Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 20/09/2001
 

Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington

Adil - Saya yakin sampai hari ini media massa internasional maupun koran-koran di dalam negeri masih terus saja membahas kedahsyatan pemboman Washington D.C. dan New York, serta berbagai macam implikasinya. Saluran televisi internasional seperti CNN, CNBC, BBC, dan saluran-saluran TV yang lain, praktis sehari semalam tanpa henti membicarakan pemboman yang sangat mengguncangkan dunia itu dari berbagai macam segi analisa.

Saya mengamati bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia umumnya tidak dapat menyetujui, bahkan banyak yang mengutuk pemboman yang teroristik tersebut. Namun selalu saja saya memperoleh kesan ada semacam hikmah yang harus ditarik oleh Amerika Serikat. Saya sendiri secara jujur juga mengalami hal semacam itu, yakni saya tidak dapat menerima sedikit pun tindakan pemboman yang membawa korban puluhan ribu manusia tidak berdosa dan pasti dikutuk oleh agama. Tetapi pada saat yang sama saya selalu berpikir mengapa ada semacam kebencian yang demikian meluas terhadap Amerika Serikat. Di samping itu tidak perlu dikatakan lagi, seperti ungkapan populer dalam masyarakat, bahwa dalam setiap musibah harus ada hikmah yang dapat ditarik atau dipetik.

Menggunakan pesawat penumpang Boeing 737 atau 757 untuk menghancurkan gedung bertingkat 110 maupun pusat militer, tentu tidak pernah terlintas di benak orang-orang yang berpikir normal. Namun di sinilah justru kejutan yang kita peroleh, ketika kita melihat simbol keperkasaan ekonomi Amerika yakni Gedung WTC atau pusat dagang dunia dan simbol keperkasaan militer yang berupa Gedung Pentagon, dapat dihancurkan hampir secara sempurna oleh kaum teroris.

Tampaknya persiapan pemboman yang mengguncangkan rasa percaya diri Amerika itu telah dirancang paling tidak selama satu tahun. Malahan ada beberapa penulis yang mengatakan perencanaannya tentu lebih panjang dari 2 tahun bahkan sampai 3 tahun. Kita tidak usah berdebat mengenai panjangnya perencanaan itu. Tetapi kita bersepakat bahwa peristiwa pemboman di dua kota terkemuka di Amerika Serikat, selain dahsyat dan sangat mengerikan, juga tidak pernah ada dalam teori kaum militer umumnya. Bahkan juga tidak ada dalam kamus kaum teroris yang sembarangan.

Bisa dibayangkan, untuk merekrut belasan pilot cerdas yang mau bunuh diri dan melakukan perbuatan semacam kamikaze, tentu bukanlah tugas yang mudah. Merekrut orang yang bersedia bunuh diri dari kalangan masyarakat yang bodoh dan pendek pikiran, barangkali masih bisa diperolah. Akan tetapi meyakinkan pilot-pilot dengan pengalaman terbang yang tinggi serta keterampilan menerbangkan pesawat Boeing yang kemudian mau melakukan tindakan bunuh diri, tentu memerlukan sebuah rekayasa yang luar biasa.

Terus terang saya tidak yakin Osama bin Laden merupakan tokoh utama di balik pemboman yang mengerikan itu. Tetapi tidak tertutup kemungkinan Osama bin Laden merupakan sebagian kecil dari skenario yang demikian matang dan mencengangkan itu.

Ketika saya melihat di televisi sejumlah orang Palestina berjingkrak-jingkrak mendengar musibah yang diderita Amerika, segera terpikir oleh saya bahwa mereka seolah-olah telah dapat menyalurkan frustrasinya yang berkepanjangan. Dalam kenyataan memang orang-orang Palestina seringkali mendapati rumah-rumahnya yang dibangun beberapa bulan, telah dibuldoser habis oleh tentara Israel. Demikian juga kaum ibu, anak-anak, dan para orang tua yang terpaksa mati busung lapar karena embargo Amerika di Irak yang berkepanjangan. Tentu kenyataan demikian akan menimbulkan semacam kegeraman di kalangan orang-orang yang menderita itu.

Bukan cerita aneh lagi kalau kita membaca ada sebuah kampung di Palestina diratakan dengan tanah oleh tentara Israel. Atau, sewaktu Perang Teluk yang tidak berimbang, bangunan-bangunan bertingkat di Baghdad dan Bashra juga dibom, layaknya menghantam sebuah kerupuk dengan batu besar sehingga luluh lantak. Maka ketika kita melihat ada orang jingkrak-jingkrak bergembira melihat musibah Amerika itu, di dalam pikiran saya terbayang; jangan-jangan mereka sedang melampiaskan dendam kesumat akibat penderitaan yang dialami bangsa mereka akibat tangan besi Israel yang dibantu sepenuhnya oleh Amerika.

Secara demikian saya ingin mengatakan, Amerika harus punya kemampuan pengendalian diri yang kuat. Bayangkan apabila di dalam suasana yang emosional sekarang tiba-tiba George W. Bush mengambil langkah-langkah yang dramatis dan emosional, maka diperkirakan hasilnya akan lebih buruk lagi --bukan saja pada mereka yang dianggap sebagai musuh Amerika melainkan juga lebih-lebih pada Amerika sendiri.

Bayangkan, misalnya Afganistan dibom oleh Amerika dengan dalih pernah berkongkalikong dengan Osama bin Laden atau tokoh-tokoh nekat lainnya, lantas Arab Saudi atau Pakistan atau Irak atau Iran dan lain-lain dibom oleh Amerika Serikat, maka jelas sekali tindakan itu selain brutal pasti menimbulkan antipati masyarakat internasional.

Dengan demikian saya hanya ingin mengatakan, Amerika tidak boleh gegabah dalam menangani musibah pemboman yang sangat berat itu. Tidak usah orang Amerika, kita pun yang hanya melihat di televisi dan gambar-gambar di koran dan majalah, juga tidak menerima perlakuan yang demikian indiskriminatif terhadap orang-orang sipil tak berdosa, terutama mereka yang berada di dua gedung kembar pusat dagang dunia ketika mereka sedang mengais rezeki.

Hari-hari mendatang kita masih akan menyaksikan trauma yang berkepanjangan yang dialami oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat Amerika. Namun satu hal yang harus dicatat, belajarlah mereka itu dari kasus Oklahoma. Ketika gedung perdagangan Oklahoma dihancurkan oleh bom dengan kapasitas yang cukup dahsyat, maka segera saja FBI dan berbagai alat keamanan nasional Amerika menuduh dua orang pemuda Arab yang dianggap sebagai dalang dan pelaku pemboman Oklahoma. Malahan ada dua pemuda lagi yang dikejar-kejar sampai ke Amsterdam. Namun setelah diselidiki secara seksama, dalang dan pelaku pemboman Oklahoma ternyata orang-orang Amerika sendiri yang berkewarganegaraan Amerika, serta merupakan warga negara asli.

Oleh karena itu saya ingin melihat Amerika, sebelum melangkah, perlu berhati-hati agar tidak kecewa di belakang hari. Bayangkan apabila Amerika salah langkah, sudah membom ke sana ke mari, ternyata lagi-lagi yang menjadi pelaku perbuatan keji itu ternyata orang Amerika sendiri. Hal ini jangan dinafikan. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Masalah Utama Tahun 2001 | Otda, Sebuah Taruhan | Kita Memang Lemah | Jangan Kehilangan Harapan | Belajar dari Kejatuhan Estrada | Tragedi Abdurrahman Wahid | Jangan Memperumit Proses Politik | Gambaran yang Makin Suram | Tragedi Sampit dan Keputusasaan Masyarakat | Rahasia Sukses Pemimpin | Menanti Lahirnya Memorandum II | Aceh Bukti Kegagalan Gus Dur | Memorandum dan Kompromi Politik | Bahaya Politisasi Agama | Perlukah Pertemuan Empat Tokoh? | Menegakkan Moral Demokrasi | Yang Kita Kelola adalah Negara | Ujian Berat Megawati | Mempertahankan Kredibilitas | Dana Hibah yang Menghebohkan | Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington | Kita Semua Prihatin | Terpulang kepada Kita Sendiri | Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq