Ahmad Abdul Haq


Laskar Pelangi

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Rabu, 10 Oktober 2007 12:00 WIBLaskar Pelangi

kick andyKomentar dari penonton datang bak air bah. Ini salah satu episode Kick Andy yang mendapat respon paling banyak. Rata-rata mengatakan tayangan tersebut memberikan pencerahan bagi hati. Sebagian dari penonton -- bahkan yang belum membaca buku Laskar Pelangi -- mengaku pengalaman Andrea Hirata, sang penulis, sungguh memberi inspirasi bagi hidup mereka. Lebih dramatis lagi, banyak yang sejak menonton episode Laskar Pelangi berjanji untuk mengubah total pandangan hidup mereka. Dari putus asa menjadi penuh harapan. Dari negatif menjadi positif. Dari masa bodoh menjadi perduli pada sesama.

Hati saya melompat-lompat membaca satu demi satu komentar yang masuk. Dada rasanya sesak. Sebegitu hebatkah dampak yang dirasakan penonton?

Padahal Andrea sejak awal tidak meniatkan cerita masa kecilnya itu dibukukan. Anak kampung di sebuah Pulau bernama Belitong ini mulanya hanya ingin menuliskan kisah itu sebatas kenangan atas persahabatan yang tulus dari sepuluh murid SD di sebuah sekolah yang bangunannya nyaris roboh. Juga untuk penghormatannya pada seorang guru yang penuh pengabdian walau 15 tahun tidak digaji.

Cerita tentang sepuluh anak SD yang sekolahnya merangkap kandang ternak ini, dan nyaris ditutup karena jumlah muridnya tidak mencapai sepuluh, ternyata berdampak luar biasa bagi sebagian pembacanya.

Seorang ibu di Bandung mengirim surat agar kisah nyata itu diangkat di Kick Andy. Anak sang ibu, yang terjerat narkoba dan nyaris tidak bisa lolos dari perangkap barang jahanam itu, ternyata mampu bangkit melawan dan sembuh dari ketergantungan setelah membaca Laskar Pelangi.

Moral cerita yang ditangkap dari kisah Laskar Pelangi adalah kemauan keras dari sepuluh anak-anak itu, dan juga guru mereka, untuk tidak takluk oleh keadaan yang mereka hadapi. Dalam keterbatasan -- atap sekolah bocor jika hujan dan papan tulis bolong yang harus ditambal poster Rhoma Irama -- tidak mematahkan semangat belajar mereka.

Jika kemudian tokoh Lintang yang digambarkan cerdas luar biasa harus terhempas, itu lebih karena faktor di luar kemampuan Lintang untuk melawannya. Sepeninggal ayahnya, nelayan miskin yang harus menghidupi 14 anggota keluarga, Lintang terpaksa berhenti sekolah. Kandas di bangku SMP.

Nasib saya seperti Lintang, sekolah kandas di tengah jalan. Setelah kematian ayah, tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Tak ada harta dan uang yang ditinggalkan seorang montir mesin tik. Kakak perempuan dengan keterbatasannya mencoba menampung dan membiayai, walau akhirnya menyerah juga. Saya kandas di tingkat tiga bangku kuliah. Drop out. Tapi masih lumayan dibandingkan nasib Lintang.

Saya mensyukuri hidup karena kini saya menekuni pekerjaan yang saya cintai. Perjalanan untuk menjadi wartawan memang berliku. Tapi ada dua orang yang paling berjasa dalam memberikan pedoman dalam hidup saya.

Pertama, Ibu Ana, guru saya di SD Sang Timur, Malang. Dialah yang membangun rasa percaya diri saya sebagai kanak-kanak yang tumbuh dalam keluarga broken home. Di bawah bimbingannya hampir setiap kwartal saya juara kelas. Dialah sosok yang mampu memahami dan meredam kenakalan saya.

Sampai suatu hari sifat pemberontak saya kambuh. Saya malas sekolah. Hampir setiap minggu bolos. Saya lebih suka main bola dengan anak-anak kampung di pinggir stadion ketimbang ke sekolah.

Suatu hari Ibu Ana ke rumah. Sudah dua hari saya tidak masuk sekolah. Dia mencarter becak untuk mencari alamat saya. Bu Ana meminta agar besok saya masuk. Ada lomba antar-bintang kelas. Dia meminta saya mewakili kelas kami. Saya tidak siap tapi Bu Ana terus mendorong.

Pada harinya saya kalah. Sering bolos membuat banyak pertanyaan tidak mampu saya jawab. Bu Ana tidak marah, juga tidak kecewa. Dia mengatakan tetap bangga pada saya. 'Ibu yakin kelak kamu akan berhasil. Setidaknya dengan bakatmu, kamu bisa jadi penulis,' ujarnya. Waktu itu saya tidak paham. Saya belum punya cita-cita. Tapi pernyataan Bu Ana itu, sekian tahun kemudian, menjadi penentu saat saya menetapkan pilihan karir sebagai wartawan.

Orang kedua yang berjasa 'menggiring' saya menjadi wartawan adalah Pak Bowo, guru bahasa Indonesia saya di STM Jayapura. Dia guru dadakan karena guru bahasa Indonesia mengundurkan diri. Suatu hari diadakan lomba mengarang tingkat SLTA/SMU se-Jayapura. Pada hari terakhir pendaftaran, karena tidak ada wakil STM yang ikut, Pak Bowo meminta saya mendaftar. Karangan harus masuk hari itu juga. Maka sepulang sekolah, dia menemani saya menyiapkan karangan. Bahkan mengurus makan siang saya. Padahal selama ini murid-murid STM mengenalnya sebagai guru yang galak dan "tidak punya hati".

Sore hari, menjelang batas akhir pengumpulan karangan, dengan vespa tua miliknya Pak Bowo mengantarkan sendiri karangan itu ke panitia. Dia sangat bersemangat. Sebelum kami berpisah, saya masih ingat ucapannya, 'Kamu punya bakat menulis. Mungkin kamu lebih cocok jadi wartawan.'

Sejak itu pikiran saya selalu terobsesi untuk menjadi wartawan. Lulus sebagai juara umum dengan nilai terbaik di STM 6 Jakarta, saya berhak atas beasiswa ke IKIP Padang. Tapi saya memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik. Hati saya sudah mantap. Saya ingin jadi wartawan.

Sekian tahun kemudian, beberapa kali saya mencoba mencari Bu Ana. Bahkan dengan bantuan teman di SD dulu. Tapi hasilnya nihil. Begitu juga Pak Bowo. Alamatnya tak terlacak. Saya ingin bertemu mereka. Saya ingin mengucapkan terima kasih. Mereka telah menunjukkan arah bagi karier dan kehidupan saya. Kehidupan yang membuat saya sekarang bahagia. Sangat bahagia.

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy