Hadapi Terorisme dengan Cerdas
detikcom - Jakarta, Sejak pembomam teroristik yang menimpa Gedung WTC di New York maupun Gedung Pentagon di Washington DC, sekarang ini masyarakat internasional tanpa henti selalu berbicara mengenai terorisme. Terutama sekali Amerika Serikat sebagai korban terorisme 11 September 2001, telah melakukan segala macam cara dan upaya ---bahkan dalam beberapa hal sudah kebablasan--- untuk memerangi jaringan terorisme internasional.
Menurut versi Amerika di muka bumi ini ada sebuah jaringan teroris dunia yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang dinamakan Al-Qaeda. Dan, Amerika menyimpulkan bahwa jaringan teroris ala Al-Qaeda itu telah mempunyai sel-sel di banyak negara, malahan ditengarai termasuk Indonesia.
Karena jaringan Al-Qaeda diduga sangat kuat berada di Afganistan, maka tanpa ampun Amerika telah menghajar Afganistan di dibawah pemerintah Taliban sampai betul-betul hancur. Namun, kenyataannya, sampai sekarang Osama bin Laden diyakini masih hidup entah berada dimana.
Begitu sengitnya Amerika ingin menumpas terorisme sehingga sampai-sampai George W. Bush kehilangan kendala rasional ketika dia mengatakan bahwa hanya ada dua pilihan dimuka bumi, yaitu ikut bergabung dengan AS atau bergabung dengan teroris. Cara berpikir yang sangat simplistik dan berbahaya ini tentu bisa disimpulkan, bahwa siapa pun yang tidak mau makmum atau ikut Amerika maka kemudian secara langsung diduga punya keterlibatan atau paling tidak simpati dan empati dengan jaringan terorisme internasional.
Kekalapan George W. Bush tidak berhenti sampai disitu. Dia pernah mengatakan bahwa di dunia ini ada sumbu kejahatan atau exist of evil yang terdiri dari Iran, Irak dan Korea Utara. Mungkin bisa kita paparkan segala langkah Bush yang sudah kehilangan kendala rasional dalam memerangi terorisme dunia itu, sampai-sampai seorang menteri kehakiman Jerman mengatakan ada kemiripan antara George W. Bush dengan Adolf Hitler.
Kalau yang menuduh Bush seperti itu katakanlah tokoh Palestina atau tokoh komunis atau lawan Amerika, barangkali masih bisa dimengerti. Tetapi seorang menteri negara Eropa terbesar yakni Jerman menyamakan Bush dengan Hitler, tentu bukan sesuatu yang remeh melainkan penuh mengandung makna.
Dalam berbagai langkah Amerika memerangi terorisme tampaknya tidak berjalan seperti keinginan Menteri Pertahanan AS, Colin Powell, yang cukup bijak, tetapi menuruti Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld, dan Bush sendiri yang bermazhab pukul dulu urusan belakang, yang bermazhab Amerika adalah polisi dunia, Amerika adalah satpam internasional, dan siapa pun menurut Amerika bisa digebuk maka harus digebuk tanpa kenal ampun.
Lihatlah, bagaimana Amerika sudah kehilangan kendali akal sehat ketika argumen untuk menyerang Irak dibawah Saddam Husein berganti-ganti tanpa konsistensi. Mula-mula Amerika punya alasan menggebuk Irak karena diyakini Saddam Husein ada kaitannya dengan Osama bin Laden. Ketika terbukti bahwa tidak ada hubungan Al-Qaeda dengan Saddam, maka Bush mengatakan tetap akan menyerang Irak karena Irak menyimpan sejumlah senjata pemusnah dan senjata kimia. Tatkala tim investigasi PBB mengatakan bahwa kemungkinan besar Irak sudah tidak lagi memiliki senjata beracun seperti ditudingkan Amerika, kemudian Amerika mengatakan sebab musabab menyerang Irak karena ingin melihat pergantian rezim dari Saddam Husein ke penggantinya.
Dan, ketika opini dunia menilai cara berpikir Amerika itu tidak konsisten dan mengandung bahaya anarki internasional, maka Bush mengatakan tidak peduli pendapat demikian, bahkan tidak peduli pendapat PBB. Malahan, dia mengatakan andaikata Amerika harus sendirian menghajar Irak, itu pun akan dilakukan. Dalam hal ini, kita sedang menghadapi sebuah superpower yang pimpinan puncaknya sedang sangat emosional, sedang kehilangan pandangan yang teduh dan dingin, sehingga kita harus hati-hati, tegas dan sekaligus cerdas menghadapi langkah-angkah Amerika yang memang membahayakan dunia internasional.
Kita tidak usah menutup mata bahwa terutama yang sering disebut-sebut George W. Bush itu adalah dunia Islam. Walaupun mungkin tidak diformulasikan secara jelas, tetapi terasa bahwa yang tersirat dari segala keterangan Bush adalah dunia Islam dijadikan sasaran pokok dari perang melawan terorisme internasional.
Ketika dunia sedang marak dengan move-move Amerika, kita dikejutkan oleh peristiwa ledakan bom teroris di Bali yang dianggap sebagai kejahatan terorisme nomor dua setelah peristiwa 11 September di New York dan Washington. Dalam hal ini, Indonesia harus tetap memegang teguh kemerdekaan dan kedaulatannya, tetap memegang teguh supremasi hukum. Tentu Amerika punya pendirian sendiri untuk memerangi terorisme, sekalipun kita setiap kali mengatakan akan bersedia bekerjasama dengan negara mana pun untuk melakukan usaha-usaha kolektif membendung dan menghabisi terorisme internasional.
Masalahnya adalah bahwa peristiwa Bali itu memang sangat fundamental dan menentukan bagi kelangsungan stabilitas politik bangsa Indonesia. Saya cenderung berpendapat kita harus lebih cerdas memasukkan usulan-usulan Amerika bahwa Al-Qaeda dipastikan terlibat dengan teroris di Indonesia. Kita juga harus menghormati dan tetap mencerna masukan-masukan dari negara tetangga bahwa kemungkinan kelompok ini atau kelompok itu telah bersekongkol dengan Al-Qaeda. Namun, jangan sampai kita terjebak dalam sebuah kekonyolan. Maksud saya, jangan kita mengerahkan seluruh waktu, perhatian, biaya, energi dan kerjasama untuk mencari pelaku pemboman di Legian, Bali, dengan asumsi tunggal yaitu semuanya ini dikendalikan, direkayasa, dibiayai, dan dilaksanakan oleh Al-Qaeda dan kaki-tangannya.
Pikiran simplistik ini bisa amat berbahaya. Kalau ternyata yang melakukan kebiadaban terorisme di Bali tidak ada hubungannya dengn Al-Qaeda, maka para pelaku kebiadaban itu merasa sangat bahagia dan menertawakan kita karena telah terjebak di dalam asumsi yang gegabah dan ternyata keliru.
Secara demikian, seperti saya katakan kepada Menlu Australia, Alexander Downer, maupun PM Australia, John Howard, sebaiknya Indonesia tetap membangun tim internasional dengan pemimpin dan koordinatornya adalah Indonesia sendiri. Tetapi, kita jangan terjebak dalam sebuah asumsi dan menutup pintu untuk melihat perspektif yang lain. Kita tidak keberatan bahwa Al-Qaeda maupun kelompok-kelompok lain patut dicurigai dan diselidiki sampai tuntas, tetapi kemungkinan lain jangan pernah ditutup. Oleh karena, kelompok teroris di muka bumi ini sudah sangat pandai, sangat canggih dan jaringannya pun sudah berbagai-bagai.
Yang perlu kita ingat, terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik. Pertama, ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan. Kedua, keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin. Ketiga, tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan. Keempat, serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.
Terorisme gaya baru bisa menyerang gereja atau masjid, menghantam pasar atau supermarket, melumat kantor pemerintah atau lembaga pendidikan, nightclub, hotel-hotel, bisa menyerang perkampungan desa maupun kota, bisa melakukan serangan di jalan raya, di dalam kereta api, bus, pesawat terbang, kapal laut dan segala macam itu tanpa bisa dibatasi.
Maka sekali lagi, marilah kita menjadi bangsa yang cerdas. Kita sudah berikrar sampai ke ujung dunia pun harus kita temukan para pelaku kebiadaban di Bali. Dan setelah itu, apakah ada Al-Qaeda atau tidak, apakah mereka mengaku muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, komunis atau siapa pun, apakah dia etnis A atau B, ras A atau B, begitu berhasil kita tangkap maka harus diberi hukuman sekeras-kerasnya. Karena pada hakikatnya, mereka bukan manusia lagi. Mereka adalah iblis berwajah manusia. Mereka adalah setan terkutuk berujud anak cucu Adam.
Print artikel | Kirim ke teman