|
Rhoma Irama, di Kubu Baru ParpolHarian Banjarmasin Post, 21 September 1996 Oleh M Syarbani Haira Superstar, Raden Haji Rhoma Irama lagi-lagi membuat kejutan. Raja dangdut asal Tasik itu, kini resmi terjun ke politik praktis dan caleg DPR-RI dari Golkar. Keterlibatannya ke dunia politik sebetulnya bukan hal baru. Tahun 1977 dan tahun 1982 ia jadi jurkam PPP, yang kala itu masih berlambang kabah. Kontan saja masuknya pimpinan "The Voice of Moslem" Soneta ke partai berlambang beringin itu menimbulkan komentar yang beragam. Rusydi Hamka, Ketua PPP DKI menilai Rhoma "kutu loncat", tak punya pendirian. "Sebagai muslim semestinya ia istiqomah, konsisten," ucap anak ulama besar, Prof Hamka ini. Tetapi pimpinan tertinggi partai berlambang bintang, Buya Ismail sama sekali tak peduli tentang "hijrah" nya Rhoma ke Golkar. Anak kampung Metareum, Aceh, itu bahkan optimis partainya bisa naik sampai 50 persen (Pemilu 1992 PPP dapat 61 dari 400 kursi). Pengamat politik Afan Gaffar dari Universitas Gajah Mada melihat pindahnya Rhoma sebagai sesuatu yang logis, kalau politik dikaitkan dengan vested interest. "Rhoma mungkin punya kepentingan pribadi," ungkap Afan. Misalnya soal kepentingan umat Islam Indonesia, di mana hubungan Islam dengan pemerintah di negeri ini begitu mesra, maka sikap politik si "Satria Bergitar" ini pun ikut berubah. Rhoma sendiri dalam penjelasannya di media massa, cetak atau elektronik, begini: Menurut dia, sejak diterapkan asal tunggal, saat ini posisi PPP sama dalam perjuangan aspirasi. Bedanya hanya penekanan perjuangan. Golkar bukan hanya lebih concern dalam perjuangan umat dan jelas orientasinya dalam pelaksanaan pembangunan tetapi juga lebih aspiratif dan segala karyanya. Simbol Fenomena Rhoma adalah suatu yang sangat menarik ditelusuri. Ia tak sekadar pimpinan sebuah perkumpulan musik sekaliber Soneta, tetapi telah menimbulkan citra diri yang khas dan unik. Bagi anak muda ia bahkan jadi simbol kebangkitan. Ia telah jadi agent of modernization, lambang perjuangan, pembela keadilan. Di kalangan umat ia bahkan muncul sebagai dai gaya baru. Rhoma memang muncul dengan gagasan segar, brilian meski kadang rada kontroversial. Itu sebabnya saat orang belum begitu peduli terhadapnya, pakar sosiologi politik Amerika, William H Frederick, pernah melakukan studi khusus tentang Rhoma. Melalui karya berjudul Rhoma Irama and the Dangdut Style; Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture itu Frederick menyimpulkan, dangdutnya Rhoma identik dengan tumbuhnya kebangkitan Islam di Indonesia. Meski kesimpulan Frederick tak seutuhnya diterima oleh banyak kalangan, ia memang selalu tegar dengan pendiriannya. Melalui musiknya, filmnya, Rhoma begitu antusias dalam menegakkan amar makruf nahi munkar, sebuah motto yang memang jadi simbol mujahid Islam di bumi ini. Upaya itu dilakukan seutuhnya hingga kelompok Soneta , diproklamasikan sebagai kelompok the sound of moslem (the voice of moslem), sebuah simbol yang sangat berat untuk diemban bagi seniman semacam Rhoma dan kelompoknya. Kenyataannya, Rhoma konsisten dengan simbol itu. Hingga syair lagunya selalu bermuara pada nafas amar makruf nahi munkar, meski ceritanya bertutur tentang cinta. Demikian juga dengan film yang diproduksinya. Berhaji Upayanya sebagai pejuang muslim dilakukannya secara total. Untuk itu belajar agama, menuntut ilmu, termasuk agenda kegiatan "wajib" bagi anggota kelompok Soneta. Kelompok ini selain rutin memahami ilmu agama, kewajiban agama pun dilakukan dengan baik. Kini semua kru Soneta telah melaksanakan rukun Islam kelima: berhaji. Belakangan personil Rhoma pun bergabung dengan berbagai tokoh Islam di Indonesia. Melalui Yayasan Hira, Rhoma menyatu dengan tokoh seperti Zainuddin MZ (dai sejuta umat), Setiawan Djodi (seniman/pemusik dan pengusaha) serta Gus Dur (Ketua PBNU). Lewat karya seninya, kritik Rhoma tergolong pedas dan vulgar. Ia mengritik kebiasaan rakyat yang suka berjudi, pejabat korupsi, orang yang berbuat maksiat, bahkan pejabat yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia. Kritik Rhoma memang serba terbuka, transparan dan tanpa basi-basi. Itulah yang dinilai oleh banyak orang terkesan vulgar. Rhoma dianggap bagai "nabi" di zamannya. Ia hadir dengan membawa pesan kebajikan dan sarat dengan moral. Keterlibatannya dalam Golkar nanti --yang katanya akan berjuang di legislatif pun dalam frame yang sama-- ingin memperjuangkan aspirasi rakyat (umat khususnya) di negeri ini, dalam rangka tegaknya amar makruf nahi munkar. Sesuatu yang memang selama jadi obsesinya. Sebagai manusia, Rhoma pun tak lepas dari kekurangan seperti yang menerpa manusia umumnya. Antara tahun 1984-1985, ia sempat "tergelincir". Diam-diam ia mengawini mitranya dalam film, Ricca Rahim. Pasangan itu, kini resmi jadi istrinya, sementara istri pertamanya, Hajah Veronica (Siti Masyitoh) sama seperti perempuan lain tak mau dimadu. Keduanya bercerai, dengan tiga orang anak. Kejadian ini menambah kontroversinya. Pamor Bagi PPP "hengkang" nya Rhoma --meski dalam dua pemilu bersikap netral-- ke Golkar jelas berpengaruh. Walau pemilih di Indonesia relatif masih tradisional, namun eksistensi seorang superstar semacam Rhoma sangat dominan. Lebih-lebih penggemarnya terdiri atas berbagai lapisan. Minus kaum intelektual, Golkar sangat diuntungkan dengan kehadiran "raja dangdut" tersebut. Meski estimasi sementara golput pada pemilu nanti makin membengkak, paling tidak Golkar tetap bertahan sebagai the ruling party. Dengan demikian Golkar ini tetap menjadi pengambil keputusan di republik ini sampai abad 21. Tentang kekhawatiran sementara orang yang menyebut pamor sang superstar akan merosot rasanya adalah sesuatu yang amat tak argumentatif. Kasus kawin-cerai yang sebetulnya amat vital, ternyata hanya menimbulkan efek yang bersifat kasuistik. Apalagi ini hanya urusan politik, yang pindah wadah dianggap sesuatu yang lumrah. Pertanyaan Dalam era globalisasi ini, ketika rumus Daniel Bell tentang the end of ideology (berakhirnya ideologi) berlaku maka hal-hal yang bersifat sosial politik akan longgar. Orang bisa bebas keluar masuk parpol, termasuk untuk golput. Fenomena negara superpower (Amerika) sebagai contoh sederhana, orang gampang berpindah-pindah dari Republik ke Demokrat atau sebaliknya. Tak ada yang gundah. Meski begitu masuknya Rhoma ke institusi politik secara formal itu patut dipertanyakan. Jika ia bermaksud untuk memperjuangkan umat di negeri ini, toh tak harus melalui legislatif. Dengan kiprahnya selama ini ia justru lebih leluasa. Ia boleh saja mendukung Golkar, tanpa harus jadi caleg, apalagi ke legislatif. Dengan begitu hubungannya dengan semua orsospol akan tetap mesra, pamornya akan tetap langgeng. Tanpa Rhoma hubungan umat dan pemerintah secara alami akan tetap mesra, sesuai tuntutan zaman. Apapun alasannya Rhoma kini berada di satu kotak. Tak jelas, apakah ia punya interes lain, seperti prediksi Afan. Atau hanya sekadar mengubah rasa atau penawaran lainnya. Ini hanya Rhoma yang tahu. Sesuai pengakuannya, bergabung ke Golkar adalah untuk memperluas langkah dalam rangka kemaslahatan umat. Di sini ia hadir sebagai musikus dan mubalig. Persoalan sekarang adalah di tengah hegemoni Golkar seperti sekarang, mampukan ia melakukan terobosan. Ini tentu "PR" buat Rhoma Irama di legislatif nanti. (Drs M Syarbani Haira, peminat masalah politik tinggal di Banjarmasin) |
Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.comments powered by DisqusWebsite ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn. |