Tragedi Abdurrahman Wahid
Adil - Sekitar satu setengah tahun yang lalu, ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, banyak orang mempunyai persangkaan baik. Dia waktu itu dikenal sebagai budayawan yang kocak, suka melucu, dan pandai melontarkan berbagai cerita humor yang mengundang tawa.
Karena itu, tidak salah bila banyak orang mengatakan bahwa kepresidenan Abdurrahman Wahid diramalkan akan menjadi kepresidenan yang santai --dan diharapkan sekaligus santun. Malah ada yang mengatakan, pada saat-saat yang cukup tegang, dia bisa melucu, mengundang ketawa ger, dan karena itu, bisa menciptakan relaksasi sehingga sebagian besar orang akan merasa rileks dan terhibur.
Namun banyak juga yang khawatir, dengan cara selalu melucu dan menganggap semua hal bisa dientengkan dan disantaikan, bisa-bisa Abdurrahman Wahid menjadi seorang presiden yang meloncat dari ekstrem santai dan lucu ke ekstrem tegang dan suka marah-marah. Sekarang kita mengetahui, bahwa pendapat terakhir ini, sesungguhnya, lebih cocok buat menengarai kelakuan Abdurrahman yang makin lama makin tragis.
Berbagai percobaan untuk membuat komedi politik di panggung nasional -- oleh Abdurrahman Wahid, ternyata berubah menjadi tragedi. Masalahnya adalah; mengapa komedi politik yang diharapkan oleh sebagian khalayak, kini telah mejadi tragedi politik yang tampaknya akan berakhir dengan nasib yang lebih tragis bagi sang komedian politik itu.
Barangkali jawaban yang mendekati kebenaran, adalah bila sudah sampai pada kekuasaan, ternyata seorang politikus atau jenderal atau aktivis sosial atau bisnismen atau budayawan atau agamawan, ternyata sama saja. Hanya orang-orang tertentu yang dikaruniai Allah SWT dengan kekuatan rohani dan mental yang tinggi, yang bisa menundukkan hawa nafsu kekuasaan itu. Tetapi seperti kita lihat, pada umumnya baik di barat maupun timur, di selatan maupun utara, jarang seorang tokoh bisa menundukkan nafsu kekuasaannya sehingga dapat berpikir jernih dan rasional.
Sesungguhnya apabila dicermati, tanggal 1 Februari kemarin, kala sidang paripurna DPR telah dengan sangat telak dan meyakinkan menerima hasil-hasil Pansus Buloggate-Bruneigate, maka riwayat kepresidenan Abdurrahman Wahid akan segera berakhir. Sehingga terlalu banyak orang yang meminta dia untuk segera mengundurkan diri, karena memperpanjang permainan kekuasaan, lagi-lagi hanya akan menambah parahnya tragedi politik yang diciptakan oleh Abdurrahman Wahid.
Nurcholish Madjid yang sampai seminggu sebelum 1 Februari, dengan segala macam dalih dan keterangan mencoba melakukan justifikasi bahwa sebaiknya Abdurrahman Wahid dipertahankan sampai tahun 2004, kemudian berubah secara dramatis. Nurcholish dengan tegas mengatakan, tidak ada pilihan lain bagi Abdurrahman Wahid kecuali mengundurkan diri dengan sikap kesatria.
Demikian juga tokoh-tokoh partai di negeri ini, baik tersurat maupun tersirat, mengatakan hal yang sama. Belum lagi, tentu, tokoh-tokoh mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi yang tidak terpengaruh dengan centang-perenang politik praktis.
Apa yang digelar oleh orang-orang yang sangat tidak bertanggung jawab di Jawa Timur dengan melancarkan sebuah distruksi sosial, sungguh menambah tragedi politik itu. Sejumlah manusia di Jawa Timur yang melakukan perusakan itu, ada kemiripan dengan cara-cara kaum komunis di masa lalu, yang melakukan aksi sepihak dan hanya mengandalkan kekuatan fisik semata-mata secara telanjang. Dan, risikonya tentu amat sangat berbahaya.
Anehnya, di dalam berbagai penampilan yang saya amati, Abdurrahman Wahid secara tidak langsung tampaknya menikmati tontonan anarki di Jawa Timur itu. Apalagi salah seorang menterinya mengatakan, bahwa orang-orang di Jawa Timur masih lumayan memotong kayu daripada memenggal leher manusia. Walaupun dia mengatakan kata-kata itu dengan meminjam kata orang lain, namun hal itu sungguh tidak etis dilakukan seorang menteri yang orang awam pun tahu, bahwa nada seperti itu justru merupakan nada yang provokatif.
Buat saya sendiri, dengan intuisi yang enteng-entengan, saya yakin umur politik Abdurrahman Wahid tidak akan lama. Bagaimanapun dia akan membendung proses memorandum supaya tidak menuju Sidang Istimewa, lagi-lagi saya yakin akan gagal. Oleh karena, memorandum DPR sebagaimana dituangkan dalam Tap MPR Nomor 3 Tahun 1978, memang dimaksudkan untuk menuju Sidang Istimewa dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah fundamental di negeri ini.
Makna politik dari sidang paripurna DPR itu, sesungguhnya sudah sangat jelas. Seluruh anggota PDI-P dalam fraksinya secara bulat menerima hasil pansus Buloggate-Bruneigate. Yang lebih spektakuler, Fraksi TNI/Polri dengan sigap dan tangkas telah melakukan hal yang sama. Ini artinya ada satu konsensus yang demikian bulat dan kuat, bahwa secara politis sekitar 90 persen wakil rakyat di DPR telah emoh terhadap kepemimpinan Abdurrahman Wahid.
Di sinilah perlunya sebuah kearifan seorang pemimpin ditunjukkan. Baik dalam tradisi politik di Asia, maupun Eropa dan Amerika, biasanya pemimpin yang sudah kehilangan legitimasi, secara otomatis mengundurkan diri. Hilangnya legitimasi itu bisa disebabkan karena adanya skandal moral, skandal administrasi, skandal politik maupun juga karena kegagalan kepemimpinan yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Secara demikian, pengunduran Abdurrahman Wahid memang merupakan jalan terbaik untuk mengakhiri tragedi politik yang berkepanjangan sekarang ini. Cuma masalahnya, para pengungkung yang mengitari Abdurrahman Wahid tentu punya kepentingann sendiri untuk melihat lestarinya kekuasaan politik sang bos. Dan, bosnya karena kelemahan-kelemahan fisiknya, menjadi sandera dari dirinya sendiri maupun juga dari mereka yang mengungkungnya.
Karena itulah, tragedi politik ini hanya bisa diakhiri kalau Abdurrahman Wahid mengundurkan diri secara sukarela dan kesatria. Kurang dari itu, impeachment tidak bisa dihindari. Dan, kita tahu akibatnya lebih fatal, buat Abdurrahman Wahid sendiri maupun bagi bangsa kita secara keseluruhan.