|
Menimbang Dangdut, Suami yang KejamHarian Kompas, 26 November 1997 SUNGGUH kau suaaaaami yang keeejam/ Yang Suara gitar, kendang dan perkusi lain lantas berulang kompak, patah-patah dan terseok-seok, disambung dayuan seruling lantas dijelujuri oleh vokal meninggi pada reffrain ... Jeriiit tangisku tiada kau hiraukan...Bintang dangdut Evie Tamala melantunkan Kejam itu, lagu Rhoma Irama yang pernah dikondangkan Elvie Sukaesih, di Pondok Aren, Tangerang, Jawa Barat, Minggu (23/11). Pergelaran di areal sekitar 1,5 kali lapangan sepak bola dan bertiket rata-rata Rp 3.000 ini diselenggarakan Komando Rayon, Militer setempat. Mendengar itu kembali tersadar, mungkin tak sepenuhnya benar bahwa dangdut hanya menyuarakan aspirasi kelas bawah. Yang mulia para penggemar jazz, klasik, dan sejenisnya, harap diketahui lagu tersebut sudah pernah sangat populer pada pertengahan tahun 70-an. Artinya sudah 15 tahun lebih sebelum para perempuan kelas menengah ke atas di kota-kota kian disadarkan akan tuntutan pemerdekaan istri, sebelum kemudian muncul ekofeminisme sebagai "tandingan" feminisme, sebelum muncul kasak-kusuk di antara ekofeminis bahwa acara Buah Bibir di televisi adalah agenda yang sistematis dan halus dari "isme" yang memicu tuntutan pemerdekaan istri. *** O ya, catatan ringkas ini tidak sedang mempersoalkan ekofeminisme versus feminisme, tapi dangdut. Bahwa persoalan yang kelak mengemuka di Tanah Air itu sudah jauh hari diangkat oleh dangdut. Itu baru dari segi syairnya. Siapa tahu kelak cita rasa musikal kelas menengah ke atas juga pada dangdut, atau setidaknya pada musik yang dieksplorasi dari spirit dangdut. "Tidak usah nanti, sekarang ini jujur sajalah. Kelas menengah di kafe-kafe itu juga senang kok kalau diberi sajian dangdut, yang dekat dengan riwayat kita, dengan tradisi India dan Timur Tengah. Sama saja sekarang 'kan film India juga ditayangkan stasiun televisi yang sebelumnya antiIndia," kata Dimas Wahab, Ketua Umum Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, Selasa (25/11). Menurut mantan pemain band itu, dangdut hanya kalah dengan lagu-lagu pop dari segi jumlah penjualan kaset. Lagu pop mendiang Nike Ardila misalnya terjual dua juta copies lebih. Tapi dangdut mudah dipastikan diterima oleh lebih banyak orang. Ini bisa dilihat dari jumlah penonton maupun pendengar radio pemutar dangdut. "Memang lagu yang digemari banyak orang, belum tentu lagu yang kasetnya laris," kata penyayi Dewi Yull mengakui hal itu. Dimas menunjuk harga kaset Rp 8.000, meski lebih murah ketimbang kaset asing yang bisa sampai Rp 12.000, masih dianggap mahal. Di Pondok Aren itu juga tak sedikit penonton yang hanya berkerumun di luar arena. "Karcisnya kemahalan," kata seorang warga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tentang harga Rp 3.000. *** KALAU sebuah stasiun televisi swasta yang sebelumnya tak menayangkan film India tapi kini pun ber-India ria, juga kembali mempertimbangkan dangdut, barangkali dampaknya positif. Siapa tahu tuntutan stasiun itu untuk mengemas dangdut pada selera penontonnya, turut merangsang secara sinergis tuntutan kemasan pada kalangan pemusik dangdut itu sendiri. Barangkali dangdut yang kian dieksplorasi kemasannya itu akan kian luas pula peminatnya. Pada masa itu tidak hanya produsen obat panu yang merasa pas menaruh iklan untuk program dangdut, dan penyiar-penyiar RCTI bisa menjadi bintang iklannya. Salam. (H Sujiwo Tejo) |
Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.comments powered by DisqusWebsite ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn. |