Ahmad Abdul Haq


Bohong

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Senin, 14 Maret 2011 09:53 WIBBohong

Bohong Kejujuran harus terus didengungkan dan diajarkan di rumah, sekolah, dan ruang publik. Sebaliknya kebohongan harus terus-menerus diserukan untuk dihindari dan ditinggalkan. Meskipun kejujuran sangat sulit untuk diajarkan, namun mudah jika diamalkan. Sebaliknya, kebohongan sangat mudah diajarkan dan mudah pula mengamalkannya. Kebohongan tak perlu guru untuk diketahui dan diamalkan, karena bohong merupakan produk pikiran yang tak terjamah hati dengan baik. Inilah kritik terbesar produk pengajaran dan pendidikan kita, yang menempatkan akal dan pikiran sebagai alat untuk mengukur tingkat keberhasilan seseorang.

Kita saksikan bagaimana perilaku masyarakat kita saat ini, termasuk perilaku pemerintah yang disinyalir sedang melakukan praktek kebohongan publik. Kritik para tokoh agama yang mengatakan bahwa pemerintah berbohong memang sejalan dengan lemahnya bukti konkrit dari janji-janji semasa kampanye dulu. Memang tidak enak dicap pembohong, apalagi yang bersuara adalah para penjaga moral bangsa yang mengusung suara kenabian. Pemerintah memang sedang diuji secara publik, apakah cap “bohong” patut mereka sandang atau tidak. Agenda pendidikan publik sedang menguji kebenaran stigma bohong dalam bingkai besar kesadaran masyarakat yang sedang macet karena minimnya keteladanan.

Minimnya keteladanan adalah problem terbesar proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas. Mengajar yang baik sesungguhnya sangat mudah, termasuk dalam mengajarkan kejujuran. Seorang guru hanya perlu memberikan hatinya dalam mengajar, sambil tak bosan memberi contoh dan suri-tauladan yang baik bagi anak didiknya. Inilah masalahnya, keteladanan sering dilupakan karena tak pernah masuk dalam lesson design para guru. Tak percaya? Silahkan cek dan periksa lesson design para guru dalam portofolio yang biasanya sangat kaku dan rigid. Hampir semua indikator keberhasilan sebuah pembelajaran selalu berakhir dengan ukuran kognitif, psikomotorik dan afektif siswa. Tak satupun indikator keberhasilan proses belajar mengajar dalam lesson design mencantumkan capaian guru dalam memberi keteladanan.

Bisakah minimnya keteladanan dalam proses belajar-mengajar di sekolah dapat dikatakan sebagai bentuk kebohongan dalam dunia pendidikan kita? Tergantung darimana kita melihat dan perspektif apa yang kita gunakan. Jika kita memandang titik tekan sistem pendidikan pada input dan output, dapat dipastikan aspek keteladanan yang hilang dalam dunia pendidikan kita bukanlah sebuah kebohongan. Tetapi jika kita adalah penikmat proses pendidikan yang baik dan benar serta berorientasi pada keragaman gaya belajar dan mengajar, maka keteladanan pastilah sesuatu yang inheren dengan proses belajar mengajar. Lantas bagaimana dengan ujian nasional (UN) dan bantuan operasional sekolah (BOS), apakah termasuk juga di antara kebohongan dalam dunia pendidikan kita?

Ujian Nasional konon mengajarkan banyak kebohongan, baik dari aspek kebijakan maupun implementasi. Sudah sering didengungkan bahwa pendidikan kita adalah penganut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang memberikan sekolah keleluasaan dalam mendesain dan mengevaluasi proses belajar dan mengajar. Namun faktanya posisi tawar sekolah selalu kalah dalam urusan penentuan kelulusan siswa dalam evaluasi akhir, terutama dengan model ujian nasional seperti sekarang ini. Dana BOS juga bisa dianggap sebagi kebohongan, terutama jika dilihat dari cara penghitungan per-kepala. Bayangkan, nilai kebutuhan biaya pendidikan anak di Menteng sama dengan kebutuhan anak di Jayapura dan Aceh yang masih minim fasilitas.

Kebohongan lain dari implementasi dana BOS bisa juga ditelusuri dari cara Dinas Pendidikan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota mendata jumlah siswa di sekolah. Pengalaman menarik tentang data siswa diperoleh teman-teman Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang melakukan riset tentang tingkat keberagamaan guru agama dan siswa SMP-SMA se Jabodetabek. Sebulan lebih data coba diperoleh dari kemendiknas, tetapi datanya sangat tak memuaskan. Setelah diverifikasi ke tingkat sekolah, ternyata data dari kemendiknas invalid hingga rata-rata 17%. Alih-alih ingin melihat tingkat keberagamaan guru dan siswa, yang diperoleh di awal malah indikator korupsi karena data siswa yang menjadi sumber penghitungan dana BOS kurang bisa dipertanggungjawabkan. Ini baru di Jabodetabek. Tak bisa dibayangkan bagaimana daerah lain yang minim akses. Padahal validitas data siswa berkorelasi langsung terhadap penyediaan dana BOS yang jumlahnya lebih dari 15 triliun rupiah.

Sekali lagi, jangan-jangan praktek kebohongan yang diindikasikan para pemuka agama terhadap pemerintah saat ini memang berawal dari dunia pendidikan yang juga melakukan praktek kebohongan. Dan jika ini benar, maka perangkap lingkaran setan kebohongan menjadi sangat sulit diputus, apalagi dan terutama jika kebohongan itu dirpoduksi oleh lembaga pendidikan yang seharusnya mengajarkan norma kejujuran dengan keteladanan. Wallahu a’lam bi al-sawab.

Ahmad Baedowi


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy