Rhoma Irama: “Jangan Kait-kaitkan Kerusuhan dengan Umat Islam”
Majalah Forum, 21
April 1997
Rhoma Irama tampaknya akan menjadi vote-getter andalan Golkar dalam Pemilu
mendatang. Lihat saja, setiap acara temu kader yang menampilkan Rhoma selalu
dipadati pengunjung. Sudah pasti, selain karena ingin mendengar khotbah dari
sang Raja Dangdut yang namanya melambung lewat lagu "Begadang" itu, massa yang
berjumlah puluhan ribu tersebut juga ingin berdangdut ria bersama Soneta Grup.
Sayang, baru-baru ini langkahnya sedikit terganggu di Pekalongan. Beberapa jam
sebelum manggung dalam pentas "Nada dan Dakwah" bersama KH. Zainuddin MZ,
terjadi kerusuhan massa di kota tersebut.
Kemarahan massa yang sebagian berasal dari kalangan santri itu memang tidak
mengarah langsung kepada Rhoma, melainkan ke pihak Pemda dan Golkar setempat.
Kabarnya, kemarahan massa tersebut akibat bendera PPP dicopoti oleh aparat
Pemda. Tapi, yang jelas, nama Rhoma disebut-sebut oleh massa saat kerusuhan
tersebut. Beberapa kali terdengar pula teriakan massa yang bernada menghujat
pemusik yang juga pemain film itu. Bahkan, dalam sebuah poster yang diarak
massa, ditulis "Roma Murtad". Apa komentar laki-laki kelahiran Tasikmalaya, 11
Desember 1947, itu mengenai kejadian tersebut? Dan apa motivasi yang mendorong
jebolan Fakultas Sospol Universitas 17 Agustus, Jakarta, itu masuk ke Golkar?
Apakah ia masih committed terhadap perjuangan politiknya dulu, sewaktu ia
menjadi juru kampanye PPP dalam Pemilu 1982 dan 1987? Pekan lalu, wartawan
FORUM, Tony Hasyim dan Sudarsono, mewawancarai suami Ricca Rachim--setelah
bercerai dari Veronica--itu. Berikut petikannya.
Kerusuhan di Pekalongan itu kabarnya akibat massa kecewa Anda masuk
Golkar. Pendapat Anda?
Pertama, yang harus saya jernihkan adalah, yang dibakar itu bukanlah panggung
"Nada dan Dakwah". Kerusuhan itu kan terjadi di Desa Buaran, sedangkan panggung
saya ada di Desa Kedungwuni. Saya sendiri tidak melihat kerusuhan itu. Karena
jaraknya 15 kilometer dari tempat saya. Nah, sesuai yang diutarakan Menko
Polkam, KSAD, dan juga analisa Gus Dur, di daerah tersebut memang sudah sejak
lama ada dua atau tiga ulama yang selalu mengadakan pidato-pidato yang
menanamkan kebencian kepada Golkar dan pemerintah. Sehingga, di masyarakat
Buaran sana sudah tertanam rasa apriori terhadap Golkar dan pemerintah. Kedua,
pada hari kerusuhan itu, di dekat pesantren milik kiai yang selalu membakar umat
itu, didirikan pentas dalam rangka peresmian Pesantren Alquran oleh Mbak Tutut.
Jadi, kiai tersebut kalap. Ditambah lagi pihak panitia peresmian pesantren itu
mencabuti bendera-bendera PPP yang sebelumnya sudah dipasang di sekitar pentas
peresmian pesantren itu. Jadi, itulah sumber penyebab kerusuhan tersebut.
Selain Mbak Tutut, apa Anda juga berencana datang ke peresmian pesantren
itu?
Tidak. Tugas saya di Pekalongan itu hanya untuk pentas "Nada dan Dakwah".
Yang rencananya datang ke sana adalah Mbak Tutut dan Ustad Zainuddin.
Waktu di Pekalongan, Anda sempat bertemu ulama dan tokoh masyarakat
setempat?
Secara langsung tidak, karena tidak diprogramkan untuk itu. Tugas saya di
situ cuma "Nada dan Dakwah". Sehingga konsentrasi saya ya mengurus pentas saja.
Anda yakin kerusuhan itu bukan karena massa marah kepada Anda?
Buktinya, panggung kami tidak diganggu. Sejak dari pemasangan alat-alat, saat
acara berlangsung, sampai bubar, tidak ada yang mengganggu sama sekali.
Penontonnya malah membanjir, tapi sangat tertib. Kesimpulannya, karena kronologi
peristiwanya begitu, berarti kerusuhan itu bukan ditujukan kepada saya. Adapun
penyebab kerusuhannya, karena daerah itu memang sudah diracuni dengan kebencian
terhadap pemerintah dan Golkar. Dan kebetulan ada pencabutan bendera PPP oleh
panitia peresmian pesantren, sehingga terjadilah peristiwa tersebut. Jadi,
kejadian itu spontanitas saja. Cuma, kalau dikait-kaitkan dengan diri saya,
mungkin juga ada. Tapi, saya yakin, itu bukan faktor yang vital. Sebab, yang
namanya kerusuhan-kerusuhan itu kan sudah beberapa kali terjadi belakangan ini.
Cuma, yang dikaitkan langsung dengan saya baru di Pekalongan ini.
Tapi, "Nada dan Dakwah" itu kan mendahului jadwal kampanye yang ditetapkan
pemerintah...
Nyatanya, saya tidak berkampanye, enggak ada yel-yel. Itu murni dakwah.
Enggak ada yel-yel "hidup Golkar" atau apalah. Yang namanya "Nada dan Dakwah"
itu kan bukan baru. Sudah sejak 10 tahun lalu kami menjalankan itu. Kok sekarang
diributkan. Kami tidak ngaco, kok. Kami tidak juga mencuri start kampanye.
Dakwah yang kami lakukan juga bertemakan persatuan dan kesatuan. Kami dakwahkan
kepada umat agar memilih apa yang Anda suka, mari kita sukseskan pemilu, jangan
golput. Ukhuwah Islamiah di atas segalanya, persatuan dan kesatuan nasional di
atas segalanya. Itu kan dakwah yang positif. Jadi, kami mengkondisikan agar
pemilu nanti berjalan sehat dan sejuk.
Dulu acara "Nada dan Dakwah" itu untuk apa sih?
Sama saja seperti sekarang. Yaitu, memberikan santapan rohani kepada umat
melalui qiraatnya Haji Muamar, dakwahnya K.H. Zainuddin M.Z., musiknya Rhoma
Irama. Dari dulu sampai sekarang acaranya begitu saja. Enggak ada bahasa-bahasa
politik yang kami sampaikan. Kalaupun ada, sifatnya umum. Dan murni untuk
memberikan pendidikan politik kepada umat. Enggak ada tendensi apa-apa.
Kawan-kawan Anda di Soneta apakah juga Anda kerahkan untuk kemenangan
Golkar?
Iya, semuanya. Kalau saya memihak, konsekuensi logisnya, saya harus
mengerahkan segala tenaga dan pengetahuan yang ada untuk memenangkan pihak saya.
Apakah K.H. Zainuddin M.Z. juga akan masuk Golkar?
Pak Ustad orang netral, Muamar juga orang netral. Tapi seperti yang Anda
lihat, meskipun saya masuk Golkar, kami enggak ada masalah kok. Masih bisa
sama-sama bikin "Nada dan Dakwah" Artinya apa? Kalau untuk kepentingan umat,
mari kita berangkulan. Mau berada di mana saja, silakan. Mau di PPP, mau di PDI,
mau di Golkar, mau netral, wis monggo, asal tujuannya sama: untuk kepentingan
umat tidak ada alasan untuk berpisah.
Bukankah Anda akan lebih berarti bagi umat jika Anda tetap berada di
mana-mana?
Betul sekali, tapi dalam konteks Rhoma sebagai idola, bukan sebagai umarah.
Dalam konteks Rhoma sebagai idola, apa sih yang bisa diperbuat Rhoma? Tapi dalam
konteks Rhoma sebagai umarah, kan Rhoma bisa berbuat banyak untuk umat dalam
arti konkret.
Sebagai caleg dan jurkam Golkar, Anda tidak khawatir massa PPP akan
mengganggu kampanye Anda?
Yang perlu kita dengungkan sekarang adalah, pertama, pemilu itu bukan ajang
perpecahan nasional. Kedua, sejak asas tunggal, itu tidak ada lagi partai agama.
Karena itu, pemilu harus kita lihat sebagai ajang kompetisi memenangkan program
untuk memakmurkan bangsa ini. Sementara persaingan sehat itu perintah Allah,
"Berlomba-lombalah kamu dalam berbuat baik" (fastabiqul khairat). Harusnya, kita
semua berpandangan begitu. Jadi, mari kita laksanakan pemilu sebagai persaingan
untuk berlomba-lomba memakmurkan bangsa secara keseluruhan, bukan memakmurkan
satu golongan. Siapa pun dan di mana pun, konteksnya sama saja, yakni dalam
rangka memakmurkan bangsa. Dengan begitu, kalau sekarang saya ada di Golkar, itu
harus dilihat bukan untuk kepentingan Golkar an sich, tapi untuk kepentingan
umat secara makro, untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan. Demikian juga
mereka yang ada di PPP. Itu bukan untuk kepentingan PPP, tapi untuk kepentingan
bangsa.
Tapi, umat DI PPP sangat kecewa karena dulu Anda mendukung PPP, sekarang
mendukung Golkar...
Saya mau balik bertanya, apakah salah saya di Golkar? Toh saya tidak
mengkotak-kotakkan umat. Kita kan cuma berbeda strategi saja. Motivasinya sama.
Toh, nantinya kita akan bahu-membahu di DPR. Kan di sana bukan hanya satu
fraksi.
Tapi tampaknya orang PPP sakit hati dengan masuknya Anda ke Golkar?
Di situlah orang banyak salah persepsi. Saya dulu di PPP bukan sebagai orang
PPP, bukan sebagai kader, bukan pula sebagai fungsionaris. Saya hanyalah
simpatisan. Selesai kampanye, ya sudah, saya mundur. Makanya, kalau orang bilang
saya kutu loncat, itu sangat tidak masuk akal. Saya sendiri begitu masuk ke
Golkar enggak ada beban, enggak merasa, "Wah, bagaimana nanti umat...?" Enggak
ada itu. Yang enggak senang saya masuk Golkar mungkin orang yang tidak mengerti.
Karena itu, saya harus memberikan pengertian kepada mereka. Tapi, bagi yang
mengerti, saya rasa tidak akan kecewa terhadap saya. Saya heran, kenapa ada
orang lebih fanatik terhadap partai ketimbang akidah. Padahal, partai itu kan
cuma produk manusia yang bisa berubah, cuma instrumen saja. Sementara akidah itu
tidak bisa diubah. Sampai kapan pun kita harus konsisten menjalankan akidah di
mana pun kita berada. Kalau kita fanatik dengan agama, sebetulnya kita tidak
boleh pecah. Kita jangan berpisah, kan? Kita kan cuma berbeda strategi, gitu lo.
Kalau mereka tahu ini, saya kira enggak akan ada masalah. Rhoma sekarang bukan
untuk Golkar saja, tapi untuk seluruh umat.
Nanti Anda berkampanye ke mana saja?
Saya belum tahu. Saya belum melihat jadwal saya. Sampai sekarang, saya juga
belum tahu, apakah dalam kampanye nanti saya menjadi jurkam dalam kapasitas apa.
Mungkin sebagai seniman atau sebagai mubalig, atau mungkin sebagai politisi.
Saya belum tahu, ha-ha-ha...
Jumlah penonton "Nada dan Dakwah" atau show Anda, apakah berbeda antara
sebelum dan sesudah Anda masuk Golkar?
Sama saja. Di Pekalongan, penontonnya sama banyaknya kok dengan pentas yang
dulu-dulu.
Anda dinilai cukup berpengaruh di kalangan masyarakat bawah. Dengan masuk
ke Golkar itu, Anda yakin bisa memberikan kontribusi terhadap kemenangan Golkar?
Mudah-mudahan demikian. Kalau saya berpihak, artinya saya harus memenangkan
pihak kami. Itu adalah konsekuensi logis. Cuma, dengan catatan, kami harus
meyakinkan umat bahwa visi kita terhadap pemilu harus kita lihat sebagai ajang
kompetisi untuk memakmurkan umat. Dengan sikap seperti itu, kita tidak akan
berbenturan dengan kepentingan umat. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita
untuk bermusuhan dalam pemilu. Karena, siapa pun yang tampil sebagai pemenang
dialah yang dipercaya oleh umat untuk melaksanakan aspirasi rakyat dan
memperjuangkan amanat penderitaan rakyat. Dan perlu Anda ketahui, saya menerima
undangan masuk ke Golkar justru karena saya melihat mereka semakin profesional
dalam membangun setiap aspek kehidupan masyarakat.
Bukankah dengan posisi netral Anda bisa lebih efektif menyampaikan pesan
moral kepada masyarakat seluruhnya?
Memang, dulu yang saya lakukan adalah gerakan informal. Nah, sekarang saya
juga ingin berbuat sesuatu melalui jalur formal. Karena, menurut keyakinan saya,
dengan masuk ke jalur formal ini, apa yang saya lakukan akan punya dampak yang
lebih konkret terhadap umat.
Apakah itu berarti PPP tidak efektif?
Saya katakan Golkar lebih efektif karena Golkar yang sekarang tengah mendapat
kepercayaan dari sebagian besar rakyat, sebagian besar umat. Jadi, jelas,
efektif kalau saya ada di dalamnya.
Dulu Anda memihak PPP karena warna Islamnya. Apa Anda ke Golkar juga
karena hal yang sama?
Tidak begitu. Tapi, saya melihat komitmen beberapa kalangan di Golkar
terhadap kehidupan beragama sekarang ini semakin kental.
Contohnya apa?
Contohnya, komposisi anggota Kabinet Pembangunan VI yang sangat proporsional
(antara yang Islam dan non-Islam); kemudian adanya ICMI; adanya Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila yang mendirikan ribuan masjid; kemudian digolkannya UU
Peradilan Agama. Selain itu, tiga jalur Golkar (ABRI, Birokrat, dan Golongan
Karya) terlihat semakin committed terhadap Islam. Kita lihat di bulan puasa
hampir tidak ada satu pun pejabat pemerintah ataupun ABRI yang beragama Islam
yang tidak salat tarawih. Tidak ada satu pun yang tidak salat, tidak ada yang
tidak puasa. Begitu juga saya lihat, tidak ada satu pun pejabat yang tidak pergi
haji.
Anda sangat memperhatikan fenomena itu?
Oh, sangat, sangat. Saya lihat itu perkembangan yang sangat membahagiakan.
Kalau dulu, jangankan pergi haji, mengucapkan asalamualaikum saja orang takut.
Begitu juga, dulu orang takut salat karena akan dituduh "keislam-islaman". Tapi,
sekarang justru terbalik. Yang tidak salat dituding tidak Islam.
Anda yakin itu bukan sekadar manuver politik agar Golkar dan pemerintah
dicintai rakyat?
Saya tidak berpikir begitu. Saya yakin kondisi itu akan berlangsung
seterusnya. Karena, dengan digolkannya suatu klausul dalam GBHN 1993, di mana
agama harus menjadi asas bagi pembangunan nasional yang berlandaskan Pancasila
dan UUD 1945, berarti akidah agama dalam kehidupan bernegara harus dilaksanakan
dan harus semakin matang.
Jadi, Golkar sekarang ini sudah Islami?
Bukan begitu. Saya lihat ,Golkar sekarang semakin committed terhadap
kehidupan beragama. Karena mayoritas rakyat di sini beragama Islam, maka
konsekuensi logisnya sebagai kekuatan politik yang didukung mayoritas rakyat,
Golkar juga menjadi Islami. Tapi, saya masuk ke Golkar bukan karena melihat
Golkar itu sebagai partainya orang-orang Islam, atau hanya mengutamakan
orang-orang Islam, melainkan karena Golkar telah menerapkan kehidupan beragama
secara konsekuen. Tapi, karena yang mayoritas di Golkar adalah Islam, maka yang
kelihatan adalah Islamnya.
Kalau PPP, juga Islami?
Ya, Islam juga, tapi bukan partai Islam. PDI menurut saya juga begitu. Jadi,
begini ya. Saya masuk ke Golkar bukan karena yang lain tidak Islam atau kurang
Islam. Bagi saya, yang penting apakah partai tersebut punya implikasi makro atau
tidak. Kalau saya masuk ke Golkar, itu harus Anda lihat sebagai strategi.
Strategi Anda terhadap umat apa, sih?
Ya, saya ingin umat bisa mencapai cita-citanya sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Supaya negeri ini menjadi makmur berkeadilan, adil berkemakmuran, di bawah rida
Allah. Supaya bangsa Indonesia mendapat fidunya hasanah, wafil akhirati hasanah
(kebaikan di dunia dan akhirat). Karena itu, konsepsi pembangunan nasional kita
kan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Bagaimana dengan hasil pembangunan kita selama ini?
Sangat berhasil. Meskipun jatuh bangun, ya kondisinya memang demikian.
Namanya juga belajar bernegara. Tapi, alhamdulillah, dengan Orde Baru ini kita
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kita harus mensyukuri itu.
Lalu, bagaimana peran politik umat Islam sekarang ini?
Sangat baik. Artinya, sekarang ini peran umat Islam semakin berarti. Dengan adanya proporsionalisme di pemerintahan, di mana yang mayoritas mendapat peran lebih besar, artinya kan peran umat Islam dalam pembangunan sangat besar.
Tapi, kerusuhan di kantong-kantong Islam belakangan ini, bukankah itu akibat rasa tidak puas umat terhadap pemerintah?
Saya rasa itu bukan umat Islam. Itu kan konsekuensi dari mayoritas. Seperti di Amerika, kalau ada apa-apa yang disalahkan jangan orang Kristen, dong. Kemudian, kalau ada apa-apa di Bali, yang disalahkan jangan umat Hindu. Jadi, kerusuhan-kerusuhan itu jangan dikaitkan dengan umatnya. Itu memang konsekuensi dari mayoritas. Masalahnya kan sekarang ini ada kelompok-kelompok yang secara aktual, secara otentik, jelas-jelas ingin mengubah Pancasila. Coba, yang namanya PRD itu kan sudah jelas-jelas tidak mau menerima Pancasila. Mereka mau mengubah sistem, mengubah ideologi Pancasila, dan mengubah UUD 1945. Nah, artinya, dengan adanya itu mereka mencoba dengan segala macam cara untuk mencapai tujuan mereka. Mereka itu yang menunggangi kondisi yang ada sekarang ini. Sebagai contoh, kasus 27 Juli, "Bakar gedung..." Siapa itu yang teriak? Di Situbondo, "Bakar gereja..." Siapa itu yang teriak? Ternyata PKI masih ada. Nah, sekarang mereka mengguncang stabilitas dalam segala aspek kehidupan.
Apa itu bukan karena ada sebab lain?
Bahwa di sini ada kesenjangan, ada kecemburuan sosial, dan sebagainya, bukan kerusuhan yang dijadikan solusi. Kalau dibilang kesenjangan sebagai akibat, di Amerika yang sudah merdeka 200 tahun saja masih ada. Korupsi? Di negara mana pun ada. Partai apa pun yang menang di Indonesia, korupsi pasti terus kok. Karena apa? Karena itu perbuatan setan. Dan setan itu eksis. Hawa nafsu itu eksis. Nah, persoalannya adalah, bagaimana kita mengantisipasi itu semua. Yang namanya huru-hara, perusakan, jelas bukan solusi. Masalahnya, sekarang ini kan ada aktor intelektualnya untuk menumbangkan sistem, menumbangkan republik ini. Dengan menciptakan kerusuhan kan akhirnya masyarakat tidak percaya terhadap kredibilitas pemerintah. Terjadilah people power. Itu yang mereka harapkan. Dan rencana itu sudah terbuka, kok. Jadi, jangan kait-kaitkan kerusuhan itu dengan umat Islam. Penyebabnya adalah oknum-oknum yang ingin mengubah sistem itu.
Lo, saya masuk ke Golkar justru ingin mengajak umat untuk menjaga stabilitas. Kalau sampai Golkar tumbang, Orde Baru tumbang, itu akan set back. Yang rugi siapa? Ya, kita sendiri. Makanya, begitu saya diajak masuk, saya menyatakan oke. |
Anda dinilai masuk ke Golkar di tengah situasi yang kurang tepat. Anda tidak takut jadi sasaran kemarahan orang?
Lo, saya masuk ke Golkar justru ingin mengajak umat untuk menjaga stabilitas. Kalau sampai Golkar tumbang, Orde Baru tumbang, itu akan set back. Yang rugi siapa? Ya, kita sendiri. Makanya, begitu saya diajak masuk, saya menyatakan oke.
Anda sudah cukup secara materi, sudah sangat populer. Apa sih yang Anda cari di DPR nanti?
Begini, ya. Semua perbuatan itu ada niatnya. Akhirnya, yang akan dinilai adalah, apakah perbuatan itu sesuai dengan niatnya. Kemudian, yang kedua, yang benar itu akan selalu menang terhadap kebatilan. Nah, sekarang ini saya enggak perlu banyak bicara. Karena, apa pun yang saya lakukan, umat belum melihat buktinya.Umat belum melihat apa yang saya lakukan dengan masuk di Golkar ini. Karena saya memang belum mulai bekerja sebagai anggota Dewan. Tapi, sekarang saya bisa katakan bahwa Rhoma tidak pernah berubah. Yang berubah adalah sikonnya saja. Yang berubah partainya, Golkarnya. Kalau Rhomanya, dari dulu sampai sekarang tetap konsisten. Saya tetap berjuang untuk Islam, amar makruf nahi munkar, begitu.
Sebelum masuk Golkar, Anda sudah kenal dekat dengan tokoh-tokoh di Golkar?
Sama semuanya saya dekat. Sama Pak Harmoko malah saya kenal sejak lama. Ketika beliau masih wartawan di Pos Kota, kami sudah kenal baik. Saya dekat dengan siapa saja, kok. Bagaimana saya enggak dekat dengan Golkar? Bapak saya anggota ABRI, pensiunan kapten, jabatan terakhirnya sebagai komandan Batalion Garuda Putih (sekarang setingkat letnan kolonel). Setelah beliau meninggal, saya diasuh ayah tiri yang juga berasal dari ABRI, pangkatnya kapten juga. Nah, terus, paman-paman saya, umak-uwak saya juga anggota ABRI, ada juga yang menjabat di pemerintahan. Adik saya juga ada yang di pemerintahan. Jadi, Golkar itu bukan barang baru bagi saya. Artinya, lingkungan dekat saya, semuanya Golkar. Yang di PPP dulu cuma Rhoma Irama, ha-ha-ha ...
Bagaimana sih ceritanya kok tiba-tiba Anda bisa masuk Golkar?
Oh, saya tidak semudah itu masuk Golkar. Tahun 1987, saya ditawari, oleh Pak Sudharmono, Pak Alamsjah, Pak ini, Pak itu, Jenderal ini, Jenderal itu. Lima jenderal, lima menteri mengundang saya untuk berdialog. Saya dilobi untuk masuk Golkar. Tapi saya enggak mau.
Kenapa?
Makanya, saya katakan. Golkar dulu enggak seperti sekarang. Dulu tidak proporsionalah. Kehidupan beragama tidak diterapkan. Dulu, orang Islamofobi. Jangankan salat, ngucapin asalamualaikum saja dicurigai. Kalau sekarang kan tidak. Semua orang sekarang berbondong-bondong salat, berbondong-bondong pergi haji. Semua menyuarakan syiar Islam. Makanya, sekarang begitu diajak masuk Golkar, saya mau. Cuma diundang per telepon saya mau. Karena apa? Karena saya melihat sendiri, kok, Golkar ini sekarang jadi cantik? Kok, makin Islami, makin progresif, makin profesional. Kita harus akui bahwa Golkar berusaha mengatasi kesenjangan. Misalnya, dengan proyek kemitraan pengusaha kecil dan pengusaha kuat, ada lagi IDT, ada Orang Tua Asuh. Usaha-usaha untuk mengangkat kaum miskin juga dilakukan melalui pembuatan UU. Walaupun di sana sini terjadi penyelewengan, kebocoran, dan berbagai kekurangan lainnya, ya, yang namanya membangun kan step by step. Tapi, mari kita lihat itikad baik Golkar untuk membenahi itu semua.
Jadi, Anda masuk ke Golkar bukan karena popularitas Anda menurun, sehingga Anda harus mencari "pentas" baru?
Boleh orang menilai saya apa saja. Cuma, kenyataan nanti yang bisa menjawab.
Juga bukan karena dulu Anda mengalami kesulitan akibat tidak mendukung Golkar?
Sulit apa? Selama saya netral, saya dapat segala macam, kok. Saya ada akses ke mana-mana. Jadi, kesulitan apa?
Misalnya, konser Anda dilarang...
Siapa bilang? Pertunjukan saya selalu spektakuler, kok, seperti "Semarak Dangdut", "Kantata Takwa", Assalamualaikum-nya Yayasan Hira. Itu semuanya sebelum saya masuk Golkar. Waktu acara yang diadakan Yayasan Hira di Senayan, konser saya dihadiri 500 ribu penonton. "Semarak Dang Dut" di Ancol, 300 ribu penonton. Di teve mana saja, saya bisa masuk. Itu semua sebelum masuk Golkar. Anda kan tahu itu.
Anda ditelepon seseorang untuk masuk ke Golkar, 45 menit kemudian Anda memutuskan bersedia. Kok, cepat sekali?
Itu kan waktu saya menjawab telepon. Tapi, proses untuk memutuskan itu kan 10 tahun.
Kalau keliling untuk acara Golkar, Anda pakai pesawat khusus?
Kadang-kadang pakai, kadang-kadang pakai pesawat umum.
Itu biaya Anda sendiri atau dari Golkar?
Dari DPP Golkar.
Anda tidak merasa bahwa Anda hanya dipakai sebagai alat pendongkrak suara saja oleh Golkar?
Lo, kalau saya hanya dipakai sebagai alat, barangkali saya tidak dipasang di nomor jadi di Jakarta. Tapi kan sekarang nama saya di nomor jadi. Artinya, saya kan diminta untuk berpartisipasi dalam pembangunan ini secara konkret, formal, dan konstitusional, yaitu di DPR.
Dalam politik, kan bisa saja walau di nomor jadi, tapi saat pengangkatan Anda digeser?
Oh, kalau itu yang terjadi, ya saya pamit, mendingan saya netral saja.
Bila jadi anggota DPR, Anda akan meninggalkan musik?
Tidak. Sejak awal karir saya, yang namanya musik, agama, dan politik itu menyatu. Kalau Anda dengar lagu-lagu saya, di situ kan ada masalah agama, ada politik. Itu memang sudah naluri Rhoma Irama. Agama, musik, dan politik itu sudah seperti jiwa saya, menyatu. Coba Anda dengar lagu saya tahun 70-an, seperti 175 juta
(135 Juta - webmaster) itu. Kan lagu itu memiliki warna kebangsaan yang sangat kental. Jadi, bukan berarti baru sekarang saya concern terhadap negara. Dari dulu Rhoma sudah begitu, kok.
|