Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

detikcom
detikPlus.com
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 6/6/2002
 

Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan?


Adil - Jakarta, Saya agak heran bahwa untuk ke sekian kalinya saya merasakan, betapa sesuatu yang baik dapat disalahtafsirkan oleh sebagian anggota masyarakat. Sesuatu langkah yang sesungguhnya positif dan bermanfaat buat banyak orang, dianggap mengandung kepentingan bercokol atau vested interest. Saya masih ingat sekitar 4-5 tahun lalu ketika saya gencar-gencarnya menawarkan pentingnya suksesi kepemimpinan nasional, banyak orang bertanya apa sesungguhnya yang saya inginkan dan siapa yang berada di belakang saya.

Ketika saya mengatakan Indonesia memang memerlukan penyegaran kepemimpinan nasional secara lugas, dan bahwa saya tidak mendapat beking dari mana pun juga, banyak kalangan tidak pernah percaya. Ada yang berkeyakinan bahwa di belakang saya ada sekian jenderal, sekian menteri, sekian pengusaha, yang ke semuanya itu tentu tidak ada kenyataan. Hal seperti ini tentu bisa terjadi, karena sementara orang menilai pihak lain dengan kecurigaan sebagai sebuah permulaan. Contoh ini tentu sangat banyak bisa kita kemukakan.

Sebagai misal, pada saat banjir melanda Jakarta, Sumbar, Jatim dan berbagai daerah lain, saya beberapa kali mengusulkan supaya banjir dinyatakan sebagai bencana nasional (national disaster). Pikiran saya sederhana saja. Kalau dinyatakan sebagai bencana nasional, maka diharapkan akan ada langkah-langkah interdepartemental untuk menghadapi musibah banjir tersebut. Paling tidak Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Keuangan, Departemen Agama dan berbagai departemen yang terkait dengan musibah banjir dapat bekerja sama untuk mengurangi penderitaan rakyat.

Namun, saya sangat terkejut ketika diberitahu bahwa banyak orang mencurigai saya telah mendapatkan uang cukup banyak dari perusahaan-perusahaan asuransi, karena --kata mereka-- kalau betul ada pengumuman banjir besar itu sebagai bencana nasional maka tidak ada kewajiban bagi perusahaan asuransi untuk membayar berbagai aset tertentu yang sudah diasuransikan. Dalam hati saya hanya bisa mengatakan, masya Allah, bagaimana mungkin ada tafsiran sejauh itu.

Juga ketika ribuan karyawan BCA datang ke Senayan, sekitar 30 orang tokoh-tokoh karyawan BCA sempat naik ke ruang kerja saya di Gedung MPR, saya terima mereka apa adanya dan saya berusaha memahami keberatan perwakilan serikat pekerja BCA itu supaya saham mayoritas BCA tidak jatuh ke tangan asing, ternyata lagi-lagi kecurigaan orang yang tidak proporsional sampai ke telinga saya. Ada beberapa teman yang mengatakan, kemungkinan besar saya telah mendapatkan apa-apa dari sebagian karyawan BCA itu untuk memperkuat tuntutan mereka agar BCA tidak jatuh ke tangan asing.

Contoh seperti di atas bisa dikemukakan berlusin-lusin. Intinya adalah; kita sering kali merasakan kecurigaan dijadikan titik awal untuk menilai langkah-langkah pihak lain yang sesungguhnya baik dan tidak perlu dicurigai sama sekali.

Pertemuan tokoh-tokoh Islam di rumah dinas saya beberapa hari lalu, sampai sekarang tampaknya masih menimbulkan interpretasi yang sangat jauh. Seolah-olah saya sedang menggalang kekuatan untuk memenangi perebutan kepemimpinan nasional 2004, dan bahkan yang lebih gawat lagi, saya dianggap sedang melakukan konsolidasi kekuatan untuk menggoyang pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Kadang saya hampir kehabisan akal, bagaimana menerangkan keadaan sesungguhnya kepada sementara media massa atau teman-teman yang sudah sangat yakin bahwa pertemuan di rumah saya itu memang saya prakarsai, saya biayai, saya arahkan menjadi suatu gelombang politik yang akan melambungkan saya ke kursi presiden, dan mungkin lebih dari itu disertai khayalan yang aneh-aneh. Padahal sejatinya saya pasti orang yang paling tahu tentang pertemuan antartokoh Islam di rumah saya itu.

Seperti telah dikemukakan di banyak media massa, pertemuan itu adalah yang ketiga kalinya. Yang dibahas pun masalah-masalah yang sifatnya umum, yaitu masalah amandemen UUD 1945 dan bahaya yang bisa timbul kalau amandemen tidak bisa selesai pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Pakar yang dipilih memang orang-orang di bidang keahliannya, yaitu moderator Prof. Jimly Asshiddiqi, pemrasaran Ketua MA Bagir Manan dan Prof. Mahfud Md. dari DPP PKB Kuningan. Saya juga diberi tahu bahwa pertemuan sebelumnya di rumah Jusuf Kalla telah membahas masalah ekonomi dengan pembicara Dr. Sjahrir dan Dr. Rizal Ramli. Sebelum itu, pertemuan berlangsung di rumah Ahmad Tirtosudiro, membicarakan masalah-masalah umum sebagai sebuah eksplorasi berbagai tantangan nasional di masa mendatang.

Saya sebagai orang yang kebagian jadi tuan rumah, tentu mencatat sangat rapi dalam memori saya seluruh pembicaraan yang dikemukakan oleh para tokoh itu. Tokoh-tokoh dari partai-partai Islam seperti PBB, PK, PPP Reformasi, PPP sayap Hamzah Haz maupun tokoh-tokoh partai berbasis umat Islam yakni PAN dan PKB, serta teman-teman ICMI, HMI dan beberapa eksponen Golkar, tidak ada satu pun yang berbicara mengenai "2004". Bahkan di luar acara resmi, ketika makan malam sambil santai menunggu rapat dimulai, tidak pernah saya dengar pembicaraan mengenai hal tersebut.

Tetapi seperti saya katakan di atas, bahwa dengan kecurigaan dijadikan sebagai pembuka analisis, maka pertemuan di rumah saya itu bisa menjadi sangat jauh dikhayalkan. Seolah-olah telah menjadi suatu gelombang politik dahsyat yang bisa mengganggu Megawati, bisa mengadakan ini-itu dsb., sementara sejatinya pertemuan itu silaturahmi biasa dan omong-omong mengenai berbagai masalah bangsa oleh sebagian tokoh-tokoh Islam.

Saya pribadi berpendapat, setiap ada pertemuan antartokoh, apakah di rumah Arifin Panigoro yang sering disebut pertemuan Jenggala, atau di rumah Kwik Kian Gie, maupun di tempat-tempat lain seperti di Kantor PB NU, PP Muhammadiyah, juga di PGI, MAWI dan lain sebagainya semua baik-baik saja selama tidak disembunyikan hasilnya dan juga tidak dijauhkan dari media massa. Selama pertemuan itu diadakan di tempat yang wajar, di rumah seseorang atau di hotel, bukan di pulau terpencil atau di pucuk gunung supaya tidak didengar oleh masyarakat dan tidak didekati oleh wartawan, buat saya hal itu biasa saja dan tidak perlu dicurigai. Justru di dalam sebuah era demokrasi, biarkanlah berbagai pertemuan tokoh politik itu berkembang secara alami. Sebab, saya yakin para politisi kita tidak sesempit dan sebodoh yang dibayangkan orang-orang yang serba curiga ketika melihat sesuatu.

Pada dasarnya sebuah negara demokrasi itu ibarat sebuah pasar terbuka, yang para pembeli dan penjualnya bisa saling bernegosiasi untuk menentukan harga yang paling pas. Jadi biarkanlah kelompok-kelompok politik itu memberikan opini, pendapat, atau perspektif masing-masing secara terbuka supaya kemudian masyarakat bisa melakukan shopping atau belanja gagasan, belanja opini, dari pasar demokrasi yang sudah dibuka lebar-lebar pada zaman sekarang ini.

Dalam kenyatannya pun, pertemuan di rumah saya juga ditunggui sejumlah wartawan dari media cetak dan media elektronika, demikian juga sebelumnya di tempat Pak Ahmad Tirtosudiro maupun Pak Jusuf Kalla. Secara demikian saya hanya ingin mengatakan bahwa salah satu ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad perlulah kita camkan bersama-sama. Dalam Al-Quran dikatakan, kecurigaan itu bisa menimbulkan dosa. Dan, dosa tentu sebuah perilaku yang dikutuk oleh Tuhan. Malahan secara lugas, baik dalam Al-Quran maupun hadis, digarisbawahi tentang pentingnya kaum beriman menjauhi su'udzon atau purbasangka jelek yang lebih banyak menimbulkan mudarat ketimbang manfaatnya.

Selama pertemuan-pertemuan tokoh politik itu terjadi secara resmi di Senayan, dalam sidang-sidang kabinet, di gedung-gedung parpol, atau secara tidak resmi dan bersifat santai di rumah-rumah para tokoh, di rumah makan dsb., apabila yang dibicarakan adalah kepentingan nasional dan tidak jatuh pada eksklusivisme, maka sikap kita adalah "mengapa tidak". Kecuali kalau kita ingin kembali pada zaman dahulu, di mana orang Islam lebih tertarik memikirkan nasib umat Islam sendiri, orang Kristen hanya berpikir pada konteks Kristiani, orang nasionalis tidak pernah memperhatikan keadaan pihak lain, atau juga kaum militer kita hanya berpikir untuk kepentingan militer, maka hal itu memang bisa merugikan dan bahkan destruktif.

Tetapi selama kita sudah berpikir dalam konteks yang lebih luas, walaupun kita mungkin pada tahap awal berbicara pada kelompok yang lebih terbatas, saya yakin tidak perlu ada yang dicurigai. Masalahnya, kalau setiap permulaan analisis dari para politisi dan pakar, juga masyarakat kita serba bernuansa kecurigaan atau su'udzon, maka kemungkinan situasi masyarakat tidak akan berkembang secara sehat. Sebaliknya, selalu akan tersendat-sendat, karena setiap kecurigaan itu akan menimbulkan hostility atau sikap permusuhan, bukan sikap persaudaraan dan kerukunan.

Inilah barangkali yang saya perlu tegaskan, pada saat bangsa besar ini mau mencoba mengentaskan dirinya dari krisis multidimensional, maka janganlah kita serba curiga dalam melihat hidup kita ini. Sebaliknya berpikirlah positif, lihatlah keadaan dengan kacamata yang optimis, jangan hanya serba pesimis, curiga, mengembangkan kebencian, apalagi permusuhan. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq