusi, yang pada gilirannya dapat dimusyawarahkan dengan unsur-unsur kekuatan rakyat Aceh dari berbagai golongan termasuk GAM --sekalipun ada beberapa faksi dalam tubuh GAM sendiri.

Waktu terus bergulir. Rakyat Aceh dapat meledak tanpa kendali dalam hitungan bulan, bukan hitungan tahun. Rencana pemerintah untuk menerapkan darurat sipil, saya kira sebuah tindakan gegabah yang justru sangat kontra produktif dan hanya memperparah perkembangan di Aceh. Rakyat Aceh tidak takut sama sekali dengan gertakan-gertakan seperti itu, bahkan akan memancing kemarahan mereka yang lebih luas lagi.

Kalaupun masih ada harapan, pemerintah Abdurrahman Wahid harus segera melakukan bertobatan terhadap rakyat Aceh. Abdurrahman Wahid harus segera datang ke Aceh dan bersedia tinggal di sana barang beberapa waktu, supaya rakyat Aceh yakin pemerintah pusat masih bisa dipercaya. Tetapi kalau perlakuan pusat terhadap Aceh bukan saja minimal, melainkan tidak ada substansinya sama sekali, maka apa yang kita khawatirkan bersama yaitu lepasnya Aceh bisa menjadi kenyataan. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Betapa Penting Konsistensi | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2) | Ke mana setelah Sidang Tahuan MPR? | Kekuasaan dan Takhayul | Nasib Kabinet Baru | Kejujuran Pemimpin Bangsa | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1) | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2) | Serba tidak Pasti | Harapan Kita pada Polri | Korupsi adalah Panglima | Sedikit Catatan dari Washington | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1) | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3) | Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq