Nasib Politik Akbar Tandjung
detikcom - Jakarta, Saya yakin sebagian besar rakyat Indonesia menanti vonis macam apa yang akan diputuskan berkenaan dengan tuduhan korupsi sebesar Rp 40 miliar yang menyangkut antara lain Akbar Tandjung. Mengapa minat masyarakat demikian besar, oleh karena sejak semula telah terjadi semacam sandiwara yang tidak cukup canggih.
Kita ingat bagaimana mula-mula Akbar Tandjung lupa menyebut yayasan yang menerima uang Rp 40 miliar itu untuk pembelian sembako guna dibagikan kepada rakyat yang pada saat itu mengalami kehidupan yang sulit. Ini tentu terkait dengan akibat rontoknya Orde Baru pimpinan Pak Harto, kemudian implikasi krisis multidimensional itu tetap dirasakan pada zaman Habibie dan waktu itulah terjadi cerita tentang sembako senilai Rp 40 miliar.
Beberapa minggu kemudian diketahui yayasan itu bernama Raudhatul Jannah. Dalam kaitan ini banyak orang tersinggung, mengapa yayasan Islam dijadikan kambing hitam untuk uang korupsian sebesar itu. Setelah beberapa kali dilakukan persidangan, maka ketahuan tidak ada pembagian sembako seperti diceritakan oleh Akbar pada awal terbongkarnya kasus Bulog II itu.
Malah yang menghina intelegensia atau kecerdasan bangsa Indonesia, terjadi ketika Winfried Simatupang sebagai kontraktor yang ditunjuk untuk membeli sembako mengembalikan uang secara utuh kepada pengadilan. Itu sebagai bukti bahwa memang uang Rp 40 miliar tidak pernah dipakai untuk membeli sembako, seperti cerita berminggu-minggu di tengah-tengah masyarakat berdasarkan versi Akbar Tandjung maupun saksi-saksi lain.
Sesungguhnya pada titik itu saja sudah cukup untuk menghentikan proses hukum, karena tidak jelas-jelas telah terjadi sebuah kebohongan publik menyangkut uang negara yang demikian besar. Sehingga bagaimana bisa cepat diputuskan dan tidak usah diperpanjang lagi dengan menghadirkan saksi-saksi berikutnya, sementara kita sudah tahu persis sembako itu hanya cerita khayalan belaka.
Tetapi eloknya, sudah dikatakan bahwa cerita sembako itu adalah cerita imajiner, tetap saja dalam proses persidangan pertanyaan tentang sembako fiktif masih diteruskan. Misalnya dibawa ke mana sembako itu, siapa yang menerimanya, sopir yang telah meninggal dunia dicari alamatnya, kemudian ibunya harus dihadirkan dan segala macam yang terus terang --maaf-- sudah memuakkan.
Namun demikian ketika vonis pada Akbar Tandjung dijatuhkan oleh majelis hakim pekan kemarin, rakyat tetap menarik napas lega karena ternyata korupsi itu masih dianggap sebagai suatu kejahatan dan akhirnya kena hukuman. Saya tidak mempersoalkan apakah vonis 3 tahun buat Akbar terlalu berat atau terlalu ringan. Tetapi bahwa akhirnya dijatuhkan hukuman terhadap kasus korupsi, buat saya sudah cukup melegakan. Oleh karena, tugas besar reformasi adalah memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, Indonesia adalah negara ajaib yang seringkali mengandaskan logika sederhana, berhubung sudah terlalu lama kita memain-mainkan hukum dan menjadikan hukum sebagai tunggangan dari kepentingan politik. Dan, hal ini terjadi sejak zaman Soekarno, zaman Soeharto, dan berlanjut sampai sekarang ini. Lihatlah cara orang membuat argumen untuk menyatakan bahwa putusan hakim pada tingkat pengadilan negeri masih belum punya kekuatan hukum yang tetap.
Sebagian orang mempercayai bahwa putusan pengadilan negeri masih bisa dianulir oleh pengadilan tinggi. Sehingga dengan harap-harap cemas, arti naik banding itu adalah untuk melenyapkan putusan hakim pada tingkat pengadilan negeri. Dan, andai kata pengadian tinggi memvonis sama atau malah memperberat, maka masih juga dianggap tidak punya kekuatan hukum tetap karena masih dimungkinkan sebuah kasasi. Padahal kita tahu, kasasi bisa berjalan bertahun-tahun karena ribuan kasus sudah menumpuk sejak zaman dulu hingga sekarang.
Tetapi andai kata akhirnya Mahkamah Agung (MA) membenarkan vonis pada tahapan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, si terpidana akan mengatakan belum punya kekuatan hukum karena masih ada lembaga peninjauan kembali (PK). Tentu PK memerlukan waktu bertahun-tahun, sehingga orang sudah lupa sama sekali terhadap kasus sebenarnya. Dengan mengikuti cara berpikir seperti ini maka selain kita membenarkan sistem hukum kita yang sangat koruptif, sesungguhnya kita sedang menipu diri sendiri.
Saya diberi tahu seorang pengacara yang dekat dengan saya, yang dengan jujur mengatakan bahwa memang hakikat sistem hukum kita cukup koruptif. Selain setiap putusan pengadilan dapat dianulir oleh otoritas hukum di atasnya, maka ketika MA menjatuhkan sebuah keputusan pun masih bisa diajukan PK, dan PK itu dengan segala macam cara mungkin bisa diulangi menjadi PK seri ke-2, ke-3, dst. Inilah keajaiban negara yang kita cintai yang bernama Republik Indonesia.
Malah seorang profesor mengatakan asas praduga tak bersalah harus dikenakan kepada kasus Akbar Tandjung, sehingga seluruh proses naik banding, kasasi, sampai PK sudah selesai secara tuntas. Padahal orang awam pun mengetahui, praduga tak bersalah itu hanya berlaku sampai menjelang kasusnya diperiksa oleh pengadilan.
Di samping itu, saya setuju dengan Prof. Satjipto Rahardjo yang mengatakan negara kita akan menjadi negara zombie alias negara jenazah yang berjalan, bilamana moral dipisahkan dari hukum. Dengan sistem hukum yang memungkinkan tindakan koruptif itu benar-benar kita menjadi negara yang ambruk secara moral, dan akhirnya ambruk secara keseluruhan.
Waktu saya muda, dalam sebuah diskusi, saya mendengarkan saudara Dawam Rahardjo yang menyitir pendapat Prof. Oemar Senoadji yang masih saya ingat sampai sekarang. Kata-kata beliau adalah; there is no law without morality, there is no morality without religion. Sesungguhnya kalau mau lengkap tentu bunyinya; there is no rule without law, no law without morality, and no morality without religion. Artinya, tidak ada aturan tanpa hukum, tidak ada hukum tanpa moralitas, tidak ada moralitas tanpa agama sebagai sumber pertama dari nilai-nilai moral dan etika.
Sekarang, dengan melepaskan pasal-pasal hukum secara legalistik formalistik dengan substansi moralnya, maka sesungguhnya kita sedang menipu diri sendiri dan kita sedang membuat sandiwara yang sangat membahayakan buat kelangsungan kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Dalam kaitan ini saya tentu prihatin bahwa DPR sendiri sebagai lembaga yang mestinya sangat terhormat, ternyata juga tidak berani mengambil keputusan yang tegas. Sebagian mengatakan perlu dibentuk dewan kehormatan, sebagian lain seperti fraksi yang cukup besar yaitu F-KB dan yang terbesar FPDI-P, tidak berminat untuk membuat dewan kehormatan itu.
Apalagi kalau ingat pada pengalaman ketika F-KB mengusulkan dibentuknya Pansus Buloggate II. Pada saat diadakan rapat paripurna DPR untuk me-follow-up usul F-KB itu, sebagian besar anggota F-KB tidak hadir bahkan yang datang pun kemudian ngeloyor keluar dengan segala macam alasan. Sementara, lebih dari 90 persen anggota FPDI-P mengambil sikap abstain. Dan, gara-gara inilah anggota DPR dari PDI-P yakni Indira Damayanti langsung keluar karena tidak tahan melihat permainan DPR yang seringkali mengandung unsur kepalsuan.
Saya khawatir sebagian anggota DPR yang tampak galak dalam menyikapi vonis Akbar Tandjung ini, sesungguhnya sedang melakukan sandiwara politik untuk meningkatkan citra. Tetapi pada saat hari H mungkin saja tokoh-tokoh yang kelihatan galak sekarang, juga tidak akan hadir dengan seribu satu macam alasan.
Memang, saya mengetahui dampak dari vonis yang sudah dijatuhkan terhadap Akbar Tandjung itu. Dan, jika tidak ada follow-up yang jelas, akan berimplikasi sangat jauh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak, kita sudah bisa mendapat justifikasi atau pembenaran bahwa seorang terpidana bisa menjadi apa saja, bisa memimpin lembaga apa saja di negara ini, oleh karena hakikatnya dijatuhkannya status terpidana bagi seseorang tidak ada artinya sama sekali karena masih bisa naik banding, kasasi, PK, barangkali juga PK serial sehingga tidak akan ada habis-habisnya.
Benar kasus Akbar Tandjung dari segi skala korupsi kecil dibandingkan kasus BLBI yang meliputi ratusan triliun rupiah. Dalam kasus yang sangat dahsyat itu pun kita mengetahui telah terjadi penjungkirbalikan hukum kita. Kasus skandal BLBI bukan lagi masalah pidana, tapi telah dialihkan menjadi perkara perdata sehingga demikian sumir penanganannya dan tergantung kepada pihak-pihak yang sedang bersengketa. Karena, hakikatnya kalau dua pihak dalam sengketa perdata mau berunding dan saling mensahkan, maka selesailah sudah kasus-kasus yang tergolong masalah perdata itu.
Sebagai salah seorang anggota DPR yang kebetulan menjadi Ketua MPR, saya tentu sedih melihat perkembangan seperti ini. Tetapi saya juga tidak bisa bertindak terlalu banyak, karena peta DPR kita memang sudah sarat dengan kepentingan yang bercokol, kepentingan rabun ayam atau kepentingan jangka pendek. Akhirnya, kepada Akbar Tandjung mungkin bisa disampaikan sepotong nasihat yang berasal dari Nabi Muhammad, agar dalam keadaan di mana seseorang bingung karena tidak dapat mengambil keputusan maka tanyalah hati nurani masing-masing.
Pesan Nabi yang singkat itu berbunyi, istafti qalbuka, mintalah fatwa kepada hati nuranimu. Nurani adalah hadiah Allah yang dipelihara kejernihan dan keterangbenderangannya. Kalau kita berkonsultasi pada nafsu, tentu rusaklah perilaku kehidupan kita. Kalau kita berkonsultasi kepada akal pikiran kita, maka terlalu sering akal pikiran memerosokkan kita kepada musibah karena akal pikiran bisa direntang dengan segala macam logika. Dan, bahkan bisa sampai jatuh ke kesadaran palsu (false conciousness), di mana kesadaran palsu kita anggap sebagai kebenaran dan ternyata kesadaran palsu kita telah membunuh kebenaran itu sendiri.
Tetapi Allah masih memberikan hati nurani atau kalbu yang kalau kita konsultasi kepada kalbu masing-masing, maka yang kita peroleh bukan kebingungan, bukan kekacauan tetapi kejernihan dan kebenaran. Inilah barangkali yang perlu kita imbau bukan saja kepada Pak Akbar, tetapi juga kepada para pimpinan fraksi-fraksi di DPR dan seluruh anggota DPR yang terhormat. Wallahu a'lam.