Pelajaran dari Piala Dunia 2002
detikcom - Jakarta,
Saya termasuk beruntung mendapatkan undangan dari pemerintah Korea untuk menghadiri upacara pembukaan Piala Dunia 2002, dan sekaligus menyaksikan pertandingan perdana kesebelasan Senegal melawan Perancis. Begitu saya mendapatkan undangan itu, saya langsung mengiyakan untuk menghadiri oleh karena di samping saya menyukai sepak bola --juga tinju-- saya ingin menyaksikan bagaimana Korea yang bersama-sama Jepang menyiapkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2002.
Begitu memasuki World Cup Stadium di Seoul, kesan saya jelas sekali Korea merupakan negara yang sangat kuat ekonominya sehingga mampu membangun stadion yang demikian megah dan canggih. Betapa tidak, di bawah kursi para penonton yang jumlahnya dapat mencapai 200 ribu orang, ada deretan kafetaria serta tempat mengambil jeda ketika ada waktu istirahat di antara dua paro pertandingan, ratusan toilet yang bersih, di setiap pintu masuknya yang jumlahnya juga ratusan ditunggui oleh muda-mudi Korea yang berdandan rapi.
Saya tentu tidak punya wawasan arsitektural sebagaimana seorang ahli, tetapi dengan pandangan mata saya sebagai orang awam, saya tahu arsitek dari stadion tersebut sangat canggih dan modern. Yang luar biasa saya rasakan adalah, ketika saya menonton pertandingan, seakan-akan seluruh lapangan ada di depan mata saya secara sangat dekat. Kemudian saya ingat apabila menonton sepak bola di Senayan, rasanya para pemain begitu jauh dari mata saya dan kurang ada keterikatan emosional dengan para pemain yang sedang mengadu kepiawaian serta keandalan mereka.
Saya tidak tahu bagaimana cara mengonstruksi lapangan bola itu, tetapi ketika saya tanyakan kepada istri saya yang duduk di bangku undangan biasa --bukan di VVIP-- ternyata kesannya juga sama. Dia mengatakan begitu dekat mata kita melihat ke lapangan yang sangat luas dan menghijau itu. Kesimpulan saya memang Korea dan Jepang pantas menjadi tuan rumah Piala Dunia, karena kesanggupan teknologi serta keuangannya untuk menggelar pesta akbar persebakbolaan dunia itu.
Setelah pesta kembang api yang gegap gempita serta tarian massal yang sangat ritmik, penuh disiplin, dan penuh kegemulaian selesai, maka bertandinglah dua kesebelasan Perancis dan Senegal. Saya tidak melihat adanya kecurangan wasit sama sekali dalam pertandingan perdana itu. Dan, ketika Senegal ternyata dapat mengalahkan Perancis, pikiran saya segera membuat analisa pendek bahwa telah terjadi penjungkirbalikan status persepakbolaan dunia.
Memang sering kali pengamat mengatakan bahwa bola itu bundar dan terserah kepada Dewi Fortuna untuk menentukan siapa pemenang pertandingan. Tetapi kata-kata seperti ini sesungguhnya tidak begitu bertanggung jawab dan tidak menghargai usaha serius dalam memperbaiki keandalan sebuah tim. Karena itu saya risi kalau mendengar komentator yang mengatakan dia tidak bisa membuat prediksi hasil pertandingan, karena bola itu bundar dan terserah kepada Dewi Fortuna atau Dewi Keberuntungan itu.
Ternyata pikiran saya yang sangat sederhana bahwa dalam olahraga tidak ada hal yang dinamakan secara kebetulan berdasarkan keberuntungan, tapi dalam olahraga pun akan ditentukan oleh kerja keras, disiplin, serta team work atau kebersamaan untuk memetik suatu kemenangan, maka pikiran saya ini terbukti dibenarkan oleh hasil-hasil pertandingan berikutnya. Ketika Korea bisa mengalahkan Polandia. Italia dan Spanyol, atau ketika Senegal dapat mengalahkan Perancis dan tim-tim lain yang lebih terkenal, maka kesimpulan pertama saya adalah bahwa dalam olahraga, kerja keras dan kebersamaan sebuah tim merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kemenangan.
Sekarang pun ketika kolom ini saya tulis, belum dilakukan pertandingan semifinal apalagi final. Tetapi Korea, Turki, Brazil dan Jerman telah menjadi empat kesebelasan terbaik yang akan maju ke semifinal dan final. Apabila ternyata nanti tim Asia, Korea Selatan juga Turki dapat lolos ke final, apalagi misalnya menjadi juara dunia maka kesimpulan saya menjadi lebih mantap lagi. Bahwa apabila dibuat potret menyeluruh dari persiapan tim-tim yang maju ke Piala Dunia, maka saya yakin sekali tim yang masuk ke semifinal maupun final dan kemudian menjadi juara dunia pasti merupakan hasil dari jerih payah, kerja keras, disiplin, kebersamaan, serta dukungan masyarakat luas dari tim masing-masing.
Sesungguhnya filosofi dari Piala Dunia ini bisa diurai secara panjang lebar. Yang pertama, tim-tim yang dianggap sebagai pendatang baru dan mencengangkan masyarakat dunia itu, pasti didukung oleh pemerintahnya, masyarakatnya, dengan memiliki coach atau pelatih andal, dan selebihnya ada faktor-faktor kerja keras, kedisiplinan, kebersamaan, mentalitas pantang menyerah dsb.
Maka ketika saya melihat sebuah iklan di stasiun televisi swasta, ada seorang yang mengeluh kapan ya kita bisa masuk Piala Dunia? Kemudian cerita berikutnya, untuk bisa masuk ke Piala Dunia kita bukannya memerlukan hal-hal yang saya sebutkan di atas, melainkan dibelokkan untuk menjajakan sebuah komoditas. Walaupun iklan itu dibuat dengan perhitungan-perhitungan khas periklanan, tetapi kata-kata kapan kita masuk ke Piala Dunia itu sesungguhnya sebuah ekspresi fatalisme. Seperti orang yang tidak pernah mau berusaha, merasa selalu menjadi pecundang, lantas mengeluh kapan saya berhasil memenangkan ini atau itu, mencapai prestasi ini dan itu, sementara seluruh prasyarat untuk kemenangan atau pencapaian prestasi dilupakan sama sekali.
Ketika saya berada di Seoul menyaksikan pertandingan perdana, saya ditanya oleh beberapa orang Korea. Mengapa Indonesia belum berhasil masuk ke Piala Dunia. Jawaban saya pun seperti kata-kata dalam iklan tadi. Saya barang kali terbawa oleh suasana mentalitas yang fatalistik itu. Saya katakan, Indonesia kemungkinan sangat kecil untuk masuk ke Piala Dunia, karena postur tubuh orang Indonesia tidak terlalu tinggi, sementara orang-orang Eropa tinggi besar, sehingga dalam hal lari, sundulan bola dll. pasti pemain Indonesia kalah sehingga tidak akan pernah bermimpi masuk ke Piala Dunia. Tetapi ketika tim Jepang mampu mengalahkan tim-tim yang postur pemainnya lebih tinggi, juga tim Korsel yang bisa menekuk tim yang rata-rata pemainnya lebih jangkung, maka argumen perbedaan postur tubuh sesungguhnya juga sudah batal.
Barang kali filosofi sederhana di balik Piala Dunia, juga bisa diekstrapolasikan ke dalam masalah-masalah kehidupan yang lain. Apakah itu masalah pendidikan, politik, ekonomi, keuangan dan lain sebagainya. Ada satu prinsip dalam kehidupan ini yang perlu kita kembangkan bersama-sama, bahwa kita harus menghilangkan kompleks rendah diri apapun alasannya. Lantas kita menginjeksikan ke dalam diri kita masing-masing sebuah semangat dan elan vital baru yang memompa kita semua, untuk tidak pernah kalah dengan bangsa-bangsa lain di dalam era globalisasi ini.
Kelihatannya sepak bola adalah olahraga biasa. Tetapi kalau dilihat faktor-faktor yang menyebabkan menangnya sebuah tim kesebelasan, memang tidak sederhana. Sekarang kita mengalami keterpurukan di bidang ekonomi dengan segala macam implikasinya. Sekarang kita juga merasakan seolah-olah kita makin tertinggal dibandingkan negara-negara Asia yang lain, apalagi dengan negara-negara Barat yang memang sudah lebih maju dari kita sejak 50 atau 100 tahun lalu.
Alangkah baiknya kalau puluhan juta pemirsa Piala Dunia yang secara tekun dari hari ke hari mengikuti pesta olahraga akbar di Jepang dan Korea, tidak hanya sekadar ikut tepuk tangan dan kadang mengumpat bila ada pemain gagal menyarangkan bola ke gawang lawan. Lebih daripada itu, alangkah baiknya kalau kita juga merenungkan mengapa Korea Selatan dan Turki yang dianaktirikan Eropa --yang sesungguhnya masuk kawasan Asia-- ternyata dapat melambung ke atas. Kedua tim itu tidak saja memberikan kebanggaan buat bangsa masing-masing, tetapi juga buat kita bangsa Asia umumnya.
Maka sesungguhnya tidak ada kata dalam kamus kehidupan yang mengajak kita kepada sebuah fatalisme, kalah sebelum bertanding, mudah putus asa, gampang patah semangat, nglokro, loyo, apatis dan kehilangan pancaran kehidupan untuk menyongsong tantangan-tantangan di masa depan. Marilah kita renungkan bersama apa yang sudah kita lihat di layar TV selama hampir sebulan. Dan, masing-masing diri kita perlu merefleksikan sebagaimana saya mencoba secara sederhana merefleksikan pertandingan Piala Dunia ini.