Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

detikcom
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 25/7/2002
 

'It's Now or Never'


detikcom - Jakarta,
Sidang Tahunan MPR akan segera digelar kembali tanggal 1-10 Agustus 2002. Semua orang telah mengetahui bahwa hajatan tahunan lembaga tertinggi kedaulatan rakyat itu terutama akan menyelesaikan amandemen UUD '45 tahapan keempat atau terakhir. Saya sebagai salah seorang pimpinan MPR merasakan, sampai dua minggu yang lalu kita agak pesimistis melihat ST-MPR yang tinggal beberapa waktu lagi itu.

Kita pesimis oleh karena tampak di permukaan polarisasi yang cukup tajam antara kekuatan-kekuatan politik di Senayan, yang mencerminkan kekuatan politik di tanah air.

Polarisasi itu bukan berbentuk dua kutub yang saling bertentangan mengenai perlu tidaknya amandemen, oleh karena sekarang ini semua fraksi di MPR telah menyatakan setuju sepenuhnya terhadap amandemen UUD '45. Akan tetapi polarisasi turun kepada hal-hal yang sudah bersifat peraturan dan implementasinya. Dan, yang paling krusial adalah menyangkut pilihan presiden dan wapres putaran kedua, apabila ternyata dalam putaran pemilihan presiden langsung tidak dicapai pasangan yang mendapatkan 50 persen lebih dari total suara. Malah di samping 50 persen lebih dari total suara, pasangan yang dapat dilantik sebagai presiden dan wapres adalah mereka yang juga memenangkan lebih dari separo jumlah provinsi dengan perolehan 20 persen di tiap-tiap provinsi tersebut.

Secara logis dan berdasarkan kalkulasi yang jernih, maka dapat diyakini tidak mungkin kalau pasangan capres dan cawapres nanti lebih dari dua orang, dalam sekali pemilihan, langsung dapat diperoleh pasangan yang meraih 50 persen lebih suara. Sehingga masalahnya masih tetap saja seperti setahun yang lalu, yaitu apakah dua pasangan dengan suara tertinggi dikembalikan kepada rakyat untuk dipilih ulang dalam pemilihan putaran kedua. Ataukah dicukupkan dipilih oleh MPR yang notabene semua anggotanya telah dipilih oleh rakyat, apalagi jika utusan golongan memang tidak lagi ditampung dalam MPR bikameral mendatang.

Terus terang, sampai dua minggu lalu saya juga sangat prihatin, karena bayang-bayang jalan buntu ada di depan mata kita apabila PDI-P sebagai pemegang lebih 1/3 suara di MPR melakukan pemboikotan lantaran tidak ingin melihat mulusnya proses amandemen UUD kita. Sementara di pihak lain, kita melihat fraksi-fraksi di luar PDI-P umumnya cenderung menghindari pilihan kedua di MPR, dan lebih baik diserahkan langsung kepada rakyat dalam putaran pemilihan kedua.

Namun suasana yang agak mencekam bahkan terlihat bayang-bayang deadlock itu, kini sudah berubah menjadi optimisme serta harapan-harapan yang semakin positif. Ini disebabkan karena PDI-P, tidak kurang dari keterangan ketua umum-nya Megawati, telah menegaskan bahwa PDI-P pun bersedia tanpa terlalu banyak argumen untuk mengikuti pemilihan presiden langsung, apabila sebagian terbesar anggota MPR dan juga rakyat berdasarkan polling yang bisa diselenggarakan, memilih putaran pemilihan presiden itu langsung oleh rakyat kembali.

Sekarang, paling tidak ketika kolom ini saya tulis, saya merasa bergembira karena telah terjadi pendekatan antarpartai, antarfraksi, dan antaranggota Panitia Ad Hoc (PAH) I maupun Ad Hoc II yang semuanya bermuara pada konsensus bersama yakni; pertama, tidak ada kamus jalan buntu dalam ST-MPR nanti; kedua, harus diupayakan secara optimal bahwa untuk mengubah UUD '45 dihindari cara voting walaupun voting itu sendiri dijamin oleh UUD; dan ketiga, akan dilakukan lobi-lobi seintensif mungkin agar setiap kali ada gejala jalan buntu maka ketua-ketua fraksi beserta anggota-anggota PAH didampingi para pimpinan parpol segera mencari jalan tengah yang arif dan tidak merugikan salah satu pihak.

Secara demikian, dengan adanya tiga konsensus tidak tertulis itu, saya merasa tugas saya memimpin penyelesaian amandemen UUD '45 menjadi semakin mudah. Sekalipun demikian, politik tentu berkaitan dengan hal-hal yang mungkin dan hal-hal yang tampaknya mustahil tapi kemudian bisa menjadi mungkin. Seperti kata sebuah pepatah, politics is the art to make possible what seems impossible. Sekarang ini saya melihat bahwa kemustahilan yang namanya deadlock tampaknya akan dicairkan dengan seni berpolitik para politisi kita, baik di dalam maupun di luar Senayan. Tapi sebaliknya, kata-kata itu bisa berbalik arah, yakni apa yang kita anggap sekarang ini tidak mungkin akan terjadi kebuntuan ternyata malah betul-betul menjadi kebuntuan, akibat ulah oknum-oknum yang memang tidak menginginkan penyelesaian amandemen secara tuntas.

Saya punya persangkaan baik bahwa tidak ada fraksi maupun partai yang menyimpan agenda tersembunyi. Saya percaya bahwa kalau ada agenda tersembunyi pasti sudah tercium, karena di dalam keterbukaan informasi ini sulit dibayangkan ada sebuah fraksi/parpol atau gabungan 2 fraksi/parpol atau lebih melakukan rapat rahasia tanpa bocor ke pihak yang lain.

Judul kolom ini berarti, sekarang atau tidak pernah sama sekali. Mungkin terasa ada unsur dramatisasi. Tetapi saya memang melihat ST-MPR 2002 ini sangat krusial dan menentukan. Apabila sampai terjadi deadlock, maka seperti kata Megawati kepada saya ketika saya bersilaturahmi di rumahnya; kalau ST-MPR sampai deadlock maka sulit sekali untuk membayangkan bisa dimulai kembali acara-acara dengan suasana dan mentalitas yang segar. Saya mengiyakan pendapat Megawati itu, karena saya pun membayangkan, kalau sampai terjadi deadlock kemudian berakibat kepada krisis konstitusi, dan lebih jauh lagi berakibat kepada krisis ketatanegaraan serta macetnya roda pemerintahan, maka betul-betul tidak boleh ada satu pun anggota di DPR/MPR yang bermimpi melihat macetnya proses amandemen UUD '45.

Sementara itu ada sekelompok orang yang berpikir kalau UUD mengalami kemacetan untuk dilakukan amandemen, dan KPU tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya karena tidak memperoleh bahan baku yang bernama UU Politik serta UU Susduk DPR atau Susduk MPR itu sendiri, maka pemerintahan yang sekarang ini bisa berlanjut terus di seberang 2004. Pikiran ini tentu pikiran yang salah secara telak. Mengapa? Oleh karena mandat kekuasaan yang diterima pemerintah sekarang harus habis pada tahun 2004. Kalau sampai setelah 2004 pemerintahan ini berdiri, sementara kita tidak tahu kapan ada pemilu, kapan ada penyelesaian finalisasi amandemen UUD '45, maka jelas sekali kekuasaan itu menjadi ilegal, tidak sah, dan sangat rawan dengan goncangan-goncangan politik yang dilakukan oleh rakyat Indonesia sendiri. Sehingga janganlah pernah mampir di benak kita, bahwa pemerintah ini bisa bertahan setelah 2004 tanpa adanya pemilu pada tahun yang bersamaan.

Dalam pada itu, saya melihat dengan kacamata positif dan sekaligus rasa apresiasi terhadap para anggota MPR yang dalam dua pekan terakhir kelihatan sangat dinamis untuk menghindari kemacetan dalam ST-MPR nanti.

Inilah barang kali satu hal perlu kita syukuri. Dan, saya juga sering mengatakaa bahwa biasanya setiap kali akan ada Sidang Umum, Sidang Istimewa, atau Sidang Tahunan maka prediksi media massa maupun tokoh-tokoh politik umumnya lebih bersifat gloomy atau suram dan kehilangan kapabilitas untuk melihat sisi-sisi yang cemerlang, positif dan menjanjikan. Bayangkan setiap kali akan ada sidang MPR, spekulasi di tengah masyarakat itu sangat beragam. Dan umumnya yang mendapat tempat di hati rakyat adalah spekulasi yang negatif dan penuh pesimisme. Misalnya, kekhawatiran bahwa ST-MPR akan dibelokkan menjadi SI untuk minta pertanggungjawaban presiden, melengserkan presiden dsb. Tetapi kita bersyukur kepada Allah, bahwa yang kita alami senantiasa jauh dari prediksi yang suram-suram seperti itu. Kalau sekarang saya boleh membuat spekulasi atau prediksi, ST-MPR yang tinggal beberapa hari lagi insya Allah hal-hal yang menyelimuti kita dengan pesimisme, kekhawatiran, bahkan skenario kiamat politik dll. akhirnya akan tidak terbukti. Marilah kita yakini bangsa kita adalah bangsa yang selalu menemukan jalan kompromi, toleransi, dan kearifan. Demikian juga para pemimpinnya, dari parpol mana pun, sesungguhnya pada hakikat diri masing-masing merupakan manusia-manusia yang bertanggung jawab terhadap masa depan republik ini. Tidak secuil pun yang membayangkan kebangkrutan masa depan bangsa kita. Wallahu a'lam.


comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq