Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?
Adil - Sebagai Ketua MPR yang selalu mengikuti persiapan-persiapan Sidang Tahunan MPR 2001 smpai berlangsungnya sidang tersebut, saya dapat mengambil pelajaran penting. Hanya sayangnya, pelajaran itu bukan sesuatu yang bersifat positif, melainkan justru kesan negatif yang harus kita jadikan bekal untuk mengantisipasi proses politik di MPR pada masa yang akan datang.
Sebagaimana kita ketahui, yang ditunggu-tunggu oleh rakyat adalah apakah benar akan ada amandemen terhadap UUD '45 yang menetapkan pemilihan presiden secara langsung. Dan, apakah benar MPR berani mengambil keputusan yang membela kepentingan bangsa dan melupakan kepentingan-kepentingan yang lebih sempit.
Saya tidak menyalahkan publik, apabila sejak hari pertama jawaban terhadap pertanyaan di atas memang sudah kelihatan arahnya. Artinya, jawabannya mungkin tidak positif, karena rasa-rasanya mengharapkan 680-an orang anggota MPR untuk mengunggulkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, partai, golongan, dan kelompoknya, masih agak jauh panggang dari api.
Ketika sejumlah anggota MPR secara fisik berdorong-dorongan di depan meja pimpinan, kita segera menyimpulkan bahwa kematangan dan kedewasaan dari sementara anggota MPR masih belum seperti yang kita harapkan. Namun untuk menghibur diri, kita dapat mengatakan bahwa yang terjadi di MPR waktu itu masih kalah dramatis dibandingkan dengan perkelahian fisik di parlemen Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan, sekalipun hal itu terjadi pada sekitar 20 tahun yang lalu.
Kita kembali ke sorotan masyarakat atau media terhadap apa yang dinamakan kegagalan MPR. Buat saya sesungguhnya Sidang Tahunan MPR yang kemarin memperoleh setengah kesuksesan, sekaligus setengah kegagalan. Dikatakan sukses betul, jelas tidak bisa. Sementara disebut gagal benar, juga tidak bisa. Mengapa? Karena jelas sudah disahkan amandemen UUD '45 yang menyebutkan bahwa presiden dan wapres dipilih secara langsung. Hanya yang belum terselesaikan dan masih menjadi "PR" bagi Badan Pekerja MPR sampai tahun 2002 nanti adalah, apabila ternyata setelah pemilihan langsung belum ada paket capres dan cawapres yang mendapatkan 50 lebih dari total suara.
Di situlah kemudian terjadi dua kubu pendapat. Kubu yang satu mengatakan, sebaiknya dua paket dengan suara terbesar diserahkan ke MPR untuk dipilih salah satu. Kubu lain mengatakan bahwa dua paket dengan suara terbesar itu dikembalikan kepada rakyat lewat sebuah pemilu ronde kedua. Saya tidak ingin mengatakan mana yang lebih unggul, oleh karena masing-masing punya kelemahan. Kalau dikembalikan ke MPR, maka bisa terjadi paket yang mendapat suara lebih kecil dalam pemilu, memperoleh kemenangan dalam Sidang MPR --sehingga MPR bisa dituding tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Sementara jika dikembalikan ke rakyat untuk pemilu ulang, maka terjadi bukan saja biaya mahal tetapi juga 6 bulan persiapan itu akan terjadi kevakuman kepresidenan. Ini yang belum bisa dipecahkan oleh siapa pun yang menggagas pentingnya pemilihan ulang diberikan kepada rakyat Indonesia kembali.
Namun yang saya benar-benar merasa sedih, bahwa justru kontroversi ini oleh sementara partai dijadikan komoditas politik murahan untuk menyesatkan rakyat. Ada sejumlah partai yang seolah-olah paling getol membela rakyat, sehingga secara hantam kromo mereka mengatakan kalau dikembalikan ke MPR jelas tidak demokratis dan harus kembali ke rakyat lagi --sementara mereka tahu persis kesulitan teknis yang luar biasa karena hampir-hampir tidak mungkin. Demikian juga yang realistis mengatakan bahwa sebaiknya diberikan ke MPR saja, mereka tidak berani menghadapi kritik masyarakat yang kadang tidak tahu persis duduk perkara masalahnya.
Di tengah kontroversi itulah saya melihat ada kesepakatan yang tidak terucapkan, bahwa pokoknya voting harus dihindari. Dengan menggunakan ilmu pokoknya, maka kita melihat proses politik kita bisa mengalami jalan buntu. Kalau ilmu pokoknya ini akan diulangi tahun 2002 dan voting yang jelas-jelas sah menurut UUD tetap dijadikan tabu politik, maka saya tidak tahu nasib apa yang akan menghinggapi bukan saja MPR tetapi juga rakyat yang memang sudah sangat bosan dengan pertikaian politik yang tidak ada ujung pangkalnya ini.
Secara demikian memang pertanyaan mendasar kita adalah, beranikah kita mengunggulkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok masing-masing. Maksud saya, kalau kita betul-betul mengedepankan kepentingan bangsa, maka kalah-menang yang dapat dialami partai kita itu tidak menjadi pertimbangan utama. Yang penting bagaimana proses demokrasi berjalan dengan transparan dan bertanggung jawab. Sementara bisa saja dalam proses itu partai kita kalah, partai kita jadi kerdil bahkan kalau perlu lenyap, tapi kepentingan bangsa itulah yang harus diunggulkan.
Itulah sesungguhnya yang menjadi sikap saya, pada waktu saya mencoba menggiring agar semua mengiyakan voting. Saya tahu persis bahwa partai saya sebagai pendatang baru mungkin akan tenggelam di dalam sistem distrik maupun pertarungan pemilihan presiden secara langsung, karena tidak ada jaminan bahwa dari partai saya sendiri bisa mendapatkan suara yang besar dibandingkan partai-partai lain. Tetapi masalahnya, the show must go on. Pertunjukan dalam proses politik harus selalu bergulir dan berjalan, tidak boleh berhenti hanya karena ketakutan kita yang tidak berdasar atas perubahan-perubahan yang akan kita hadapi di masa mendatang.
Sekarang bayangkan, andaikata rapat paripurna terakhir dalam ST MPR kemarin diambil voting, maka mungkin kita sudah tidak bertele-tele seperti sekarang ini. Tetap inilah nasib bangsa kita. Kita kadang menipu diri sendiri. Kita terkadang melakukan tipu daya terhadap diri kita sendiri, dengan mengatakan voting itu kurang demokratis, kurang membawa hikmah, bisa melukai yang lain, sementara di muka bumi yang namanya demokrasi memang harus lewat voting.
Pemilu sendiri sejatinya merupakan sebuah voting nasional. Tetapi mengapa kemudian tiba-tiba kita ngeri kepada voting itu. Wallahu a'lam.