Otda, Sebuah Taruhan
Adil - Secara resmi per 1 Janurai 2001, UU Nomor 22 mengenai Otonomi Daerah (Otda) dan UU Nomor 25 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mulai diimplementasikan secara konsisten. Tetapi seperti kita dengar komentar dari banyak pihak, soal kesiapan pusat dan kesiapan daerah menyambut dua UU yang diharapkan dapat membuat lebih sejahtera bangsa Indonesia, sangat diragukan. Di samping kesiapan teknis berupa Keppres-Keppres yang harus segera dikeluarkan, juga ada masalah yang menyangkut kesiapan mental.
Kalau tidak salah, Ryaas Rasyid dalam salah satu alasan pengunduran dirinya menyebutkan, bahwa lebih dari 100 Keppres yang diperlukan untuk menfasilitasi implementasi otonomi daerah, belum digarap sama sekali oleh Presiden. Ini baru menyangkut masalah teknis, di mana secara rasional kita mengetahui, sebuah peralihan administrasi atau manajemen nasional dari sentralisme ke otonomisasi memerlukan langkah-langkah pembaharuan dan penyegaran yang multidimensi.
Namun barangkali ada benarnya pendapat yang mengatakan, kalau tidak sekarang kapan lagi. Di sini filosofi yang ditempuh adalah melakukan perbaikan sambil menjalankan proses otonomi itu. Dengan kata lain, sebagaimana orang memasuki lembaga perkawinan, maka kedua mempelai tidak lebih dahulu menyelesaikan pembuatan rumah dengan segala isinya dan menanti sampai punya kendaraan, dsb. Tetapi kedua mempelai langsung saja kawin dengan segala keterbatasan, kemudian barulah bersama-sama membangun rumah tangga.
Demikian itulah analogi pelaksanaan otonomi daerah. Dengan persiapan yang sangat minimal dari segi teknis, perundang-undangan, dan berbagai macam peraturan lainnya, otonomi daerah langsung dikerjakan dan kelak dalam perjalanan waktu tentu akan ada perubahan ke arah penyempurnaan.
Akan tetapi bila kita melihat masalahnya secara jujur, akan tampak bahwa di samping kendala teknis, yang lebih berat barangkali kendala mental. Struktur mental sentralistik yang dimiliki oleh pemerintah pusat, yang sudah berurat berakar dalam sejarah Orde Lama dan Orde Baru, tentu tidak gampang untuk diubah. Memindah habit atau kebiasaan lama ke kebiasaan baru, betul-betul memerlukan komitmen yang luar biasa dan kesungguhan yang tidak boleh diragukan.
Justru dalam konteks inilah banyak orang meragukan, bahwa pemerintahan Abdurrahman Wahid menunjukkan sikap ogah-ogahan untuk melakukan implementasi kedua UU yang sangat diperlukan buat menjamin kelestarian integrasi nasional dan integrasi teritorial republik Indonesia.
Ketika Ryaas Rasyid tidak jadi diangkat sebagai Mendagri dan justru Pak Surjadi Soedirdja yang diangkat kembali, para pengamat di Jakarta telah mengetahui kalau pelaksanaan Otda pasti hanya akan berjalan setengah hati. Mengapa? Karena kita mengetahui bahwa Pak Surjadi, sekalipun tokoh yang dianggap memiliki kejujuran, tetapi pola berpikirnya adalah pola pikir masa kemarin yang tidak cocok untuk menjalankan implementasi Otda dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Saya merasa bahwa mereka yang pesimis dan bahkan melakukan prediksi negara akan semakin mengalami centang perenang administrasi menyusul pelaksanaan kedua UU itu, sesungguhnya tidak berlebihan. Dengan segala hormat saya pada Abdurrahman Wahid sebagai chief executive republik ini, saya sudah dapat melihat dengan jelas dalam visi dan imajinasi elementer saya bahwa Abdurrahman Wahid tidak fit untuk melaksanakan otonomi daerah.
Yang ditampilkan oleh Abdurrahman Wahid sekarang ini, selalu saja lebih sebagai seorang budayawan dan komentator bebas, yang tidak menyangkut substansi dari kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan perimbangan keuangan itu. Bayangkan, kata-kata dia bahwa Riau boleh mengambil 75 pesen hasil minyaknya, sementara pusat hanya akan menerima 25 persen saja. Hal yang sama dikatakan untuk daerah lain seperti Aceh dan Kaltim, misalnya. Ini jelas menunjukkan bahwa imajinasi dan visi dia sebagai seorang budayawan dan bahkan pemimpi kadang tidak cocok sama sekali dengan pelaksanaan keputusan-keputusan pemerintah, yang memerlukan rasionalitas dan kecanggihan administratif.
Memang belakangan ini tampak sekali kepemimpinan Abdurrahman Wahid makin sempoyongan. Dia tidak berani mengambil keputusan tegas dalam banyak hal. Misalnya, menyangkut soal ketua MA yang sudah diproses secara final oleh DPR, dimentahkannya dengan berbagai alasan. Atau juga pengunduran diri Ryaas Rasyid yang sesungguhnya hanya dia yang bisa memutuskan, kemudian dia coba melibatkan Megawati dengan segala macam alasan.
Tentu dia akan berkilah dengan segala macam alasan. Dan, Abdurrahman Wahid termasuk orang yang paling ulung di negeri ini dalam mencari dalih-dalih semu, untuk menutupi pelaksanaan Otda yang hampir bisa dipastikan akan menjadi sebuah centang perenang. Di sinilah sesungguhnya kepemimpinan Abdurrahman lagi-lagi diuji oleh kenyataan objektif republik yang semakin memprihatinkan.
Kalau menggunakan nalar yang benar, sesungguhnya ketika dia membagi tugas dengan Megawati lewat sebuah Keppres merupakan suatu hal yang sejak awal sudah mengandung bukan saja dualisme, tetapi kerancuan yang luar biasa di dalam membawa negeri ini ke masa depan. Masalahnya menjadi semakin tidak jelas, ketika ternyata Keppres yang membagi kewenangan dengan Megawati sebagai wapres, ternyata tidak dilaksanakan dengan konsisten sehingga menimbulkan tanda tanya yang lebih luas lagi di masyarakat yang memang sudah kehilangan kepercayaan pada sang Presiden.
Maka saya hanya bisa mengatakan di sini, bahwa kita semua betul-betul prihatin. Dua arsitek otonomi yang tangguh yaitu Bambang Sudibyo di bidang keuangan dan Ryaas Rasyid di bidang administrasi dan organisasi, telah tidak berada di dalam kabinet Abdurrahman Wahid. Sementara banyak orang yang mengatakan pengganti Bambang Sudibyo yakni Prijadi, tidak cukup memiliki fitness dan proper (kewajaran) untuk mengelola masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dengan Ryaas yang juga hengkang dari kabinet, bisa dipastikan Otda dan perimbangan keuangan tidak ada yang mengawal secara sungguh-sungguh. Inilah cerita tambahan yang semakin memeriahkan cerita ketidak-berhasilan Abdurrahman Wahid dalam mengelola negeri yang kita cintai.
Akhirnya, bisa dikatakan bahwa pelaksanaan Otda betul-betul taruhan bagi Abdurrahman Wahid. Dan, pelaksanaan yang centang perenang nanti akan menjadi faktor yang lebih memperparah, betapa sesungguhnya di samping berbagai skandal yang telah melanda pemerintahan Abdurrahman Wahid, maka pelaksanaan Otda yang secara teknis administratif bisa dipersiapkan secara lebih matang, itu pun juga gagal dilakukan.
Tentu bersama pembaca, saya ingin agar awal tahun 2001 ini kita bisa melihat hal-hal yang lebih menggembirakan. Tetapi apa boleh buat, hal-hal yang membuat kita tersenyum, masih belum tampak. Karena Abdurrahman Wahid untuk kesekian kalinya, menampilkan tontonan yang tetap saja memprihatinkan. Wallahu a'lam.