Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | DETIKPLUS
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 16/5/2002
 

Masih Adakah Alasan Lain?


Adil - Jakarta, Dalam beberapa bulan terakhir ini saya sempat mengunjungi beberapa negara di kawasan Asia maupun Eropa. Setiap kali berkunjung ke luar negeri, saya selalu mengambil pelajaran dan sekaligus kearifan, terutama sekali melihat bagaimana negeri-negeri yang saya kunjungi itu telah melakukan pembangunan masing-masing.

Ketika saya berada di Eropa, atau negara Barat lainnya seperti Amerika dan Kanada, saya melihat pembangunan di sana yang sudah berjalan sangat jauh dan telah mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Maka dalam hati saya ada semacam pembenaran atau justifikasi buat negeri sendiri.

Kira-kira pembenaran itu mengatakan bahwa negara-negara Eropa, Amerika, Kanada dan juga Australia itu bisa demikian maju karena memang sudah lama mengalami proses pembangunan, dan dalam kenyataannya teknologi serta industri mereka sangat tinggi sehingga maklum kalau negara-negara itu mengalami kemakmuran buat rakyatnya. Apalagi kita ketahui bahwa negara-negara Barat itulah yang pernah menjajah Asia, Afrika, bahkan Amerika Latin, sehingga kemakmuran yang sekarang ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari kemakmuran sistem penjajahan itu.

Akan tetapi ketika saya berkunjung ke Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan RRC, maka saya betul-betul mengalami keterkejutan karena kesadaran saya yang paling dalam tiba-tiba tersentak oleh kenyataan bahwa negara-negara Asia itu mampu membangun dengan cepat. Dan, pembangunan mereka sudah jauh meninggalkan pembangunan Indonesia. Taruhlah perkembangan pembangunan di Malaysia.

Di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohammad, Malaysia mengalami kemajuan pembangunan secara kualitatif maupun kuantitatif. Income per kapita rakyat di negeri jiran itu sudah mencapai kenaikan beberapa kali dibandingkan Malaysia tahun '70-an atau bahkan '80-an. Sekarang ini, Malaysia betul-betul tergolong negara industri baru yang tidak dapat diremehkan perannya di masa mendatang. Kalau kita melihat cara Malaysia mengatur pelabuhan laut dan udara, mengatur sistem pemerintahan dan juga melakukan diplomasi dalam rangka politik luar negerinya, kita segera menangkap kesan yang kuat bahwa Malaysia sedang beranjak menuju negara industri modern.

Demikian juga kalau kita pergi ke Thailand, Taiwan maupun Korea Selatan. Kesan yang sama tentu akan kita jumpai di sana. Bahkan RRC yang kita duga sebagai negara besar yang lamban dan begitu tambun karena besarnya jumlah penduduk sehingga tidak mudah membangun, ternyata perkiraan itu keliru besar. Sekarang, RRC telah mengalami kemajuan sangat pesat, dan sesungguhnya juga telah meninggalkan Indonesia barangkali sekitar satu generasi.

Ada banyak hal yang saya petik dari percakapan saya dengan tokoh-tokoh Asia, antara lain Mahathir Mohammad, Goh Cok Tong, Lee Kuan Yew, Kim Dae Jung maupun Li Peng. Bisa saya ungkapkan di sini bagaimana Mahathir melihat Indonesia sebagai negara yang bisa kehilangan kesempatan, kalau tidak hati-hati dalam membangun masa depannya. Antara lain dikatakan bahwa di Malaysia, pemerintah tidak pernah mengizinkan aset nasional dibeli pihak asing lebih 30 persen. Sehingga buat seorang Mahathir, sangat sulit dipahami bahwa ada sebuah negeri bernama Indonesia yang telah menjual aset nasionalnya ke pihak asing demikian enteng, sehingga pihak asing bisa memperoleh 50 persen saham atau lebih. Mahathir menanyakan kepada saya, kalau aset-aset nasional telah dibeli oleh asing, di masa mendatang rakyat Indonesia punya apa. Waktu saya jawab dengan tegas, bahwa kemungkinan besar rakyat Indonesia memang tidak punya apa-apa sehingga istilah bangsa kuli tidak mustahil akan segera jadi kenyataan.

Sementara Li Peng ketika saya tanya apa rahasia keberhasilan pembangunan di RRC, dia mengatakan kata kuncinya dua. Pertama, singkirkan perdebatan dan silang sengketa. Kedua, konsentrasikan seluruh kemampuan nasional untuk melakukan pemulihan ekonomi. Dan, ketika saya berbincang-bincang dengan beberapa tokoh di Singapura, umumnya mereka mengatakan bahwa para investor asing masih berpikir puluhan kali untuk masuk ke Indonesia. Mengapa? Karena di Indonesia belum ada stabilitas politik, belum ada supremasi hukum dan tidak ada jaminan keamanan bagi modal atau kapital asing yang masuk ke Indonesia.

Bahkan secara fisik kalau kita melihat negara-negara di Asia yang dulu pernah sebaya dengan kita dan sama-sama terbelakangnya dengan Indonesia, sekarang telah menjadi negara-negara maju, maka tidak ada kesimpulan lain bahwa ada sesuatu yang salah di dalam diri bangsa kita. Dulu kita sering berdalih, kita tidak bisa membangun secepat Malaysia atau Singapura, karena kedua negara itu hanya punya penduduk masing-masing 18 juta dan 3 juta, sementara kita punya penduduk 200 juta lebih. Artinya, bisa dimaklumi kalau Indonesia keteteran dalam membangun diri akibat banyaknya penduduk.

Tetapi setelah kita melihat RRC yang penduduknya 6 kali lebih besar dari Indonesia, juga India yang berpenduduk 5 kali lebih besar dari kita, namun mampu membangun dengan cepat, maka tentu kita tidak dapat lagi menjual dalih kuno itu untuk membela diri kita di dalam pergaulan antarbangsa. Sehingga pertanyaannya, apakah masih ada alasan lain untuk melindungi citra Indonesia yang sudah semakin parah seperti sekarang ini.

Sekalipun demikian, saya yakin tidak ada kata terlambat buat memperbaiki masa depan bangsa ini. Buat saya, seperti halnya kebanyakan orang yang punya pemikiran sama, ada tiga hal yang perlu kita garis bawahi. Pertama, kita membutuhkan kepemimpinan nasional yang betul-betul punya pendirian, punya rasa percaya diri yang tinggi dan sekaligus punya visi jauh ke depan. Sekarang terus terang kita kecewa karena pimpinan nasional yang demikian itu tampaknya belum kita miliki. Kedua, memang pada dataran yang lebih dalam, masalah rekonstruksi mental itu sesuatu yang tidak dapat kita entengkan. Yang terjadi sekarang ini, kita seolah-olah mengulang-ulang penyakit KKN zaman dulu, mungkin dengan cara lain atau bahkan lebih canggih, tetapi kita tahu mentalitas KKN itu memang belum sirna sama sekali. Malahan di sana-sini tumbuh lebih subur dan meluas. Ketiga, saya melihat krisis keteladanan di negeri ini sudah terlalu parah. Mencari tokoh yang betul-betul bersih dari KKN, ibaratnya lebih sulit dari menemukan jarum dalam tumpukan jerami. Padahal kita tahu KKN merupakan penyakit pokok yang telah membuat porak poranda negara dan bangsa kita.

Namun kalau melihat bangsa-bangsa Asia lainnya bisa bangkit membangun, kenapa bangsa kita tidak? Dalam pepatah anak-anak Inggris, ada ungkapan you can if you think you can, engkau dapat jika engkau yakin bahwa engkau dapat melakukannya. Maka yang perlu kita tumbuhkan sekarang adalah rasa percaya diri kembali, terutama di kalangan para pemimpin, bahwa kita adalah bangsa besar, mampu membangun citra baik di depan mata internasional, dan kita betul-betul mampu serta berkehendak untuk mengatasi berbagai masalah yang menimpa diri kita.

Tanpa ada kepemimpinan yang yakin diri serta punya visi, dan tanpa kita berani merombak konstruksi mental kita yang sudah carut marut sekarang ini, memang harapan kita mungkin tidak terlalu banyak. Saya khawatir apa yang dikatakan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Ahmad Syafii Ma'arif bahwa dia telah sampai pada setengah kesimpulan bahwa bangsa ini memang sedang mengalami kehancuran akan menjadi kesimpulan yang utuh.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq