Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | DETIKPLUS
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 21/3/2002
 

Konsistensi dan Inkonsistensi


Adil - Solo, Pada minggu-minggu terakhir ini masyarakat disedot perhatiannya oleh usaha pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN yang dilakukan pemerintah. Paling tidak di atas kertas, atau secara lahiriah, tampak pemerintah sedikit mulai berani menegakkan supremasi hukum dalam rangka terutama menanggulangi penyakit kronis bangsa yang berupa korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai misal, Syahril Sabirin tersangka dalam kasus Bank Bali yang kemudian menjadi terdakwa, akhirnya sudah menjadi terpidana dengan memperoleh 3,5 hukuman penjara. Mereka yang jadi tersangka dalam perkara Buloggate II juga telah ditahan, termasuk Akbar Tandjung yang kebetulan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR RI. Malah secara beruntun masyarakat juga disuguhi beberapa berita yang menarik, sejak dari Beddu Amang yang telah menjadi terdakwa sampai Bustanil Arifin, Tanri Abeng, Soebiyakto Tjakrawerdaya, dan Hasjim Djoyohadikusumo --di mana yang terakhir ini bukan saja menjadi tersangka, melainkan telah ditahan di Rutan Salemba.

Memang sekelebatan ada secercah harapan bahwa aparat penegak hukum, dalam hal terutama Kejaksaan Agung, sudah berani melangkah secara lebih jelas dalam memulai penanggulangan KKN. Namun di pihak lain, masyarakat betul-betul mempertanyakan konsistensi Kejaksaan Agung di dalam melakukan pengusutan hukum terhadap kasus-kasus kriminal yang telah merontokkan stabilitas ekonomi nasional. Terutama sekali mereka yang tersangkut skandal BLBI yang meliputi uang triliunan rupiah. Bahkan ada semacam kesan yang kuat, setiap skandal besar setelah masuk Kejaksaan Agung menjadi berita beberapa pekan di koran, dan akhirnya lenyap tanpa bekas sedikit pun juga. Kita bisa menyebut misalnya kasus-kasus yang pernah diusut Jaksa Agung, menyangkut para penjahat ekonomi bangsa semacam Prajogo Pangestu, Sjamsul Nursalim, Marimutu Sinivasan, Paul Sutopo dan sejumlah nama lain. Tetapi seperti kita ketahui bersama, nama-nama itu sekarang tidak pernah dimunculkan lagi, bahkan tokoh-tokoh tersebut tampaknya bebas berkeliaran keluar-masuk Indonesia secara leluasa.

Padahal konsistensi penegakan rule of law atau supremasi hukum merupakan sebuah keniscayaan. Sementara yang kita saksikan sekarang justru inkonsistensi atau tiadanya sikap yang istiqomah atau lurus, bahkan kadang-kadang penuh dengan misteri serta hal-hal yang sering kali juga menohok rasa keadilan masyarakat. Dalam kaitan ini tentu selama Kejaksaan Agung tidak berani mengusut secara tegas skandal BLBI yang meliputi ratusan triliun rupiah, maka jangan disalahkan kalau masyarakat atau rakyat pada umumnya tidak mempunyai kepercayaan pada Kejaksaan Agung sebagai aparat hukum yang diharapkan untuk menanggulangi KKN.

Kalau kita mengambil kasus yang masih hangat yaitu Pansus Buloggate II yang katanya akan diadakan oleh DPR setelah beberapa fraksi atau beberapa individu di DPR mengadakan perlunya dibentuk Pansus Buloggate II itu, maka sangat terasa betapa fraksi-fraksi di DPR sendiri sekarang menunjukkan inkonsistensinya. Ada fraksi paling besar yang suatu saat tampak sangat antusias dan penuh yakin diri ingin membentuk Pansus Buloggate II. Tetapi ada saat lain, di mana fraksi terbesar itu termangu-mangu meminta penundaan pembentukan pansus, dan tidak menutup kemungkinan fraksi terbesar ini justru akhirnya angkat tangan dan tidak berminat lagi membentuk Pansus Buloggate II. Sedangkan fraksi-fraksi yang tidak sebesar fraksi yang pertama itu, kebanyakan juga termangu-mangu dan dipenuhi sikap inkonsistensi. Barangkali hanya ada satu atau dua fraksi saja yang sepertinya tanpa beban moral dan beban politik, selalu konsisten di dalam mengusahakan bukan saja Pansus Buloggate II, tetapi juga mendukung setiap langkah untuk menanggulangi KKN sebagai penyakit kronis bangsa.

Kalau betul akhirnya Pansus Buloggate II nanti urung terbentuk, maka jelas sekali apa yang saya sinyalir sebagai adanya inkonsistensi itu betul-betul memang ada wujudnya, bisa kita lihat secara jelas di dalam panggung perpolitikan kita dewasa ini. Pertanyaannya, mengapa muncul inkonsistensi tersebut? Maka jawaban yang paling mudah dan benar, bahwa konsistensi itu muncul karena mereka yang sedang mengupayakan Pansus Buloggate II, ternyata ketika melihat ke dalam dirinya lantas menyadari bahwa mereka pun tidak jauh dari apa yang sedang mereka kejar itu. Dengan kata lain, antara yang ingin memberantas KKN dengan yang diberantas, mempunyai kualitas yang hampir sama, orientasi yang lebih kurang juga sama, bahkan mungkin bobot kesalahannya di dalam pengembangan KKN kurang lebih juga sama.

Inilah saya kira tragedi penanggulangan KKN di Indonesia, di mana rakyat pada suatu saat diberi semacam harapan besar bahwa ada langkah-langkah yang mantap dan meyakinkan memberantas KKN, tapi pada waktu yang tidak begitu lama langkah-langkah itu kemudian kendur sendiri dan akhirnya melorot, bahkan hilang beserta angin. Dalam hal ini, saya berkeyakinan bahwa konsistensi pemberantasan KKN itulah yang kita perlukan bersama, pada tahapan perkembangan reformasi sekarang ini. Apabila konsistensi tidak ada, bahkan kemudian diganti dengan inkonsistensi, maka mereka yang pernah belepotan korupsi akan seperti terdorong untuk kambuh penyakitnya dan melakukan korupsi mungkin dengan skala lebih besar lagi, justru karena mereka yakin tidak pernah ada konsistensi di pihak pemerintah maupun aparat penegak hukumnya untuk betul-betul menanggulangi KKN.

Oleh karena itu, sesungguhnya Pansus Buloggate II yang sedang diperbincangkan banyak anggota masyarakat sekarang, bisa menjadi semacam test case, apakah betul para anggota DPR dengan pemerintah sekarang ini ingin mengatasi KKN secara sungguh-sungguh. Ataukah mereka sesungguhnya sedang bermain tonil atau sandiwara yang cukup tragis, karena pada ujungnya rakyat juga yang menjadi objek kebohongan publik dalam arti yang paling luas tersebut. Tentu kita tidak ingin bangsa yang besar ini kemudian terpuruk bahkan terjungkal, karena ketiadaan konsistensi di dalam mengatasi KKN sebagai penyakit bangsa yang demikian gawat dan destruktif. Terpulang kepada pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR, terutama fraksi-fraksi besar, yang bisa menjadikan haru birunya suasana perpolitikan di Tanah Air saat ini.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq