Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | DETIKPLUS
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 23/5/2002
 

Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses


Adil - Yogya, Salah satu pesan pokok reformasi yang digelar oleh mahasiswa dan rakyat sejak 4 tahun lalu, adalah amandemen --dalam arti perbaikan dan penyempurnaan-- UUD '45. Sesungguhnya masalah ini sudah terlalu jelas dan tidak ada yang mengemukakan keberatan dari pihak mana pun. Sebab-sebabnya juga cukup jelas, antara lain karena UUD '45 itu terasa sangat tidak mencukupi dalam perkembangan negara Indonesia yang semakin kompleks dan modern.

Seperti dikatakan oleh para peletak konstitusi kita, UUD '45 memang dibuat secara cepat sesuai konteks situasi menjelang proklamasi kemerdekaan, dan sudah tentu serba instan, sehingga dimaksudkan UUD '45 itu hanya berlaku sementara untuk kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan oleh lembaga berwenang. Kita pernah mengenal adanya Dewan Konstituante dengan tugas pokok membuat konstitusi pada zaman Demokrasi Parlementer, yang kemudian mengalami deadlock tahun 1959 sehingga kita kembali lagi ke UUD '45.

Tentang ketidaksempurnaan UUD '45 sudah cukup jelas, karena pasal-pasalnya sangat terbatas dan apabila dikonfrontasikan dengan perkembangan zaman maka terasa banyak kekurangannya. Untuk menyebut satu hal, dalam UUD '45 yang lama itu sebelum diamandemen, tidak ada satu pasal pun yang mengatur masalah HAM. Sementara sekarang ada 10 pasal (pasal 28 a sampai 28 j) yang secara hampir komprehensif memuat persoalan-persoalan HAM yang paling elementer.

Demikian juga, dalam UUD '45 sebelum diamandemen seorang presiden bisa dipilih berulang kali, sehingga secara periodik sampai seumur hidup. Dan, masih banyak lagi yang harus direkonstruksi atau diamandemen, mengingat UUD '45 dibuat sekitar 57 tahun silam sementara zaman terus berubah, bergerak, berdinamika dan ada perubahan-perubahan kualitatif maupun kuantitatif dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Sebagai Ketua MPR yang secara dekat terus-menerus menghayati dan mengikuti proses amandeman UUD '45, saya melihat betapa seluruh kekuatan politik di MPR secara aklamasi lewat musyawarah dan mufakat telah menghasilkan tiga tahapan amandemen, yang merupakan lompatan jauh untuk perbaikan konstitusi kita di masa mendatang. Malah di dalam amandemen, tahapan ketiga yang disahkan pada ST-MPR 2001, harapan masyarakat supaya presiden dan wapres dipilih secara langsung, sudah masuk menjadi ketetapan di dalam UUD kita.

Oleh karena itu saya sulit memahami, bagaimana mungkin tatkala MPR setelah menggodok lebih dari 3 tahun untuk melakukan finalisasi amandemen UUD '45, tiba-tiba ada reaksi yang cukup mengagetkan. Pertama-tama reaksi dari kalangan MPR sendiri yang sulit dimengerti apa motifnya. Mereka menuntut supaya proses amandemen dihentikan sama sekali, dan kalau perlu kembali ke UUD '45 persis sebelum diamandemen.

Kita lihat di tengah masyarakat memang ada pendapat-pendapat terlalu jauh, yang kalau dituruti barang kali tidak berlebihan kalau saya katakan negara kita bukan saja lari di tempat bahkan bisa pelan-pelan ambruk, karena kita pasti akan mengalami krisis konstitusi. Namun dalam hal ini saya tidak mempunyai persangkaan buruk sama sekali, karena saya melihat kelompok-kelompok yang datang ke MPR untuk mengajukan usulnya di seputar amandemen UUD '45 tentu didasari kecintaan pada Tanah Air, bangsa dan negaranya.

Sebagai misal, sekitar 40 purnawirawan TNI/Polri dipimpin Try Sutrisno dan Saiful Sulun, datang ke MPR meminta agar proses amandemen UUD '45 segera dihentikan, sementara tiga tahapan yang sudah disahkan supaya dibekukan. Waktu saya mendengar pernyataan seperti itu, saya hampir tidak percaya dengan telinga saya sendiri. Tetapi hati saya mengatakan, pendapat itu pasti didasarkan pada ketulusan para purnawirawan karena mereka beranggapan bahwa mengubah UUD '45 merupakan sebuah tabu politik, yang bisa menjerumuskan bangsa ke arah perpecahan, dan segala hal yang tidak kita inginkan.

Di lain waktu, datang kepada kami tokoh-tokoh ornop yang dipimpin Todung Mulya Lubis, Bambang Widjojanto dll. meminta bukan saja UUD '45 diamandemen, namun justru diperlukan sebuah kontrak sosial baru dalam arti harus ada UUD yang sama sekali baru untuk menyongsong tugas-tugas Indonesia masa mendatang. Mengambil dua keping contoh ini, kita bisa melihat bahwa ada pendapat yang ingin melestarikan UUD '45 seperti bentuk orisinalnya. Ada juga pendapat yang sangat jauh, supaya dibuat UUD baru berdasarkan kontrak sosial yang baru.

Sekarang bayangkan, di masyarakat kita memiliki banyak sekali unsur bangsa dengan berbagai latar belakang dan aspirasi, maka harus dicarikan jalan tengah. Dan, apa yang ditempuh MPR, saya yakin merupakan jalan tengah paling baik dan dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Jangan dilupakan juga, MPR sekalipun mungkin tidak mencerminkan 100 persen rakyat Indonesia, tetapi karena semua partai telah tertampung, begitu juga utusan golongan dan TNI/Polri, maka bisa dikatakan MPR sudah mewakili aspirasi lebih dari 95 persen bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, saya yakin MPR telah sangat bijak dan arif ketika melakukan amandemen UUD '45 dengan mendasarkan kepada lima rambu. Pertama, pembukaan UUD '45 merupakan harga mati, karena di sana terdapat suasana batin bangsa Indonesia ketika memproklamasikan kemerdekaannya. Lebih dari itu, di sana Pancasila sebagai dasar negara, filsafat dan pandangan bangsa tidak akan diutak-atik sama sekali. Kedua, Negara Kesatuan RI telah dipegang sebagai ketentuan baku yang tidak boleh ditawar-tawar. Dalam kaitan ini, misalnya saya yang pernah menjajakan ide sistem federal, tentu harus sepenuhnya tunduk kepada ketentuan ini dan tidak boleh lagi bicara tentang sistem federal karena kesepakatan bangsa dan ketentuan MPR serta ketetapan UUD kita telah memilih NKRI sebagai bentuk negara kita. Ketiga, sistem presidensiil juga dijadikan ketentuan dan tidak bisa disorong-sorong untuk berubah ke sistem parlementer atau sistem lainnya.

Keempat, yang cukup menarik, sistem amandemen kita menggunakan cara adendum yaitu hanya menambah-nambah tiap-tiap pasal supaya lebih lengkap, dan tidak membuat pasal baru sama sekali. Mungkin orang luar negeri akan sedikit bingung melihat cara kita melakukan amandemen itu. Tetapi inilah khas Indonesia, begitu setianya kita kepada UUD kita, begitu tinggi kita menjunjung hasil kerja para founding fathers, maka perubahan maksimal yang bisa dilakukan adalah adendum. Sehingga pada intinya kerangka dan paradigma konstitusi kita tidak berubah, yakni terdiri dari pembukaan, 16 bab dan 37 pasal. Kelima, kalimat-kalimat yang dulu masuk dalam penjelasan UUD '45, sekarang telah dijadikan pasal-pasal tertentu di dalam UUD atau sudah masuk ke dalam batang tubuh.

Dengan kenyataan seperti ini, sesungguhnya tidak perlu diragukan bahwa kita sedang mengubah jati diri UUD kita, merusak warisan adiluhung kita, atau kita sedang dengan main-main nyerempet bahaya dengan UUD '45 yang dibuat oleh para founding fathers kita. Harapan kita tentu dalam ST-MPR nanti amandemen UUD '45 bisa berjalan mulus, tidak usah lewat voting, dan bisa dicapai lewat musyawarah mufakat seperti pada tiga tahapan amandemen sebelumnya.

Terus terang, saya tidak dapat membayangkan bagaimana suasana kehidupan nasional kita, andai kata amandemen yang akan datang menjadi macet atau menemui jalan buntu. Yang jelas untuk menganulir tiga tahapan amandemen yang sudah dicapai, juga diperlukan amandemen baru --dan ini sesuatu yang mustahil. Yang lebih gawat, kalau sampai tidak terjadi penyelesaian amandemen UUD '45, maka akan timbul krisis konstitusi, krisis ketatanegaraan, tidak akan ada Pemilu 2004, tidak akan ada pergantian pemerintahan secara konstitusional. Selanjutnya bisa dibayangkan, apabila mahasiswa dan rakyat kemudian turun ke jalan lantaran macetnya proses amandemen itu, maka yang kita temui adalah sebuah anarki yang bisa meruntuhkan seluruh perolehan reformasi yang susah payah sudah kita capai selama ini.

Apakah kita akan menuju ke situasi yang lepas kendali itu? Tentu jawabannya tidak sama sekali. Dalam hal inilah diperlukan sebuah sikap kenegarawanan, kebijakan, kearifan dan sebuah sikap bahwa di atas kepentingan golongan dan pribadi ada kepentingan yang lebih besar dan lestari yaitu kepentingan nasional dan bangsa Indonesia.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq