Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | DETIKPLUS
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 7/3/2002
 

Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi


Adil - Solo, Pekan lalu saya melontarkan kritik lumayan tajam berkaitan dengan kinerja beberapa bagian dari pemerintahan yang seharusnya melakukan pemulihan ekonomi, akan tetapi justru mengalami proses pembusukan. Saya secara sadar menyebut tiga lembaga yang sedang menderita proses pembusukan ekonomi, yaitu Kantor Menneg BUMN yang mengelola lebih dari 2.000 triliun rupiah, lembaga BPPN yang menjadi salah satu tumpuan usaha pemulihan ekonomi nasional, dan dalam batas lebih ringan Kantor Menko Ekuin. Memang kemudian muncul banyak kritik terhadap saya, yang antara lain mengatakan bahwa sesungguhnya proses pembusukan tidak hanya di tiga lembaga itu, melainkan telah menyeluruh menggenangi seluruh lembaga-lembaga negara kita. Ada juga yang mengatakan proses pembusukan telah menggelimangi seluruh tubuh eksekutif, legislatif dan yudikatif kita.

Saya tidak menolak pernyataan-pernyataan yang kemudian mencoba menarik secara luas proses pembusukan itu tanpa batas, menjadi telah menggenangi seluruh institusi dan sel-sel pemerintahan kita. Akan tetapi yang saya maksudkan, tiga lembaga itu perlu saya sebut secara terang karena di sanalah letak pembusukan ekonomi yang paling parah dan paling fatal bagi kelanjutan kehidupan nasional kita. Saya tidak menutup mata bahwa di lembaga Kejaksaan Agung pun tentu juga ada proses pembusukan, karena ada oknum-oknum di Kejagung yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan telah menyalahgunakan kekuasaannya, katakanlah, untuk memeras para tersangka, para terdakwa dll. yang hal ini sudah menjadi rahasia umum. Atau juga di berbagai lembaga aparat penegak hukum yang lain, bahkan di lembaga kepolisian pun sering terjadi sinyalemen negatif yang ikut berpartisipasi di dalam melumpuhkan kinerja ekonomi kita.

Mengapa kantor BUMN saya bidik sebagai lembaga yang syarat dengan proses pembusukan, oleh karena untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ada departemen nonportofolio yang menguasai seluruh BUMN kita, termasuk lembaga-lembaga keuangan negara, bank-bank pemerintah, yang saya kira jelas sekali akan menyebabkan kemampuan kontrol dari menteri maupun para deputinya tidak akan mampu meng-handle beratus-ratus BUMN yang ada di bawahnya, termasuk lembaga-lembaga perbankan yang sesungguhnya menjadi otoritas Menteri Keuangan. Bagaimana Menteri BUMN tangannya sangat gatal untuk menjual Semen Gresik, merupakan sebuah kenyataan yang sulit dibantah, bahwa selain penjualan Semen Gresik itu telah menenggelamkan unsur-unsur patriotisme yang mungkin masih tersisa. Tetapi juga, dalam waktu singkat apabila Cemex kemudian mengambil alih saham mayoritas Semen Gresik, maka akan tergantunglah bangsa Indonesia kepada produsen semen asing. Semen Cibinong, Semen Tiga Roda, Semen Gresik dan berbagai cabang perusahaannya telah menguasai 93 persen produksi nasional. Sehingga bisa dibayangkan jika semen sebagai industri strategis itu sudah lepas dari tangan kita, maka pada gilirannya akan menjadi bumerang yang destruktif terhadap kemampuan dan daya tahan survival ekonomi kita.

Belum lagi kalau kita bicara soal Standard Chartered Bank yang seolah-olah mendapatkan perlakuan sangat istimewa dari BPPN yang tentu bekerja sama juga dengan BUMN. Bagaimana para anggota DPR dan media massa kita telah berteriak bahwa divestasi BCA jelas tidak memenuhi aturan yang benar, namun tetap saja akan dilaksanakan divestasi BCA itu dan diarahkan agar Standard Chartered Bank menjadi pengambil alih saham terbesar BCA. Tentu cerita seperti ini banyak sekali. Bahkan menyangkut BUMN paling penting yaitu Pertamina yang, kata orang-orang dalam pun, kalau tidak lekas dibenahi hanyalah merupakan masalah waktu saja. Suatu ketika pihak asing akan mengambil alih Pertamina, dimulai dengan membeli SPBU sebanyak mungkin, kemudian mengambil kilang-kilang minyak Pertamina, dan akhirnya tinggal masalah waktu maka Pertamina pun akan dikangkangi oleh kekuatan asing.

Kita tentu masih ingat bagaimana Ghutrie Berhad dari Malaysia mengambil alih ratusan ribu hektare kebun sawit di Sumatera. Kita juga sudah mendengar nasib Indomobil, maupun suatu ketika Telkom pun bakal lepas dari kendali bangsa Indonesia. Sekalipun sulit untuk mengkonfirmasi, tetapi cerita-cerita yang mendekati autentik mengatakan bahwa permainan KKN di BPPN dan BUMN berseliweran demikian kentara, tinggal saatnya membuka masalah-masalah ini ke hadapan publik. Sementara kritik saya kepada Kantor Menko Ekuin, memang saya katakan tidak langsung memainkan KKN dalam arti klise, tetapi kebijakan-kebijakan keliru yang tidak memihak kepada rakyat itulah sesungguhnya merupakan tambahan dari proses pembusukan ekonomi nasional.

Secara demikian concern atau keprihatinan yang sangat mengganggu saya adalah masa depan bangsa kita ini yang tidak mustahil akan menjadi bangsa kuli, berhubung rakyat Indonesia tidak akan lagi memiliki perusahaan-perusahaan milik negara yang semula besar karena rakyat, besar karena uang negara. Tapi pada konteks pemerintahan sekarang ini, seolah-olah tangan pemerintah amat gatal untuk setiap kali, atas nama menambal APBN, kemudian ingin melego berbagai macam aset negara yang ada dalam BPPN itu dan tentu dengan kolusi BUMN menjadi milik pihak asing. Saya memang tidak akan pernah berhenti untuk memberikan kritik apa adanya terhadap hal-hal yang jelas merugikan kepentingan bangsa Indonesia. Katakanlah soal "kontroversi" PKPS. Saya kira untuk disebut sebagai kontroversi, masalah PKPS itu tidak layak, karena sesuatu yang kontroversial masih menyisakan hal-hal yang positif, sehingga hal-hal yang negatif kadang tidak begitu telak kita lihat. Karena justru masih kontroversial, masih bisa kita lihat juga segi-segi positif dari masalah bersangkutan.

Buat saya, PKPS bukan lagi masalah kontroversial, melainkan masalah yang sudah demikian hitam putih, demikian terang benderang kaitannya buat pemulihan ekonomi Indonesia sekaligus penegakan keadilan di negeri ini. Kalau sekian ribu orang pengusaha kecil dan menengah yang kredit macetnya meliputi hampir Rp 40 triliun sudah dikejar-kejar, sebagian dari mereka bahkan telah dikenai tindakan hukum tegas, misalnya dengan menyita jaminan mereka di bank maupun menyita aset mereka berupa rumah sampai perusahaannya. Sementara beberapa belas konglomerat penjahat ekonomi yang mengambil uang negara ratusan triliun dan jelas tidak ada itikad baik untuk membayar, justru diberi waktu 10 tahun lagi untuk menunda pembayarannya. Maka siapa pun yang tidak buta nuraninya dan masih memiliki logika jernih akan mengatakan, bahwa PKPS sesungguhnya juga merupakan proses pembusukan yang dahsyat buat ekonomi bangsa Indonesia. Karena seperti pernah saya tulis di kolom ini, begitu PKPS dilepaskan dengan ketentuan bahwa para penjahat ekonomi kelas kakap itu diberi keleluasaan sampai 10 tahun, maka artinya tidak lain pemerintah telah bertekuk lutut dan rakyat pun telah diminta bertekuk lutut menghadapi para penjahat ekonomi yang telah meruntuhkan sendi-sendi ekonomi nasional.

Oleh karena itu, kembali kepada masalah proses pembusukan, maka dengan mengatakan hal-hal di atas saya ingin mengingatkan pada bangsa ini, terutama pemerintah kita, janganlah mereka menganggap sepele langkah-langkah keliru mereka seolah-olah tidak menjatuhkan kita ke kubangan kesulitan ekonomi yang lebih dalam. Janganlah mereka, terutama pemerintah, merasa bahwa dengan memihak kepada kepentingan konglomerat dan melupakan kepentingan rakyat banyak, pemerintah dapat survive dan bangsa ini juga dapat menggapai masa depan yang lebih baik. Hal-hal itu tentu harus kita pikirkan bersama, bahwa proses pembusukan terus berjalan, semakin lama tampaknya semakin parah. Sementara teriakan-teriakan seperti Kwik Kian Gie dan para pengamat ekonomi yang jernih, seolah tidak pernah digubris lagi. Bahkan saya merasa teriakan saya pun mungkin akhirnya tidak akan digubris pula. Tetapi saya tetap mengatakan di sini bahwa kita belum terlambat, kalau kita mau berbalik arah. Masih ada harapan untuk mengambil kebijakan-kebijakan baru, dan tidak meneruskan kebijakan keliru pada hari-hari kemarin.

Terpulang kepada pemerintah, terpulang kepada rakyat Indonesia, untuk menjawab pertanyaan yang sangat mendasar sekarang ini: relakah kita menjadi bangsa kuli di negeri sendiri dengan melepaskan aset negara kepada pihak asing secara sengaja dan sistematik. Ataukah masih ada elemen-elemen nasionalisme dan patriotisme di dalam dada kita, sehingga kita tetap bisa mengombinasikan antara keharusan liberalisasi dan globalisasi dunia dengan pilar-pilar nasionalisme dan patriotisme yang tidak boleh kita gadaikan sampai kapan pun!

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq