Jangan Memperumit Proses Politik
Adil - Penolakan para mahasiswa Yogyakarta terhadap Abdurrahman Wahid yang ingin masuk ke kampus UGM, Jumat (16/1) lalu, merupakan peristiwa politik yang sangat dalam maknanya. Pagi hari setelah penolakan mahasiswa terhadap Wahid itu, hampir seluruh koran Ibukota menurunkan peristiwa tersebut sebagai berita utamanya. Ini menandakan sebuah perubahan kualitatif di dalam perpolitikan nasional, telah memasuki babak baru.
Kalau Abdurrahman Wahid didemo di sebuah kota atau provinsi di Indonesia oleh orang-orang biasa --apakah dibayar atau tidak-- mungkin masih merupakan hal yang tidak terlalu istimewa. Saya sendiri pernah diberitakan dicekal masuk kota Pasuruan, oleh sejumlah orang yang menamakan diri santri-santri metal dan lain sebagainya. Buat saya hal itu memang sedikit mengganggu. Tetapi saya anggap ringan-ringan saja, karena jumlah yang mendemo cukup kecil, sementara motivasinya juga tidak terlalu jelas.
Tetapi bila sebuah lembaga pendidikan tinggi yang punya riwayat perjuangan tidak terbantahkan dan memiliki prestise terkemuka bukan saja di Indonesia melainkan di kawasan Asia Tenggara, telah menolak Presiden Wahid maka hal itu merupakan peristiwa yang tidak bisa diremehkan sama sekali.
Untuk ke sekian kalinya protes terhadap Abdurrahman Wahid memang sudah semakin meluas, dengan ditingkahi protes-protes pendukungnya yang sesungguhnya dalam perspektif jangka pasti akan sia-sia. Inilah satu hal yang saya tidak habis pikir, bagaimana para pembisik Abdurrahman Wahid itu memberikan masukan-masukan yang demikian menyesatkan, sehingga langkah-langkah Abdurrahman Wahid selalu saja berseberangan dengan realitas politik yang ada.
Gadjah Mada adalah sebuah universitas yang sangat mempengaruhi bukan saja dunia akademik di Indonesia, tetapi pada saat-saat politik Indonesia memasuki babakan kritis selalu muncul suara-suara yang jernih dari kampus ini. Sungguh sangat menyentuh perasaan setiap orang yang mendalami perpolitikan bangsa Indonesia, bahwa pada akhirnya para mahasiswa Yogyakarta telah mengambil sikap yang demikian telak dan meyakinkan.
Sesungguhnya fenomena Yogyakarta tidak banyak berbeda dengan apa yang kita lihat pada akhir pekan ini di Gedung DPR/MPR. Secara resmi DPRD Sulawesi Selatan membawa surat permintaan kepada DPR/MPR, supaya Abdurrahman Wahid diseyogiakan untuk mundur dan tidak memerlukan Sidang Istimewa yang ongkos sosial ekonominya cukup besar. Yang menarik adalah, enam tokoh Fraksi dari PDI-P, TNI/Polri, Partai Golkar, Fraksi Amanat Umat (gabungan PAN dan PK), Fraksi PPP, dan Fraksi Bulan Bintang, datang sendiri ke Gedung DPR/MPR Senayan untuk menyampaikan keputusan rakyat Sulawesi Selatan.
Berbarengan dengan itu, mahasiswa seluruh Sulawesi dan Kalimantan Selatan yang diwakili oleh tokoh-tokoh dewan mahasiswanya, mengambil sikap yang sama. Tatkala saya menyaksikan hal-hal tersebut, maka saya makin meyakini bahwa sesungguhnya apa yang saya anjurkan kepada Saudara saya Abdurrahman Wahid untuk segera mundur dari panggung politik nasional, itu memang cukup bijak dan bermanfaat jangka panjang.
Sekalipun demikian, yang kita perhatikan justru dari pihak Presiden Wahid ingin mengulur-ulur waktu dan melakukan berbagai macam manuver, yang pada hakikatnya hanya akan menunda kekalahan politiknya belaka. Sebagai misal, tampaknya ada upaya untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kelanjutan memorandum pertama DPR kepada hal-hal yang bernada serangan balik. Misalnya, mengangkat dana misterius Rp 90 miliar dari Bulog untuk kampanye Golkar, menggugat Bachtiar Chamsyah dan Akbar sebagai tokoh-tokoh DPR yang dianggap telah melanggar hukum, dan berbagai upaya untuk mengalihkan perhatian dengan mengatakan ada 10 koruptor kakap yang akan segera ditangkap dan itu pun belum pernah ada buktinya.
Dalam hal ini saya punya sikap yang sederhana. Seluruh korupsi yang pernah terjadi di masa lalu, memang harus diungkap secara hukum dibawa ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan yang seadil-adilnya demi kepentingan bangsa Indonesia. Hanya saja, kita sama sekali tidak boleh terjebak di dalam permainan politik yang begitu sederhana dan telanjang --yang bisa kita ketahui arah permainan politik tersebut.
Soal Golkar kemungkinan menerima dana tidak legal dari Bulog sebesar Rp 90 miliar, itu pun juga harus diusut setuntas-tuntasnya. Tetapi tidak berarti bahwa memorandum yang sudah demikian cemerlang mengungkap keterlibatan Abdurrahman Wahid dalam skandal Brunei dan Bulog, kemudian harus berjalan terseok-seok karena ada isu-isu baru itu.
Saya berpendapat bahwa satu demi satu masalah yang menyangkut kepentingan rakyat, harus dipecahkan secara sistematis. Sekarang yang ada di depan mata kita, yang sudah mendapat keputusan DPR secara sangat telak, adalah bahwa kita menunggu memorandum kedua dan kelanjutannya. Perkara ada "Golkargate" atau gate-gate yang lain, itu jelas harus tetap dikejar sampai ke ujung bumi, apakah itu menyangkut dana BLBI atau dana Bank Bali yang masih belum jelas hingga sekarang, dsb.
Yang jelas saya dengan rasa sedih mengatakan di sini, bahwa kalau di negara lain, permainan politik yang seperti kita lihat di pemerintahan sekarang ini, tidak perlu diperpanjang lagi. Tidak ada bukti yang lebih meyakinkan daripada kenyataan sidang paripurna DPR tanggal 1 Februari 2001, yang sesungguhnya sudah menyembulkan mosi tidak percaya kepada Presiden Abdurrahman Wahid.
Jadi tidak ada kata lain, sebaiknya Abdurrahman Wahid merenung sejenak tanpa diharu-biru oleh para pembisiknya yang mungkin menyimpan vested interest bermacam-macam itu. Kemudian dalam keheningan dan ketenangannya, Abdurrahman Wahid bisa berdialog dengan counter egonya. Kalau hal ini ditempuh dengan tulus, maka saya yakin kesimpulannya sudah jelas bahwa dia memang harus mengundurkan diri daripada memperpanjang permainan yang berujung pada kekalahan yang tidak baik buat dirinya, jam'iyah-nya, dan buat pengembangan demokrasi di Indonesia. Wallahu a'lam.