Ahmad Abdul Haq


Kekuatan Yang Tak Terlihat

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Selasa, 22 Juli 2008 12:00 WIBKekuatan Yang Tak Terlihat

kick andyKEKUATAN YANG TIDAK TERLIHAT Malam begitu pekat. Jarak pandang hanya dua meter. Di tengah kegelapan itu tubuh kami terombang-ambing dalam hempasan gelombang setinggi tiga meter. Badan menggigil kedinginan. Angin kencang menambah parah keadaan. Kulit seperti ditusuk ribuan batang es. Jam di tangan menunjukkan pukul 01.45 dinihari.

Sudah tujuh jam kami terapung tak berdaya dipermainkan gelombang. Semua membisu. Sesekali terlontar keluhan lirih. Air laut yang asin menampar-nampar wajah kami dan mulai terasa perih di mata. Tenggorokan terasa kering. Bibir mulai membiru. ’’Jangan tertidur! Jangan tertidur!’’ Terdengar teriakan yang kehilangan daya. Suara yang dipaksakan. Berganti-ganti, saling mengingatkan.

Hari terasa sangat panjang. Sejak pukul enam sore kami bersembilan sudah terapung-apung di Laut Pasifik, di Teluk Cendrawasih, Papua. Sesekali mata kami saling menatap nanar. Kelelahan dan putus asa. Semua ini terjadi gara-gara kami mengabaikan peringatan nelayan yang meminta kami meninggalkan teluk sebelum pukul lima sore. Lewat dari itu, menurut mereka, gelombang akan membesar dan berbahaya. Kearifan nelayan tradisional kami lawan dengan arogansi.

Peringatan itu kami abaikan. Kami anggap enteng. Saya ingat betul saat itu tahun 1977. Saya duduk di kelas satu STM Negeri Jayapura. Waktu itu murid-murid jurusan mesin menggagas acara pesiar ke Teluk Cendrawasih yang keindahannya dapat kami saksikan melalui puncak Skyland di Ifar Gunung. Ke sanalah kami pergi menggunakan perahu nelayan. Perahu tradisional itu panjangnya sekitar lima meter dengan lebar satu meter. Di kiri dan kanan ada galah penyeimbang yang kami sebut semang-semang.

Di bagian buritan dipasang motor tempel merk Jhonson. Seharian kami menghabiskan waktu di Teluk Cenderawasih yang berpasir putih. Dari pagi sampai sore. Sesuai perjanjian, pemilik perahu hanya bersedia menunggu sampai pukul empat sore. Lebih dari itu, kata mereka, ombak akan membesar dan menghalangi kami untuk kembali ke Pantai Hamadi, di Jayapura, tempat kami berangkat. Ada sekitar empat perahu tradisional yang kami sewa. Menjelang pukul empat, tiga perahu kembali ke daratan Jayapura mengangkut para siswa dan guru. Sementara satu perahu menunggu kami, tujuh murid pria dan dua wanita, yang tetap asyik bermain pasir di pantai yang landai.

Berkali-kali pemilik perahu mengingatkan kami untuk segera meninggalkan teluk, namun berkali-kali kami tidak perduli. Kami hanya tertawa tekekeh-kekeh melihat raut wajah pemilik perahu yang membujuk kami agar segera meninggalkan teluk. Dia khawatir melihat ombak mulai membesar. Lewat jam lima kami akhirnya meninggalkan teluk. Tapi, terlambat. Baru setengah jam mengarungi lautan, ombak yang ditakuti keburu menghadang. Tidak lebih dari sepuluh menit perahu kami dipermainkan ombak yang menggunung.

Upaya untuk menguras air yang masuk ke perahu sia-sia belaka. Perahu lalu tenggelam dan mengapung seperti sabut kelapa. Agar perahu bisa tetap mengapung, semua penumpang melompat ke laut. Kami kemudian bertahan dengan bepegangan pada sisi-sisi perahu. Agar kapal bisa tetap mengapung, motor tempel di belakang perahu terpaksa dilepas dan hilang di telan laut yang membiru. Barang-barang bawaan kami, ransel, sepatu, juga terpaksa direlakan hilang dibawa arus.

Hanya yang sudah kelelahan boleh beristirahat sebentar di atas perahu yang masih terapung. Sebab jika semua memaksa naik perahu, maka perahu akan tenggelam. Pada satu jam pertama kami masih memiliki cukup enerji untuk berteriak jika berpapasan dengan perahu motor nelayan yang lewat. Namun cuaca yang mulai gelap membuat upaya kami sia-sia. Keberadaan kami tidak terlihat walau perahu motor yang melintas cuma sekitar 12 meter dari perahu kami. Belum lagi suara mesin kapal motor yang lewat seakan menelan jeritan kami. Menjelang pagi kami yang kelelahan dan nyaris tertidur dikejutkan deburan ombak yang sangat keras. “Awas karang! Awas karang!’’ Teriakan itu membuat jantung serasa berhenti berdetak.

Kami segera menyadari bahaya sedang menanti dalam jarak yang sangat dekat. Gelombang besar sedang menggiring kami pada bukit berkarang. Dengan sisa-sisa tenaga kami berusaha mendorong perahu ke arah lautan lagi. Jika membiarkan perahu mengikuti arus gelombang ke arah karang, sama dengan bunuh diri. Tak terbayangkan tubuh kami yang tak berdaya itu terhempas di karang yang keras. Saat itu yang terbayang hanya kematian. Setelah berjuang hampir satu jam, kami berhasil mendorong perahu ke arah lautan.

Menjauh dari daratan karang. Ada kelegaan. Tetapi kelelahan semakin parah. Seorang dari kami nyaris putus asa dan membiarkan dirinya hanyut menjauh dari perahu. Sebagian memberi semangat, tetapi lebih banyak yang memarahinya. Dikhawatirkan jika satu dari kami menyerah, akan mempengaruhi semangat yang lain. Menjelang maahari terbit kami melihat daratan putih di kejauhan.

Semangat kami bangkit kembali. Seakan mendapat tenaga cadangan, kami mendorong perahu ke arah pantai. Sekitar pukul 8.00 kami sudah tergeletak di pantai dan tertidur. Jam 12 siang satu per satu terjaga. Letih dan lapar. Kami beruntung terdampar di kebun kelapa penduduk. Kebetulan siang itu sang pemilik sedang datang melihat kebunnya. Maka daging dan air kelapa menjadi sarapan sekaligus makan siang kami saat itu. Sementara di rumah masing-masing orangtua kami sudah bergegas hendak melakukan pencarian bersama polisi.

Sampai saat ini saya selalu mensyukuri peristiwa tersebut. Saya bersukur Tuhan telah memperlihatkan kuasanya yang luar biasa yang menyelamatkan kami malam itu. Sejak itu iman saya semakin kuat dan meyakini bahwa ada kekuasan luar biasa di luar kekuasaan kita. Kekuasaan yang tidak terlihat tetapi terasa. Maka, ketika Kick Andy mengangkat topik ’’Lolos dari Maut’’, saya ingin siapa pun yang menonton episode tersebut menyadari akan kekuasaan yang maha besar itu.

Kekuasaan yang dirasakan Sigit Suciptoyono ketika lolos dari maut saat pesawat Singapore Airline yang ditumpanginya gagal take off dan terbakar di Bandara Taipei, Taiwan. Begitu juga ketika dokter Carolus Yuliana Louis beserta 13 rekannya terapung-apung selama 14 hari di laut Arafura sebelum ditemukan oleh kapal nelayan yang melintas.

Dalam keputusasaan, cuma minum air hujan, mereka tetap yakin akan ada kuasa yang akan menjaga dan menyelamatkan mereka. Itulah yang membuat mereka bisa bertahan sampai akhirnya ditemukan. Bagaimana dengan Amelia, seorang ibu muda, yang menyabung nyawa ketika harus melahirkan pada saat banjir besar melanda desanya di Aceh Tamiang? Bagi sebagian orang melihat kejadian yang dialami Amelia hanya sebatas kebetulan belaka. Seorang wanita, yang hendak melahirkan, dalam kondisi ketuban sudah pecah, terpaksa menunda kelahiran sehari semalam karena banjir.

Namun jika mendengar pernyataan seorang dokter yang juga tampil di Kick Andy saat itu, apa yang dialami Amelia merupakan mukjizat karena di luar nalar ilmu kedokteran. Harusnya Amelia dan bayinya sudah tidak bisa diselamatkan. Karena itu, saya teringat pada jawaban Sigit Suciptoyono ketika saya bertanya apa yang dia yakini menyelamatkannya dari tragedi pesawat yang menewaskan 79 penumpang itu. Menurut Sigit, doa ibunya dan keiklasan dalam hidup yang menyelamatkan dia. Sementara dokter Carolus meyakini doa anak lelaki dan keluarganya adalah faktor utama yang menyelamatkannya. Sedangkan doa suami diyakini Amelia yang membuatnya bisa bernafas sampai detik ini. Kekuatan doa, penyerahan, keiklasan, dan iman merupakan jawaban. Saya percaya di luar kekuatan kita sebagai manusia, ada kekuatan luar biasa yang akan menjaga kita. Kekuatan yang tidak terlihat tetapi terasa.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy