Ahmad Abdul Haq


Montir Mesin Tik

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Selasa, 10 April 2007 12:00 WIBMontir Mesin Tik

kick andy

Saya malu punya ayah tukang betulin mesin tik. Karena itu saya paling benci kalau ada yang bertanya apa pekerjaan orangtua saya. Kalau bisa, saya mencoba menghindar untuk menjawab. Jika terdesak saya bilang ayah saya polisi. Kadang saya menyesal lahir sebagai anak seorang tukang servis mesin tik. Apalagi kalau kawan-kawan sekolah saya mulai saling membanggakan profesi ayah mereka. Apa yang dibanggakan dari seorang montir mesin tik? Pekerjaan yang tidak membutuhkan kecakapan istimewa. Modalnya juga cuma peralatan obeng, tang, solder, dan cat semprot. Tubuhnya yang kurus dan ringkih, berbalut kemeja sederhana lengan pendek, dengan tas kulit kumal di bahunya, sungguh jauh dari sosok ayah yang ideal.

Tapi, di luar profesinya, ayah sangat humoris. Tiada hari tanpa tawa. Bahkan kepahitan hidup pun ditertawakannya. Di mana ayah berada, suasana selalu ceria. Dia suka betul bercerita. Kebanyakan cerita-cerita lucu. Entah dari mana dia mendapatkan bahan lelucon yang tak habis-habisnya. Saya hidup dalam kontradiksi itu. Dari cerita ayah, dulu dia teknisi di perusahaan perikanan. Hidup layak. Gaji cukup. Tetapi sifatnya yang terbuka, riang, dan pandai dansa membuat ibu cemburu. Ibu berasal dari keluarga yang berpendidikan baik.

Ketika mereka menikah, ibu harus rela mengorbankan kehidupannya dan masuk dalam kehidupan ayah yang pendidikannya kurang tinggi. Maka terjadi benturan-benturan. Ibu yang merasa sudah berkorban, sangat cemburu melihat ayah selalu dikerumuni wanita. Sifatnya yang periang, terbuka, dan pandai berdansa waktu itu membuat ayah sangat populer. Akibat cemburu, ibu mulai membatasi ruang gerak ayah. Bahkan sampai kepada pekerjaan. Akhirnya karir ayah berantakan. Di hari tua ibu menyesali sifatnya. Tapi ayah tidak terlalu mempersoalkan. Dia tetap menikmati hidup. Bekerja sebagai montir mesin tik tidak membuat martabatnya jatuh dan keceriaannya pupus.

Sampai suatu ketika, penyakit mulai menggerogoti tubuhnya. Fisiknya tak mampu lagi menopang semangatnya. Dia lebih banyak tiduran ketimbang bekerja. Sesekali, dengan sisa-sisa tenaga, dia memaksa bekerja. Suatu hari ayah mengalami kesulitan. Saya berniat membantu tapi dihardik. Dia meminta saya tidak menyentuh satu pun mesin tik yang ada. “Tugasmu sekolah. Konsentrasi pada pelajaran,“ ujarnya dengan mata sedikit melotot. Sungguh saya tidak mengerti. Harusnya dia berterima kasih. Ayah akhirnya meninggal. Dia kalah oleh penyakit dan juga teknologi. Menjelang akhir hayatnya, ada beberapa mesin tik elektrik yang tak dia sentuh. Masa transisi mesin tik manual ke elektrik adalah masa transisi kehancuran ayah (Saya tidak bisa membayangkan bagaimana gundahnya ayah jika dia melihat mesin tik saat ini sudah berkembang menjadi teknologi komputer yang super canggih).

Kini, 30 tahun setelah ayah tiada, saya baru menyadari banyak sekali nilai yang dia tanamkan. Nilai yang paling kuat adalah nikmati hidupmu. Hampir dalam setiap kesusahan, ayah selalu berusaha melihat sisi positifnya. “Hidup ini indah. Jangan sia-siakan,“ begitu nasihatnya berkali-kali. Pantang mengeluh. Itu nilai lain yang dia tekankan.

Apa pun pekerjaanmu, kerjakan dengan hati. Jangan mengeluh dan mencerca perusahaan tempatmu bekerja, tapi tetap menerima gaji setiap bulan. Setelah dewasa, saya semakin menyadari bahwa pelajaran hidup dan nilai-nilai yang baik bisa lahir dari siapa saja. Kisah Buyung yang buta dan ibunya yang papa, yang pernah diangkat di Kick Andy, ternyata mampu menyadarkan kita tentang arti perjuangan pantang menyerah.

Suster Apung di Sulawesi menebar nilai dedikasi tanpa pamrih sementara Pak Sariban di Bandung, orang tua yang diejek gila, mengajarkan kecintaan dan penghargaan pada lingkungan. Mereka hanya tiga dari sekian banyak “orang kecil“ yang pernah tampil di Kick Andy, yang mampu membuka mata dan hati kita.

Saya merasa kehilangan sahabat ketika ayah saya menghembuskan nafas terakhir tepat di pangkuan saya. Banyak ajaran-ajaran yang dia tanamkan yang baru saya sadari nilainya setelah kepergiannya. Rasanya ingin waktu bisa diputar kembali. Agar ayah tahu saya bangga padanya. Agar saya bisa menghargai dia bukan dari profesinya, tapi dari nilai-nilai hidup yang dia ajarkan. Saya bangga pada ayah saya. Walau dia hanya montir mesin tik.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy