Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 13/09/2001
 

Dana Hibah yang Menghebohkan

Adil - Beberapa hari terakhir ini ada satu berita yang menarik dari Komite Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), bahwa menurut data yang berhasil dihimpun oleh KPKPN ternyata banyak pejabat yang memasukkan ke dalam daftar kekayaannya dana hibah yang lumayan besar. Bahkan ada yang sangat besar. Namun diakui pula bahwa para pejabat KPKPN pun, dalam jumlah yang lebih kecil, ternyata ditonjolkan pula adanya dana hibah dalam daftar kekayaan beberapa pejabat yang akan mengawasi kekayaan para pejabat negeri supaya jauh dari korupsi dan kolusi itu.

Buat kita hal tersebut menarik, karena dana hibah dianggap sangat agamais dan lumrah sehingga tidak perlu diusut dari mana asal-usul uang, tanah, atau kekayaan materiil yang berupa hibah itu. Dalam agama Islam dikenal sejumlah istilah yang menunjukkan adanya peralihan benda atau uang dari seseorang kepada orang lain atau pihak lain seperti organisasi atau yayasan, yang disebut hibah. Di samping tentu saja istilah-istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat Islam, seperti zakat, sedekah, infak, hadiah, wakaf dll.

Saya setuju demi penertiban dan penjernihan kekayaan yang dimiliki oleh para pejabat kita maupun mantan pejabat, seluruh kekayaan mereka dari mana pun datangnya --termasuk hibah atau warisan-- diteliti secara jelas. Dengan kata lain, jangan sampai hibah itu menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang mendapatkan hartanya secara tidak sah. Walaupun demikian saya juga ingin memberikan catatan, bahwa kita tidak bisa menggebyah uyah atau melakukan generalisasi secara gegabah, karena bisa saja seorang pejabat memang betul-betul mendapatkan hibah yang besar bahkan sangat besar untuk ukuran Indonesia.

Sebagai misal, saya pernah melakukan perjalanan umrah dengan seorang teman akrab saya yang kebetulan pernah menjadi menteri dan dirjen. Dalam perjalanan umrah itu kami sempat mampir ke rumah kakak kandung mantan pejabat tersebut di Jeddah. Dalam percakapan santai sambil makan malam, si abang yang memang sudah bermukim di Jeddah selama 30 tahun, telah menjadi konglomerat yang kaya raya.

Dalam omongan dengan dialek Banyumasan itu, kira-kira si abang mengatakan pada adiknya; "Dik, kamu mau tidak saya kasih tambahan modal?" Si adik menjawab, "Ya tentu, asal tidak harus mengembalikan dengan cepat". Si adik bertanya lagi; "Berapa dana yang mau dipinjamkan?" Jawaban si abang, "Sekitar 4 atau 5 juta dolar". Nah, saat itu saya nyeletuk bahwa ternyata di kalangan hamba-hamba Allah yang kaya raya, jumlah 4 atau 5 juta dolar itu bukan sesuatu yang luar biasa. Sementara buat saya, seribu dolar saja sudah sangat banyak. Kemudian berderailah tawa dua kakak beradik itu di depan saya dan teman-teman yang lain.

Karena itu, sesungguhnya melacak asal muasal dana hibah tidak terlalu sulit. Tinggal ditanyakan kepada penerima hibah, dari mana datangnya hibah tersebut, kapan diberikan, lalu bisa dicek kembali apakah si pemberi dana atau hibah memang pantas melakukan hal tersebut. Seandainya seorang pejabat mengaku mendapat dana hibah dari pamannya sebesar Rp 10 miliar, ternyata ketika dicek oleh KPKPN sang paman hanya pengusaha biasa-biasa saja, maka tentu uang sebesar itu bisa dikejar kembali sehingga pretensi hibah itu tidak benar dalam kenyataan.

Lepas dari pembicaraan tentang hibah, saya ingin menarik perhatian kita semua bahwa sejak zaman Bung Hatta sampai sekarang, keinginan pemerintah untuk memberantas KKN sudah didengungkan dan sampai sekarang hasilnya masih nol besar. Sebab-musababnya tidak sulit untuk diketahui. Dalam hal ini, kewajiban untuk memberantas KKN memang berada di pundak pemerintah dengan segenap aparatnya. Karena hanya pemerintahlah yang bisa menggerakkan kejaksaan, kehakiman, kepolisian, serta bagian-bagian pengawasan dalam mesin birokrasi, untuk menanggulangi penyakit kronis yang sudah begitu lama bercokol di Tanah Air kita.

Saya khawatir semboyan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, dewasa ini di telinga orang awam, tinggal menjadi slogan kosong yang tidak ada maknanya sama sekali. Yang lebih dahsyat lagi, tentu kenyataan bahwa semakin besar korupsi seseorang tampaknya justru semakin aman. Dan semakin tidak masuk akal penggelapan uang rakyat atau uang negara itu, maka semakin kukuh benteng penyelamatannya yang dilakukan kadang-kadang oleh pemerintah sendiri secara sadar atau tidak.

Kalau tidak salah saya pernah mengungkapkan di dalam kolom ini secara sekelebatan, bahwa bangsa kita tampaknya sudah tidak bisa dikejutkan dengan berita-berita korupsi dalam skala apapun juga. Bukti yang mencolok adalah penyusutaan dana di BPPN yang pada 22 bulan silam ditaksir lebih dari Rp 600 triliun, sekarang tinggal di bawah Rp 200 triliun. Saya tidak melihat penyusutan yang sesungguhnya amat sangat mengejutkan itu disoroti oleh media massa kita, atau oleh para pejabat penegak hukum kita yang menjadi tumpuan harapan sebagai kekuatan pemberantas KKN di negeri ini.

Kembali ke soal hibah yang kita bicarakan kali ini, terus terang saya sudah pesimis lebih dahulu bahwa isu tentang pelacakan hibah hanyalah menjadi wacana publik dalam beberapa hari, untuk kemudian tenggelam lagi seperti wacana-wacana yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang pernah mencuat sebelumnya. Inilah barangkali cerita ironi yang penuh dengan paradoks dari bangsa Indonesia yang sedang mengisi pembangunan dengan proses reformasi total.

Kita sebaiknya dapat menjadi bangsa yang bijak, arif, dan cerdas. Pada masa lalu ketika pemerintah Orde Baru mengibarkan panji-panji pembangunan sepanjang siang dan malam, justru yang terjadi adalah berbagai macam kebocoran nasional yang kita semua sudah mafhum akibatnya. Hal itu berjalan dalam kurun waktu hampir dua generasi atau lebih 40 tahun. Artinya, baik zaman Orla maupun Orba sesungguhnya korupsi juga terus berjalan, sekalipun cara dan manifestasinya sedikit berbeda di sana-sini.

Sekarang zaman semakin transparan. Media massa juga semakin menunjukkan taringnya secara tajam untuk menjadi kekuatan kontrol sosial masyarakat. Dan, ketika roda reformasi sudah disepakati untuk didorong bersama-sama, maka seyogiyanya kita harus arif terhadap kelemahan-kelemahan kita di masa lampau. Saya juga ingin mengatakan bahwa suatu pekerjaan yang besar tentu dimulai dari langkah-langkah kecil.

Saya ingat ketika Jaksa Agung M.A. Rachman dilantik, dia mengatakan setelah 100 hari menjabat sebagai Jaksa Agung, maka kita akan disuguhi dengan penangkapan tikus-tikus negara yang besar-besar sebagai awal tanda pemberantasan KKN di negara kita. Namun tanda-tanda itu, sekalipun masih jauh dari 100 hari, tampaknya tidak terlihat sama sekali. Walaupun demikian kita harus terus mengobarkan harapan adanya clean government, supaya kita tidak pernah frustasi atau berputus asa.
Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Masalah Utama Tahun 2001 | Otda, Sebuah Taruhan | Kita Memang Lemah | Jangan Kehilangan Harapan | Belajar dari Kejatuhan Estrada | Tragedi Abdurrahman Wahid | Jangan Memperumit Proses Politik | Gambaran yang Makin Suram | Tragedi Sampit dan Keputusasaan Masyarakat | Rahasia Sukses Pemimpin | Menanti Lahirnya Memorandum II | Aceh Bukti Kegagalan Gus Dur | Memorandum dan Kompromi Politik | Bahaya Politisasi Agama | Perlukah Pertemuan Empat Tokoh? | Menegakkan Moral Demokrasi | Yang Kita Kelola adalah Negara | Ujian Berat Megawati | Mempertahankan Kredibilitas | Dana Hibah yang Menghebohkan | Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington | Kita Semua Prihatin | Terpulang kepada Kita Sendiri | Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq