Beranikah Mega Meloloskan PKPS?
Adil - Solo, Kita, rakyat Indonesia, pada umumnya sudah mengetahui bahwa keterpurukan ekonomi dan sosial yang kita alami sekarang, disebabkan karena KKN yang merajalela. Salah satu dari penyakit KKN yakni kolusi, pada hakikatnya merupakan persekongkolan antara penguasa dengan pengusaha yang saling menguntungkan mereka, tetapi merugikan rakyat banyak. Kolusi merupakan saling kerling, saling janji, dan saling ikat antara pengusaha dan penguasa agar kedua belah pihak bisa memanfaatkan aji mumpung-isme untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mengindahkan kerugian rakyat yang sangat besar. Kolusi merupakan penyakit yang bisa membuat ambruk pemerintah, bahkan juga ambruknya negara.
Pada saat masyarakat sudah meyakini KKN merupakan biang kehancuran bangsa Indonesia, maka sekitar 4 tahun lalu diambil sebuah kebijakan untuk mengatasi utang para konglomerat kita yang mencapai sekitar Rp 200 triliun. Malahan kalau ditambah beban bunganya, angka tersebut bisa membengkak menjadi Rp 400 triliun. Angka ini jelas bukan angka yang kecil. Saya pernah membuat pengandaian, kalau utang para konglomerat hitam yang jumlahnya ratusan triliun rupiah itu dibelikan sembako yang dibagikan gratis kepada rakyat Indonesia, maka selama 6 sampai 7 tahun rakyat yang jumlahnya 200 juta jiwa lebih tidak usah merogoh koceknya barang sepersen pun untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Kebijakan untuk mengatasi utang para konglomerat itu diwujudkan dalam pembentukan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang kemudian melahirkan ketentuan yang kini sedang ramai dibicarakan yaitu PKPS atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Mengapa seorang tokoh ekonomi yang pernah menjadi menteri pada zaman Gus Dur dan sekarang juga masih menjadi menteri, yaitu Kwik Kian Gie, begitu keras menentang kemungkinan lolosnya PKPS, tentu ada sebab musabab yang lebih dalam lagi. Karena di dalam PKPS yang akan diloloskan oleh kabinet Megawati, ditentukan bahwa para konglomerat yang menunggak utangnya sampai ratusan triliun rupiah akan diberi keleluasaan selama 10 tahun dan bunganya pun sangat kecil sekitar 9 persen.
Saya bukan seorang ekonom yang tahu secara detail masalah seperti di atas. Namun dengan logika sederhana tapi jernih, kita mengetahui bahwa perpanjangan 10 tahun sama saja dengan pemutihan utang bagi konglomerat hitam yang menjadi musuh rakyat nomor satu atau public enemy no. 1. Mengapa saya berpendapat demikian? Pertama, dalam kurun waktu 10 tahun bisa dipastikan pemerintah sudah berganti. Kedua, dalam kurun yang sangat panjang itu tidak mustahil data-data di bank maupun BPPN sendiri, dan di berbagai lembaga penyangga seperti BPK dan lain-lain, dengan segala macam alasan bisa dihilangkan. Apakah karena alasan serangan virus komputer, keteledoran dll. Bukankah barang bukti hilang, dalam proses hukum kita sudah merupakan hal yang sangat biasa.
Ketiga, akan terjadi preseden yang sangat buruk buat bangsa kita, bahwa ternyata pemerintah tidak berani mengangkat kepala kalau sudah berhadapan dengan konglomerat hitam. Pemerintah yang harusnya membela rakyat, diberikan mandat oleh MPR untuk menegakkan keadilan, ternyata tidak punya tulang untuk berdiri menghadapi konglomerat hitam karena begitu perkasanya para konglomerat hitam dan begitu lemah dan rapuhnya si pemerintah. Dan, tidak kurang berbahaya, preseden ini juga akan memberikan semacam percontohan kepada para penguasa kita, bahwa kalau utang ke negara janganlah mengambil jumlah kecil karena justru akan dikejar-kejar Kejaksaan Agung. Tetapi ambillah utang dalam jumlah triliunan rupiah, maka kalian malah bebas. Selain itu, kalau PKPS sampai lolos, maka rasa keadilan rakyat akan tertusuk-tusuk dan bisa menimbulkan ledakan politik yang sulit kita bayangkan.
Secara demikian, saya bukan seakan-akan mengancam pemerintahan Mega sebagaimana ditulis beberapa media. Saya memang mengancam, sekaligus memberi peringatan keras. Kalau pemerintah menganggap enteng masalah ratusan triliun rupiah yang dijarah oleh para konglomerat hitam, maka pemerintah sesungguhnya sedang menggali liang kuburnya sendiri. Saya berbicara seperti ini, tentu berdasarkan pengamatan rasional ditambah intuisi enteng-entengan dari seorang awam sebagaimana rakyat Indonesia yang lain.
Secara rasional, akal sehat saya mengatakan bahwa dengan dilepaskannya ratusan triliun rupiah yang telah dijarah oleh belasan konglomerat hitam, maka berarti kekayaan negara kita raib tanpa harapan. Dan, tidak usah heran kalau IMF juga akan menghajar kita, kemudian legitimasi atau kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan segera berakhir. Padahal semua orang yang berpikir rasional mengatakan, sebuah pemerintahan yang kehilangan legitimasi, dia tinggal menghitung bulan atau bahkan minggu untuk dapat memperpanjang usia pemerintahannya.
Sementara secara intuisi, sebagai orang awam, saya yakin bahwa kekuasaan akan segera dicabut oleh Tuhan Yang Maha-esa, kalau amanat kekuasaan itu ternyata disalahgunakan. Dalam kaitan ini mungkin ada yang mempertanyakan, mengapa rezim Orba sekalipun telah menyalahgunakan kekuasaan, ambruknya ternyata cukup lama. Maka jawabannya tentu karena Orba juga mengalami plus-minus. Tetapi pada kurun waktu yang lama, ketika tumpukan minusnya jauh lebih menonjol, maka setelah itu terbukti rezim Orba ambruk juga. Rezim yang sekarang pun tidak akan bisa berkutik dari hukum sunnatullah semacam itu. Hal ini juga sudah kita perhatikan dengan seksama menimpa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
PKPS ini suatu batu ujian yang sangat menentukan. Kalau tumpukan kejahatan konglomerat yang berlangsung bertahun-tahun, kemudian malah dimanjakan, diberi insentif untuk menjarah kembali dan mempraktikkan metode penjarahan yang baru karena ada keleluasaan 10 tahun, maka saya juga yakin --sekalipun semua anggota DPR berdiam diri, sekalipun semua anggota MPR juga membisu-- tetapi akhirnya rakyat akan membuat perhitungan dengan pemerintah yang sudah mati rasa terhadap kepentingan rakyat itu sendiri.
Ini bukan masalah ancam mengancam. Ini bukan masalah menargetkan suara pemilu yang masih nun jauh di sana. Ini bukan masalah ecek-ecek yang seperti disangkakan orang. Ini adalah masalah prinsipil. Ini masalah survival bangsa dan tidak bisa dianggap enteng.
Kalau peringatan saya ini didengarkan, tentu saya akan bersyukur. Tetapi kalau tidak, bahkan kemudian menganggap peringatan saya ini sebagai peringatan yang mengada-ada, tentu sunnatullah akan membuat perhitungan sendiri. Wallahu a'lam.