Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

detikcom
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 5/9/2002
 

Aceh Menuntut Kesegeraan


detikcom - Jakarta, Kasus Aceh sudah menjadi persoalan nasional sejak lebih dari 10 tahun belakangan ini. Tetapi tampaknya sampai sekarang kasusnya semakin kompleks, makin sulit diurai, dan mengandung potensi bahaya yang lebih besar. Masih segar dalam ingatan saya tatkala Muhammadiyah menyelenggarakan muktamarnya yang ke-43 di Banda Aceh. Suasana Aceh pada saat itu cukup kondusif untuk diselesaikan secara bermartabat dan final.

Waktu itu Muktamar Muhammadiyah berjalan dengan sangat lancar. Bahkan petinggi-petinggi puncak yang datang ke Banda Aceh, apakah itu Pak Harto, Try Sutrisno, serta belasan menteri, tidak merasa sedikit pun terancam oleh bahaya apapun juga. Malahan Pangdam Bukit Barisan waktu itu, Mayjen TNI Arie J. Kumaat, dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengatakan kepada saya; muktamar di Aceh menjadi bukti baik ke dalam maupun ke luar negeri, bahwa Aceh merupakan provinsi yang aman --tidak seperti diduga oleh orang banyak. Malahan diharapkan para wisatawan mancanegara bisa tertarik oleh kecantikan alam Aceh serta peninggalan kuno yang dapat menjadi obyek pariwisata internasional.

Sebelum Pak Harto turun, yang dituntut rakyat Aceh sebetulnya tidak banyak, yaitu supaya DOM dicabut dan Aceh kembali normal sehingga mereka bisa kembali menikmati kehidupannya sebagai anak-anak bangsa di Republik Indonesia. Sejauh saya ingat, sebagai orang yang lebih dari 10 kali berkunjung ke Aceh --antara lain ke Lhokseumawe, Pidie, Banda Aceh, maupun ke Sabang-- saya melihat pada umumnya para pemimpin Aceh maupun rakyat dalam taraf grassroot tetap mencintai RI tanpa ada keraguan sedikit pun.

Namun tampaknya ada kelompok kecil yang hidup di Jakarta, yang mempunyai kepentingan terselubung untuk bukan memecahkan masalah Aceh, tapi memperkeruh dengan segala macam cara. Banyak sekali teori yang dipakai orang untuk menerangkan semakin ruwetnya kasus Aceh. Sebagai misal, ada teori perdagangan ganja yang menguntungkan beberapa oknum. Semakin Aceh ruwet maka perdagangan ganja tidak akan terdeteksi, dan mereka bisa meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Teori lain mengatakan bahwa Aceh dijadikan bahan pengguncang stabilitas politik Indonesia, agar kepentingan status quo yang lebih luas dapat lebih lestari. Sehingga kekuatan-kekuatan reformatif tidak mampu menegakkan stabilitas dan membangun kehidupan nasional yang lebih mantap di masa mendatang. Teori yang agak sulit dicerna oleh akal sehat tetapi sempat berkembang adalah, bahwa diam-diam negara tetangga kita Malaysia mengharapkan suatu ketika Aceh bisa lebih otonom apalagi kalau dimungkinkan bisa merdeka, maka Aceh yang merdeka akan punya afinitas emosional, kultural, keagamaan, dan berbagai afinitas lain ke Malaysia/Kualalumpur dan bukan dengan Jakarta.

Juga ada teori lain bahwa Hasan Tiro telah menjadi alat kekuatan Barat untuk mengacak-acak Indonesia, sekalipun Barat tidak pernah ingin melihat ada negara syariah di Aceh. Tetapi paling tidak, dengan keributan yang permanen maka Indonesia menjadi semakin lemah. Hal ini menguntungkan kekuatan Barat yang memang seringkali masih berbau imperialis untuk melemahkan RI sebagai negeri Muslim terbesar yang tidak boleh bangkit pada saat sekarang maupun di masa mendatang.

Tentu dengan menyebut Barat saya tidak mengatakan seluruh negara Barat, karena dunia Barat bukanlah dunia yang monolitik. Tapi saya yakin bahwa ada kalangan tertentu di Barat yang masih hangat di dalam pikiran dan kehidupannya dengan spirit imperialisme dan kolonialisme. Dengan kata lain, sampai sekarang memang imperialisme belum pernah surut dalam arti kata yang sebenarnya. Kekuatan-kekuatan tertentu di dunia Barat masih ingin come back ke Timur termasuk ke dunia Islam dengan segala macam cara. Dan, Aceh merupakan satu lahan untuk permainan mereka.

Teori lain mengatakan bahwa memang dalam kenyataan karena berlarut-larutnya masalah Aceh, kemudian muncul kemarahan yang semakin merata di kalangan rakyat Aceh yang menjurus semakin tidak percaya kepada Jakarta. Dan, akhirnya dengan atau tanpa adanya campur tangan eksternal, sebagian rakyat memang sudah mengatakan emoh kepada republik dan ogah bergabung dengan NKRI. Namun satu hal yang jelas, saya merasakan ketika DOM dicabut pada tahun 1998 sesungguhnya momentum untuk penyelesaian Aceh berada pada titik yang sangat tinggi. Tapi entah mengapa, begitu DOM dicabut, lantas pasukan-pasukan militer berdatangan kembali dengan segala macam alasan. Dan, kenyataannya Aceh memang semakin semrawut. Pembakaran beberapa desa menjadi peristiwa yang terlalu sering. Pembunuhan dan pemerkosaan juga semakin meluas. Pada saat itu, sesungguhnya apapun usaha kita untuk menyelesaikan kasus Aceh mengalami setback yang sulit dihindarkan.

Ketika Habibie menjadi presiden, dia membuat banyak janji bagi penyelesaian Aceh. Tetapi janji-janji itu tidak sempat dilaksanakan sampai Habibie turun panggung. Sebelum Habibie turun, saya dan Abdurrahman Wahid sempat datang ke Banda Aceh. Kami berdialog secara intensif dengan tokoh-tokoh ulama, mahasiswa, LSM, serta para rektor, di Masjid Raya Banda Aceh. Saat itu kami betul-betul merasa sangat terkejut, karena isu referendum ternyata sudah sangat luas, dan keinginan Aceh untuk lepas dari republik terbukti juga sudah kian jauh.

Ketika beberapa bulan kemudian saya datang kembali, suasananya sudah semakin mencekam. Malahan sewaktu saya berada di Kantor Gubernuran, tatkala saya dihadapkan dengan tokoh-tokoh Aceh dari segala lapisan, mereka mengatakan tidak ingin lagi ditipu oleh orang Jawa. Saya tidak diberi kesempatan bicara barang semenit pun. Saya hanya disuruh mendengarkan aspirasi mereka, sampai-sampai ada tokoh yang sangat kasihan dengan saya karena sebagai tamu saya telah diperlakukan dengan tidak begitu elegan.

Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dia mengentengkan masalah Aceh. Malah dia sempat menyatakan bahwa sesungguhnya dia menjadi nabinya orang Aceh. Dengan pengentengan masalah itu, maka rakyat Aceh merasa lebih diremehkan. Ketidakpercayaan kepada pemerintah Jakarta semakin membesar. Dan lagi-lagi persoalannya menjadi lebih sulit dipecahkan.

Pada waktu Megawati belum jadi presiden, dia pun pernah menjanjikan satu penyelesaian integral bahkan sempat menangis dan memberikan pandangan yang mengharukan, karena banyak masyakarat berharap apabila Mega jadi presiden mungkin masalah Aceh bisa diselesaikan secara bermartabat. Tetapi harapan dan kenyataan kini semakin jauh.

Kita juga tidak boleh melupakan bahwa penanganan pemerintah Jakarta memang telanjur salah kaprah. Waktu GAM masih kecil, tidak ada langkah apapun yang diambil oleh pemerintah, baik yang persuasif sampai kepada yang represif untuk menahan laju GAM. Bisa dibayangkan, komandan GAM dapat leluasa diwawancarai hampir semua TV swasta. Bahkan seluruh stasiun TV bisa menayangkan latihan perang-perangan pasukan GAM, tapi tidak pernah ada tindakan pasti harus diapakan GAM itu.

Kita juga masih ingat bagaimana Bondan Gunawan pernah mewakili Abdurrahman Wahid berbincang-bincang dengan Tengku Abdullah Syafe'i, dan tidak membuahkan hasil apapun juga. Kini rakyat sesungguhnya bertumpu kepada kepiawaian Susilo Bambang Yudhoyono dengan timnya. Tetapi sesungguhnya juga memerlukan kearifan Megawati untuk mencari solusi yang komprehensif dan integral mengenai kasus Aceh yang sudah tidak boleh terlambat sekarang ini. Artinya, kalau ada keterlambatan beberapa bulan sampai 1 tahun, mungkin masalah Aceh sudah melesat semakin jauh dan kita semakin tidak punya daya untuk memecahkannya.

Akan tetapi kita mungkin belum bisa berharap banyak, karena tampaknya langkah yang pasti itu belum dimiliki pemerintah. Dengan mengatakan hal ini, saya bukannya tidak menyadari bahwa masalah Aceh memang cukup ruwet dan sangat sensitif. Namun paling tidak, saya mengharapkan adanya koordinasi pendekatan kasus Aceh itu secara simultan, dan itu yang belum terlihat sampai sekarang ini. Tampaknya ujung tombak diplomasi yang diketuai Pak Wiryono, ujung tombak pendekatan keamanan yang harusnya dilakukan oleh Polri dengan bantuan TNI, serta pendekatan sosial-ekonomi dalam arti mengimplementasikan seluruh UU Nanggroe Aceh Darussalam secara konsekuen dan tanpa penundaan, serta pendekatan sosial-religius yang perlu dilakukan oleh tokoh-tokoh Jakarta dan para ulama Aceh, serta kerangka komprehensif yang memasukkan berbagai pendeketan lain yang dianggap perlu secara simultan, sampai kolom ini saya tulis memang belum tampak di permukaan.

Padahal saya yakin masalah Aceh tidak boleh didekati dengan satu-dua pendekatan saja, apalagi jika pendekatan satu dengan lainnya saling kontradiktif. Memang akhirnya pertanyaannya tinggal satu: adakah kepemimpinan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah Aceh ini? Satu hal yang mungkin pernah saya tulis dalam kesempatan lain, keluhan tim negosiator kita yang berhadapan dengan GAM, yaitu ketika mereka berpamitan mau terbang ke Jenewa untuk mendapat pembekalan dari pemerintah. Ternyata pemerintah mengatakan terserah kepada tim negosiasi, pokoknya yang baik-baik sajalah.

Tentu dengan pembekalan yang berupa keterserahan itu, maka yang dibekali menjadi tidak punya arah dan kehilangan kemantapan, karena akan takut melakukan kesalahan, sementara pemerintah sendiri tidak jelas pengarahannya. Inilah barangkali drama tragis yang dialami anak-anak bangsa di Aceh yang sesungguhnya pernah memperoleh momentum untuk penyelesaian secara sangat anggun, bermartabat, dan manis. Tapi sekarang yang kita hadapi adalah keruwetan multidimensional.

Namun sebagai bangsa kita tidak boleh berputus asa. Kalau kepemimpinan puncak negeri ini ada kearifan, ketegasan, kesegeraan, dan sekaligus ketangkasan pemecahan masalah, saya masih yakin waktu yang tersisa sedikit ini masih bisa dipakai. Wallahu alam.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq