Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 01/02/2001
 

Belajar dari Kejatuhan Estrada

Adil - Di dalam kehidupan politik, banyak pelajaran yang dapat kita petik dari berbagai kejadian masa silam. Kejadian-kejadian itu bisa berlangsung pada zaman dahulu, maupun pada masa-masa terakhir yang masih dapat kita saksikan bersama. Dalam kaitan ini saya ingin berbicara mengenai betapa seorang tokoh politik akhirnya jatuh, karena sudah out off touch, kehilangan sentuhan dan penglihatan dari dunia sekelilingnya.

Biasanya penyakit yang melekat pada diri seorang pemimpin adalah ketakaburan dan percaya diri yang kelewatan, sehingga tidak mau belajar memahami masalahnya sendiri. Dia juga menutup telinga, tidak mau mendengarkan nasihat-nasihat yang berguna baginya.

Kita bisa bercerita tentang kejatuhan Syah Iran, Idi Amin, Mobutu, Marcos, Soeharto dan puluhan tokoh dunia lainnya yang semua dapat ditarik hikmahnya. Belum lama ini negara tetangga kita Filipina, menyaksikan hal yang sama di mana seorang pemimpin yang kelewat percaya diri dan sudah kehilangan kontak dengan masyarakat, akhirnya jatuh secara sangat memprihatinkan.

Joseph Estrada --bekas Presiden Filipina yang pernah jadi seorang bintang film dan akhirnya bisa meyakinkan rakyat Filipina bahwa dialah tokoh pemersatu, tokoh yang memperhatikan kepentingan rakyat, tokoh yang dapat mengembalikan kepercayaan dan harga diri rakyatnya-- akhirnya jatuh karena kesalahan-kesalahannya sendiri.

Contoh Estrada ini menjadi lebih relevan, karena sesungguhnya kita sedang menghadapi masalah yang lebih kurang sama. Abdurrahman Wahid sedang dikurung oleh berbagai masalah, yang tampaknya belum bisa keluar dari keterkungkungan dirinya sendiri; yaitu kehilangan sentuhan dari masyarakat sekeliling dan terlalu percaya diri.

Kita tidak perlu membahas terlalu banyak mengenai tergulingnya Estrada, kecuali mencatat beberapa hal. Pertama, Estrada menang pemilu di Filipina dengan sangat meyakinkan, bahkan dia menguasai parlemen dan senat Filipina dalam jumlah mayoritas karena partainya memenangi pemilu dengan jumlah yang sangat meyakinkan, yaitu lebih dari 60%.

Kedua, kepercayaan rakyat kepada Estrada barangkali menjadi kunci kemenangannya, karena dia bisa meyakinkan rakyat Filipina bahwa dialah tokoh yang sederhana, tokoh yang bersemayam di hati rakyat, tokoh anti-korupsi, tokoh yang betul-betul datang dari rakyat kecil dan akan mengorbankan seluruh waktu dan tenaga serta pikirannya untuk kehidupan rakyat kecil. Ketiga, dia bisa meyakinkan pihak-pihak lain di Filipina termasuk kaum militer, bahwa dialah tokoh yang paling berhak untuk memimpin Filipina keluar dari berbagai macam keterbelakangannya.

Akan tetapi, serapi-rapi seseorang membungkus kebusukannya, akhirnya ketahuan juga. Ternyata Estrada telah melakukan berbagai macam korupsi dalam skala yang sangat meresahkan masyarakat, yang meliputi puluhan juta dolar dan semua itu diperoleh dengan patgulipat bersama tokoh-tokoh pengusaha hitam di Manila. Kedua, dia seringkali menipu masyarakatnya dengan penampilan yang begitu meyakinkan, sehingga penipuan itu kadang diterima juga oleh masyarakatnya. Tetapi akhirnya bahwa dia di samping koruptor juga seorang pembohong dan penipu, ketahuan juga oleh masyarakat dan kaum mahasiswa di Filipina.

Ketiga, ketahuan juga bahwa dia adalah seorang pemuja kelezatan keduniaan dengan ditemukannya berbagai macam vila mewah, rumah-rumah yang sangat mahal, dan segudang perempuan yang telah menjadi pemuas hawa nafsunya.

Karena itulah sesungguhnya kejatuhan Estrada sudah dapat diramalkan oleh banyak orang, ketika mulai terkuak berbagai macam kebohongan dan kebobrokan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan publiknya. Namun seperti kita ketahui, Estrada dengan segala macam cara ingin mempertahankan kekuasaannya dan akhirnya drama yang memilukan telah kita saksikan bersama.

Dalam kaitan inilah kita perlu peringatkan saudara kita Abdurrahman Wahid, bahwa dia harus menjadikan Estrada sebagai sebuah kaca benggala. Saya masih ingat, beberapa hari menjelang Sidang Tahunan MPR, tahun 2000, saya pergi ke sebuah hotel menemui Abdurrahman Wahid yang didampingi oleh Matori Abdul Djalil dan Alwi Shihab. Sementara saya sendiri didampingi oleh Hatta Rajasa.

Waktu itu saya mengatakan pada Abdurrahman Wahid, bahwa dalam pertemuan itu saya tidak ingin bicara masalah politik yang berketiak ular, tapi saya menyampaikan pesan saya sebagai seorang sahabat, seseorang yang ikut bertanggung jawab menaikkan dia menjadi presiden. Saya katakan kepada Abdurrahman Wahid, ada dua hal yang harus dia ingat.

Yang pertama adalah bahwa kekuasaan menurut Al-Quran hanyalah titipan Tuhan semata-mata. Titipan yang kecil itu dapat ditarik lagi oleh Yang Mahakuasa pada saat kapan pun dengan kehendak-Nya. Bahkan Allah SWT berkenan memulyakan seseorang, tapi juga berkenan menistakan dan menghinakan seseorang sesuai dengan kehendak-Nya karena Tuhan adalah Zat Yang Mahakuasa. Karena itu saya ingatkan Abdurrahman Wahid dalam memegang titipan kekuasaan dari Allah, harus betul-betul sebagai amanat dan jangan sampai disia-siakan.

Yang kedua, saya mengatakan mengapa setiap hari media massa dan unsur-unsur masyarakat yang sangat luas tidak pernah lelah mengritik Abdurrahman Wahid, semua itu karena kesalahan Abdurrahman Wahid sendiri. Saya katakan jangan sampai dianggap hal itu direkayasa oleh satu dua kelompok orang, karena tidak mungkin ada satu kekuatan yang merekayasa jutaan rakyat Indonesia dengan satu arah pergerakan yang sama.

Saya katakan, "Gus, semua itu karena Anda telah meninggalkan kebersamaan." Waktu itu saya ingatkan, bahwa dulu ketika kita-kita ini semua mengangkat Abdurrahman Wahid, dasarnya adalah ketulusan dan kebersamaan. Kita rangkul segenap kekuatan politik, kita bekerja sama dalam keterbukaan, untuk melepaskan kemelut Indonesia ini menuju masa depan yang lebih cerah.

Tetapi waktu itu kita sudah mengetahui, Gus Dur justru menyingkirkan sejak Hamzah Haz sampai Jusuf Kalla, kemudian Laksamana Sukardi. Bahkan Ratih Hardjono yang merupakan ajudan paling dekatnya, demikian juga Alirahman dan Bondan Gunawan, dll. juga didepak karena Gus Dur telah meninggalkan kebersamaan. Oleh karena itulah dalam hari-hari ini kita akan melihat momentum yang semakin meningkat, yang berupa oposisi frontal terhadap kepemimpinan Abdurrahman Wahid.

Saya kira masih ada setitik harapan bagi Abdurrahman Wahid untuk keluar dari kepungan yang memang sudah sangat sulit ini. Yang pertama, yaitu dia meminta maaf pada seluruh bangsa Indonesia atas ketidakmampuannya mengemban amanat yang demikian berat. Kemudian, dia harus menyerahkan segala macam urusan itu kepada lembaga-lembaga yang memang resmi dan ofisial mengurusi nasib sebuah eksekutif, yaitu kembalikanlah kepada DPR dan MPR.

Saya melihat sesungguhnya dalam kaitan ini banyak orang yang ingin menerapkan cara berpikir Abdurrahman Wahid kepada dirinya sendiri. Dulu dia pernah memberikan alternatif kepada Syahril Sabirin, kalau Gubernur BI itu mau mundur maka Syahril tidak akan dikejar dengan proses hukum. Sekarang ini pun saya dengar, di Jakarta banyak orang memberikan alternatif seperti itu.

Kalau Gus Dur mundur secara baik dan elegan, barangkali tidak akan mengeruhkan suasana. Kemudian dia akan diberi semacam pardon atau pengampunan secara utuh, sehingga tidak usah dijadikan masalah besar karena masih ada masalah-masalah yang kita hadapai sebagai bangsa. Tetapi kalau dia masih bersikukuh tidak mau mundur, maka dengan terpaksa ditempuh Sidang Istimewa dan akibat hukumnya harus dia terima secara kesatria juga.

Saya sebagai seorang yang sudah agak lama tidak ikut berbicara tetapi mengikuti perkembangan secara cermat, menaruh harapan bahwa Gus Dur sendiri harus segera bertanya kepada hati nuraninya. Orang tidak bisa merekayasa berjuta-juta anak bangsa, dari Medan, Jakarta, Semarang, Yogya, Makassar sampai NTB untuk "mengeroyok" Aburrahman Wahid.

Tetapi semua itu berpulang pada Abdurrahman Wahid sendiri. Masih ada cara yang elegan yaitu; kalau memang setelah ditanya pada hati nurani sendiri sebaiknya mundur, maka lakukanlah hal itu supaya sama-sama dikenang sebagai sebuah kearifan, sebagai langkah yang bijak dan tak menimbulkan riak-riak yang tidak perlu. Tetapi kalau dia tidak mendengarkan hati nuraninya, maka hanya bisa mengatakan wallahu a'lam bisshawab.

comments powered by Disqus

Masalah Utama Tahun 2001 | Otda, Sebuah Taruhan | Kita Memang Lemah | Jangan Kehilangan Harapan | Belajar dari Kejatuhan Estrada | Tragedi Abdurrahman Wahid | Jangan Memperumit Proses Politik | Gambaran yang Makin Suram | Tragedi Sampit dan Keputusasaan Masyarakat | Rahasia Sukses Pemimpin | Menanti Lahirnya Memorandum II | Aceh Bukti Kegagalan Gus Dur | Memorandum dan Kompromi Politik | Bahaya Politisasi Agama | Perlukah Pertemuan Empat Tokoh? | Menegakkan Moral Demokrasi | Yang Kita Kelola adalah Negara | Ujian Berat Megawati | Mempertahankan Kredibilitas | Dana Hibah yang Menghebohkan | Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington | Kita Semua Prihatin | Terpulang kepada Kita Sendiri | Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq