Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 05/04/2001
 

Memorandum dan Kompromi Politik

Adil - Setelah DPR RI mendengarkan jawaban tertulis Presiden yang dibacakan Baharuddin Lopa, mengenai tuduhan DPR bahwa Wahid telah melanggar sumpah jabatan serta tidak menegakkan menyelenggarakan negara yang bersih dari korupsi dan kolusi, maka pada umumnya para anggota DPR bereaksi negatif. Hal ini bisa dimengerti karena jawaban yang ditunggu-tunggu itu --yang dibayangkan merupakan jawaban yang penuh semangat reformasi dan kenegarawanan yang terpuji, ternyata hanya semacam pembelaan diri dan mengungkap kembali masalah-masalah lama yang sama sekali tidak meyakinkan para anggota dewan.

Bila saya mengatakan jawaban terhadap Memorandum I itu sama sekali tidak membuat bahagia para anggota DPR, maka sesungguhnya rakyat Indonesia pun pada umumnya merasa sangat kecewa pula. Sebagai misal Metro-TV di Jakarta, beberapa jam setelah jawaban yang mengecewakan itu melakukan polling secara acak. Ternyata hasilnya persis seperti yang saya katakan di atas. Sekitar 80 persen responden mengatakan DPR perlu mengeluarkan Memorandum II, sementara 20 persen mengatakan tidak perlu dan tidak tahu.

Saya yakin sekarang ini yang ada di benak di Presiden Wahid adalah, bagaimana cara menggagalkan Memorandum II yang banyak diantisipasi akan dijatuhkan pada awal Mei nanti. Menurut saya ada tiga cara yang perlu diwaspadai yaitu; pertama penggunaan politik uang. Terus terang memang sangat sulit melacak politik uang ini dengan memperoleh bukti-bukti yang telak. Namun sesungguhnya bisa ditengarai, kalau sejumlah anggota DPR yang mula-mula mengambil sikap begitu tegas terhadap satu masalah, tiba-tiba jadi melempem maka hampir bisa dipastikan ada suatu misteri yang telah mengubah sikap mereka. Dan, biasanya misteri itu adalah, apalagi, kalau bukan fulus atau uang.

Yang kedua, cara iming-iming yang seringkali juga menggiurkan para anggota DPR yang cukup vokal, yang sangat deras menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia. Namun kadang tokoh-tokoh yang vokal itu mendadak menjadi membisu seribu bahasa, tentu juga karena ada sebuah misteri lain. Misteri lain itu biasanya adalah tawaran-tawaran jabatan yang menggiurkan, misalnya posisi di kabinet sebagai menteri atau duta besar di negara yang cukup berprestise dsb.

Di samping itu ada cara ketiga yang perlu diwaspadai, yaitu semacam teror langsung atau tidak, secara halus atau kasar, yang mungkin diarahkan pada para anggota DPR tertentu agar mereka bisa mengubah sikapnya yang lurus, jujur, dan apa adanya. Malahan boleh juga ditambahkan metode keempat, yaitu melalui pembunuhan karakter atau character assasination terhadap tokoh-tokoh yang dianggap sebagai saingan politik yang mempersulit langgengnya kekuasaan.

Oleh sebab itu ketika media massa ramai memberitakan soal kompromi politik, hal ini bisa dikaitkan dengan cara kedua yang saya uraikan di atas. Kompromi politik itu artinya akan ada semacam "dagang sapi" atau "dagang kambing" yaitu mengkapling-kapling kabinet menjadi beberapa kelompok. Selanjutnya ditawarkan kepada partai-partai besar, agar setelah terjadi "kompromi politik" maka masalah "siapa mendapat apa" menjadi selesai dan kemudian seketika itu suasana poltik akan mendingin walaupun hanya sementara.

Saya mengatakan, kompromi politik model seperti ini hanyalah seperti orang sakit liver atau sakit TBC atau sakit keras yang merasakan mual-mual dan pening, kemudian harus minum Bodrex atau Aspirin. Begitu daya obat dari Aspirin atau Bodrex itu sudah hilang, maka mual-mualnya itu akan bertambah, peningnya juga mungkin lebih tinggi lagi, dan suhu badan juga tidak akan turun.

Saya melihat bahwa Indonesia sekarang mengidap penyakit berat dan intinya memang terletak pada kepemimpinan nasional. Jadi, diganti menteri sebulan sekali, dicarikan teknokrat yang berkaliber internasional macam apapun, kalau inti dari permasalahan yaitu kusir nasional atau pemimpin nasional itu masih suka berbohong, masih saja terus-terusan main patgulipat dan membenarkan KKN langsung atau tidak, juga tidak sungguh-sungguh mengurus rakyat dan negara Indonesia maka kompromi politik itu tidak akan ada artinya.

Sekali lagi, mungkin dalam jangka satu dua bulan akan meredakan masalah, karena ibarat balsem itu bisa membuat penderita dapat tertidur lelap. Tetapi ketika bangun maka realitas yang pahit tetap saja di depan mata dan tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, saya katakan bahwa soal kompromi politik sekelebatan memang terdengar bagus. Tetapi harus betul-betul dipikirkan visi dan substansinya.

Kalau kompromi politik itu artinya Abdurrahman Wahid misalnya dengan legowo mau mundur, kemudian meninggalkan pesan-pesan pada Megawati Soekarnoputri untuk melanjutkan hal-hal yang mungkin baik yang perlu dilanjutkan, serta tidak mengulangi lagi bermacam-macam kelemahan Abdurrahman Wahid, maka itulah sejatinya kompromi politik. Kalau kompromi politik berarti bahwa mereka yang selama ini terlibat KKN harus pelan-pelan dibawa ke pengadilan secara transparan dengan mengindahkan prosedur hukum dan acara pidana, maka itu adalah kompromi politik sejati yang ditunggu-tunggu masyarakat.

Tetapi kalau kompromi politik sekadar untuk menghindarkan Memorandum II, itu artinya hanya akan menunda lebih panjang lagi kesengsaraan rakyat tanpa bisa menyembuhkan penyakit yang asli. Dan, perlu kita catat di sini bahwa sebulan selama reses ini, bisa dibayangkan akan terjadi berseliweran tokoh-tokoh politik yang tidak punya hati nurani yang akan melakukan trik-trik maupun berbagai "jual-beli sapi maupun kambing" di panggung nasional. Namun perlu kita ingatkan bahwa mereka sejatinya hanya akan menyengsarakan rakyat banyak.

Kini waktunya sudah sangat tinggi bagi kita untuk memiliki pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang berani memberantas KKN sejujur-jujurnya. Kita perlu pemimpin-pemimpin nasional yang punya visi jauh ke depan dan tidak dihantui balas dendam pada tokoh-tokoh Orde Baru. Hanya itulah, saya kira, yang mungkin bisa menyembuhkan secara utuh pengertian kompromi atau rekonsiliasi nasional. Yang terlibat KKN tempo dulu maupun tempo sekarang pelan-pelan harus dibawa ke meja hijau dengan mengindahkan hukum acara pidana maupun tata cara proses hukum yang etis.

Kemudian yang harus dinomorsatukan adalah dua hal. Pertama, gejala disintegrasi segera ditanggulangi dengan menghilangkan sebab musabab yang paling dalam yaitu ketidakadilan ekonomi dan kezaliman politik sosial yang berlaku lama di Aceh, Irian Jaya, dll. Yang kedua, perut rakyat harus segera diisi, pengangguran harus dikurangi, dan semua hal yang berkaitan dengan rakyat kecil harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Itulah barangkali kompromi politik yang diharapkan dan bukan sekadar bagi-bagi kursi yang akan membuat masyarakat khususnya mahasiswa semakin marah lagi. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Masalah Utama Tahun 2001 | Otda, Sebuah Taruhan | Kita Memang Lemah | Jangan Kehilangan Harapan | Belajar dari Kejatuhan Estrada | Tragedi Abdurrahman Wahid | Jangan Memperumit Proses Politik | Gambaran yang Makin Suram | Tragedi Sampit dan Keputusasaan Masyarakat | Rahasia Sukses Pemimpin | Menanti Lahirnya Memorandum II | Aceh Bukti Kegagalan Gus Dur | Memorandum dan Kompromi Politik | Bahaya Politisasi Agama | Perlukah Pertemuan Empat Tokoh? | Menegakkan Moral Demokrasi | Yang Kita Kelola adalah Negara | Ujian Berat Megawati | Mempertahankan Kredibilitas | Dana Hibah yang Menghebohkan | Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington | Kita Semua Prihatin | Terpulang kepada Kita Sendiri | Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq