Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | DETIKPLUS
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 7/2/2002
 

Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang


Adil - Solo, Beberapa waktu terakhir ini kritikan masyarakat dari berbagai lapisan telah gencar mengalir ke arah pemerintahan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Setiap jenis kritikan selalu bisa dimasukkan dalam dua kategori yaitu; kritik yang bersifat distruktif, tidak realistis, serta tanpa dimensi tanggung jawab. Untuk kritikan asal-asalan semacam ini memang tidak perlu diindahkan, dan pemerintah boleh menyikapi kritik distruktif tanpa tanggung jawab itu, kalau perlu, bahkan dengan arogansi atau kesombongan.

Namun jenis kritik kedua, yang sifatnya memang memprihatinkan masa depan pemerintahan dan nasib bangsa, serta selalu bersifat korektif, konstruktif, dan positif, seharusnya didengarkan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Saya tentu selalu mengupayakan setiap langkah kritik dan koreksi saya, jatuh pada kategori kedua yaitu kategori yang positif, korektif dan konstruktif, serta betul-betul dijauhkan dari kritik asal kritik, koreksi asal koreksi, yang justru akan dapat memukul balik si pengritik itu sendiri.

Mengapa pemerintahan yang baru berusia 6 bulan sudah mengalami kegonjang-ganjingan yang mengkhawatirkan? Karena menurut saya setidak-tidaknya ada lima hal penting yang hilang dan tidak kita temukan dalam pemerintahan Megawati sekarang ini.

Yang pertama, tentu adalah masalah kejujuran. Pemerintah agaknya cenderung tidak berani jujur terhadap publik, bahkan juga tidak berani jujur pada diri sendiri. Di satu pihak pemerintah mengajak hidup sederhana, tetapi yang ditampilkan seringkali adalah kemewahan dan hal-hal serba glamor yang dapat membuat geram rakyat yang sedang menderita tekanan sosial ekonomi cukup berat. Di satu pihak pemerintah mengatakan akan membela nasib wong cilik, tetapi dalam kenyataan yang diperhatikan justru para konglomerat hitam yang jumlahnya tidak lebih dari dua losin, yang sudah betul-betul membuat ambruknya negeri ini. Bahkan pengusaha kecil menengah juga termasuk yang dilupakan --seperti halnya rakyat kecil yang lain, karena dengan ketidakjujurannya itu pemerintah telah berpihak sepenuhnya kepada segelintir konglomerat yang sekaligus menjerembabkan rakyat ke kesengsaraan ekonomi yang lebih parah.

Yang kedua, kita juga melihat bahwa orientasi kerakyatan semakin pudar --kalau tidak dapat dikatakan hilang sama sekali. Saya pernah diberitahu oleh seorang pimpinan bank, ketika dia mengingatkan pemerintah agar kredit untuk rumah sangat sederhana (RSS) dan kredit yang sifatnya untuk menggerakkan perusahaan-perusahaan kecil semacam pengusaha genteng atau batu bata. Ternyata peringatan itu dijawab oleh pemerintah, dalam hal ini salah seorang menteri, bahwa maaf hal-hal seperti itu tidak tertera dalam urgensi atau prioritas kebijakan ekonomi pemerintah sekarang ini. Padahal, kata pimpinan bank itu, kalau kredit-kredit perumahan rakyat digalakkan kembali yang hanya meliputi 6 atau 7 triliun rupiah saja, maka dampaknya akan sangat luas. Sedangkan menggerakkan pengusaha-pengusaha kecil, jelas akan memberikan lapangan kerja bagi ratusan ribu tukang batu, tukang kayu dll. Di atas itu semua, sesungguhnya citra pemerintah menjadi positif karena membela kepentingan rakyat kecil. Namun dengan sekeping contoh ini menunjukkan memang masalah kerakyatan yang ada dalam ideologi negara Pancasila maupun yang tertera di dalam GBHN, juga yang sering didengungkan dalam percakapan publik, sekarang ini telah asing di dalam kamus pemerintahan Megawati.

Sementara itu, yang ketiga, untuk membangun sebuah pemerintahan yang berhasil tentu para menterinya harus terdiri dari kaum profesional yang betul-betul ahli, dan merupakan tokok-tokoh yang dapat menjadi andalan untuk memecahkan masalah dalam bidang masing-masing. Dalam hal ini saya juga semakin keras meragukan, apakah kabinet sekarang ini sudah terdiri dari orang-orang yang ahli di bidangnya. Ada seorang menteri yang punya pengalaman menjadi direktur sebuah bank swasta yang kini memegang seluruh BUMN kita, termasuk seluruh lembaga perbankan, dan ditambah menguasai BPPN yang kalau ditaksir maka ada beribu-ribu triliun rupiah dalam genggaman sang menteri. Kata banyak teman, sang menteri itu sesungguhnya tidak punya kemampuan memadai untuk mengelola beban tugas di pundaknya yang demikian besar. Tentu di samping itu, tidak usah kita katakan, ada sebuah penyalahgunaan wewenang karena seumur-umur republik, yang namanya lembaga keuangan pastilah di bawah menteri keuangan. Sementara sekarang lembaga perbankan dilepaskan dari otoritas menteri keuangan, dan kita tahu hasilnya semakin amburadul suasana finansial dan ekonomi bangsa kita. Tidak kurang dari Nabi Muhammad SAW bersabda, bahwa kalau suatu urusan diberikan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.

Di samping itu ada masalah keempat yang perlu kita cermati, bahwa tampaknya pemerintah sekarang ini bukan pemerintah yang mengunggulkan kerja keras, dan bukan pemerintah yang memahami urgensi dari krisis yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Dari berbagai pernyataan para menteri maupun pimpinan nasional, saya jarang mendengar atau menyaksikan adanya keprihatinan yang mendalam dari masing-masing tokoh itu. Sehingga paling tidak secara lahiriah, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak tertarik untuk membanting tulang bekerja keras dan menyelesaikan masalah yang demikian menggunung di depan mata kita.

Dan tentu last but not least, yang kelima, yang hilang dalam pemerintahan sekarang ini adalah visi yang jelas tentang apa yang harus dikerjakan dan gambaran apa yang ingin kita miliki dalam 2-3 tahun mendatang. Tampaknya hampir semua masalah ingin dipecahkan secara ad hoc dan secara ringan-ringan saja. Sebagai contoh, kasus terakhir PKPS, sebuah masalah yang sangat strategis dan menyangkut survival atau kelanjutan kehidupan bangsa kita, karena kabinet sendiri bingung, lantas ditunjuk tim kecil yang terdiri dari Menko Polkam, Menko Ekuin, dan Menko Kesra. Orang awam sekalipun tentu akan bertanya-tanya, sejak kapan ketiga Menko dengan berbagai bidang yang berbeda-beda diberikan beban penyelesaian masalah yang sesungguhnya pada tingkat pimpinan nasional yang puncak itu sendiri harus sudah dapat diselesaikan.

Inilah saya kira hal-hal yang kelihatannya hilang di dalam pemerintahan sekarang. Dan, sebagai sebuah kritikan yang katakanlah bersifat normatif, saya mengingatkan agar yang hilang itu didapatkan kembali secara sungguh-sungguh, supaya harapan rakyat bahwa mereka akan hidup lebih baik di hari-hari mendatang akan menjadi kenyataan. Saya sangat menyayangkan apabila kritikan yang bernada korektif dan konstruksif ini --dan saya tahu ada ratusan versi kritikan lain yang sifatnya positif-- sampai ditanggapi dengan cuek bahkan percaya diri yang berlebihan, maka gambaran masa depan tentu tidak terlalu cerah.

Seorang pemimpin adalah seorang yang punya watak andap asor. Seorang pemimpin harus pandai mendengarkan kritik, dan bukan hanya dibuai oleh kekuasaan serta berimajinasi melambung, seolah-olah dengan keperkasaan kekuasaannya masalah-masalah yang rumit itu dapat diselesaikan. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq