Ahmad Abdul Haq


Sebuah Refleksi Tentang Saya

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Jumat, 23 Desember 2011 08:38 WIBSebuah Refleksi Tentang Saya

Sebuah Refleksi Tentang Saya Bulan ini usia saya tepat 20 tahun. Tidak terasa, 20 tahun serasa begitu cepat berlalu, dan ada banyak hal yang terjadi, hingga akhirnya sebagian orang mengenal saya sebagai “Iman yang sekarang”. Hingga akhirnya suatu malam, terpikir untuk menulis sedikit refleksi mengenai saya dan siapa saya, dari perspektif saya. Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari tulisan ini.

Tentang Nama
Saya terlahir dengan nama lengkap M. Iman Usman pada tanggal 21 Desember 1991 di Kota Padang. Inisial M di awal nama saya dimaksudkan untuk menyebutkan Muhammad (namun kesalahan pada penulisan paspor, kini saya menuliskannya Muhamad). Nama tipikal untuk anak yang tumbuh dari keluarga yang cukup religius.

Sempat saya tanya pada Ayah dan Ibu (begitu saya memanggil kedua orangtua saya) soal arti dibalik nama saya. Jawaban mereka simple saja, tapi bagi saya nama itu menyiratkan beban tersendiri. Orang tua saya menginginkan saya tumbuh sebagai pemimpin besar dengan karakter yang begitu kuat seperti Nabi Muhammad, dermawan dan berempati seperti sahabat Nabi, Usman bin Affan, dan tetap menjaga keimanan (keyakinan) saya sebagai seorang Muslim hingga akhir hayat.

Sejak kecil saya akrab dipanggil dengan nama tengah saya, Iman. Kadang di keluarga inti, saya dipanggil komeng (plesetan dari nama Iman, yang saya sendiri tidak tahu artinya apa), atau sesekali dipanggil adik (karena saya bungsu dari 6 bersaudara).

Seiring tumbuhnya saya, dan bergaul dengan berbagai kalangan, nama saya pun makin bermacam-macam, fatalnya sekarang teman-teman di kampus saya, kompak menyebut saya ‘alay’. Haha. Kalau ditanya kenapa? Baiknya tanyakan pada mereka seja. Haha (enggan menjawab).

Saat ini saya berkuliah di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia semester 5. Usia saya 20 tahun, dan di sela-sela aktivitas saya berkuliah, sedikit meluangkan waktu berkontribusi di masyarakat dengan memimpin sebuah organisasi non-profit yang bergerak di bidang pemberdayaan pemuda untuk perubahan sosial, Indonesian Future Leaders. Saya menyenangi mengajar dan berkomunikasi dengan orang banyak, yang kini saya salurkan dengan mendirikan, memproduseri, dan menjalankan platform Inspire-Cast. Berhasrat tinggi pada pembangunan masyarakat dan dunia pendidikan, serta bercita-cita menjadi seorang guru dan pembaharu sosial.

Tentang Ayah dan Ibu
Tumbuh dalam keluarga dengan latar religi yang begitu kuat, membuat saya dibesarkan dengan nilai-nilai keislaman. Masih ingat di benak saya setiap hari sepulang sekolah saya harus mengaji bersama Ayah, mempelajari hadist, dll. Tapi satu hal yang paling saya hargai adalah tentang bagaimana orangtua saya tetap memberikan pilihan-pilihan di tangan saya sendiri, bagaimana mereka tetap memberikan ruang bagi saya untuk menjadi muslim yang moderat, bebas mengekspresikan diri (meskipun ada batas-batasan tertentu yang tetap tidak boleh dilanggar), mengungkapkan pendapat, dll. Ruang macam inilah yang saya pandang memberikan kesempatan bagi saya untuk jadi seperti sekarang.

Ayah dan Ibu tidak pernah memaksakan kehendaknya, tetapi selalu melibatkan saya dalam setiap keputusan yang terkait dengan saya secara langsung. Mereka tidak pernah memaksakan saya untuk menjadi juara kelas, harus les ini atau les itu, ikut kegiatan macam-macam, melarang bermain, dll. Sesekali memang mereka memberikan tuntunan, namun pada akhirnya pilihan ada di tangan saya.

Kebebasan dan demokrasi itu tidak membuat saya kemudian justru jadi “liar”, tapi sebaliknya, justru merasa bertanggungjawab atas setiap pilihan yang saya ambil. Ketika saya melakukan kesalahan, Ayah hanya bilang “kamu yang pilih itu kan?”.

Kedua orang tua saya memang tidak berlatar belakang pendidikan yang kuat. Ayah hanyalah lulusan Madrasah (setingkat SLTA), dan Ibu juga hanyalah lulusan SMA. Kami bukan keluarga yang hidup berlimpah ruah. Ayah hanya seorang pedagang yang mengandalkan perekonomian keluarga dengan menjual minyak tanah ke warung-warung, dan Ibu hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga. Tapi jangan salah, wawasan mereka bisa diadu dengan orang-orang yang katanya sarjana.

Mereka mungkin tidak paham bahasa asing, tapi mereka ingin anaknya bisa bercakap dengan “bule” dengan mengesankan. Mereka mungkin tidak gemar berlama-lama dengan buku, tapi mereka ingin anaknya tidak pernah kekurangan buku untuk dibaca. Mereka mungkin tidak pernah mengecap bangku kuliah, tapi mereka ingin anaknya kuliah setinggi-tingginya.

Saya anak bungsu dari 6 bersaudara, dan satu-satunya anak laki-laki di keluarga. Meskipun mungkin mereka tidak pernah mengatakannya, namun saya yakin bahwa saya diharapkan jadi tumpuan di keluarga ini. Diantara saudara-saudara saya yang lain, hanya saya yang bisa mengenyam bangku sarjana, dan insya Allah segera menjadi sarjana pertama di keluarga inti saya.

Dan saya masih ingin menjadi master pertama di keluarga saya, doktor pertama, orang yang bisa mengubah dan meningkatkan derajat keluarga kami, bukan hanya dengan pencapaian akademis saya, tapi juga karakter dan kontribusi saya untuk masyarakat.?

Ketika ditanya, mana aktivitas yang paling menggetarkan. Sulit sekali menjawabnya. Entahlah, bagi saya setiap aktivitas yang mereka lakukan untuk saya, agar saya berhasil, begitu besar artinya. Sehingga sedih sekali ketika melihat keduanya menangis, karena kenakalan saya atau ketika saya justru mengecewakan mereka.

Tentang Kejadian yang Mengubah Diri  
Bagi saya, ada banyak momentum dalam hidup saya yang mengambil andil besar dalam membuat saya menjadi Iman yang sekarang. Tapi diantara itu semua, ada beberapa hal yang menjadi pijakan penting.

tentang diri

Pertama, ketika usia saya 10 tahun. Pertama kalinya saya akrab dengan aktivitas sosial (yang saat itu tak pernah saya sadari). Saya tak punya kedekatan personal dengan isu sosial tertentu, dan mungkin tidak menjadi korban langsung dari berbagai ketimpangan yang saat itu sudah ada di sekitar saya. Sehingga kadang, ketika orang bertanya bagaimana awal mulanya saya terlibat, agak sulit juga menjelaskannya. Namun, saya sering kali menyebutnya dengan “panggilan jiwa”. Saat itu saya melihat teman-teman sebaya saya, tetangga saya, tidak bisa memiliki buku selain buku pelajaran mereka di sekolah, fasilitas perpustakaan di sekolah juga tidak begitu mumpuni. Menyadari hal itu, saya tergerak membuka sebuah warung kecil, tidak cukup besar, luasnya hanya 2×3 meter, tapi cukuplah untuk menampung 100-an buku dan majalah saya waktu itu.

Perlahan saya coba kumpulkan buku teman-teman yang lain, dan menjadikan warung itu sebagai pustaka bersama. Tetangga bisa meminjam buku di sana, dan mengembalikannya kembali jika usai membaca. Lalu, saya tergerak untuk mengajar dan membantu sekitar 5-7 orang tetangga saya yang tidak pernah punya akses untuk mengikuti kursus.

Saya mengajarkan mereka sedikit mengenai bahasa Inggris yang sehari-hari saya dapatkan di kursus, membantu mereka mengerjakan PR matematika (ketika saat itu saya masih sangat menyenangi dan bisa dibilang mahir pada bidang ini), dll.

Memang aksinya tidak berkelanjutan, dan hanya mampu bertahan sekitar 2 tahun. Namun itu jadi pijakan pertama saya, yang membuka mata saya bahwa masalah sosial itu nyata dan ada di sekitar kita. Siapapun kita, apapun latar belakang kita, kita bisa melakukan sesuatu, dari hal yang paling kecil.

Kedua, ketika saya SMP, saya mulai menyenangi dunia jurnalistik. Blog pribadi dan tabloid remaja menjadi wadah menyalurkan hasrat saya di bidang tulis menulis. Apapun saya tulis dan saya bagikan kepada teman-teman, sampai akhirnya hal ini menginspirasikan saya untuk mendirikan tabloid sekolah pertama di sekolah saya waktu itu. Masa SMP juga jadi sarana pengembangan diri dan eksplorasi bakat, dan minat.

Kegilaan saya pada Harry Potter, membawa saya mulai mengelola sejumlah forum diskusi online pecinta Harry Potter, mengakrabkan saya dengan media jejaring sosial, hingga akhirnya menambah pundi-pundi di kantong saya, dengan membuka online shop. Masa ini juga jadi masa-masa awal saya merintis karir sebagai public speaker, mulai menjadi MC dan sharing di berbagai tempat. Mulai dari MC pernikahan adat, hingga acara-acara yang dihadiri pejabat daerah kala itu. Masa ini membawa saya kepada proses eksplorasi bakat dan minat, menyelami dunia yang berbeda, menikmati proses belajar.

Ketiga, ketika saya bergabung di Forum Anak Daerah Sumatera Barat, hingga akhirnya saya didaulat sebagai Sekretaris Umum. Sebuah forum yang terdiri atas anak-anak dari berbagai daerah di Sumatera Barat, yang berkomitmen untuk memperjuangkan dan mensosialisasikan hak-hak anak. Bertemu dengan aktivis anak, penggerak sosial, sedikit banyak menarik saya ke dalam dunia ini. Menggali empati saya untuk benar-benar total dalam apa yang kita cintai, dan apa yang ingin kita perjuangkan.

Dari Forum Anak, saya juga mulai aktif mengembangkan komunitas sendiri, aktif di kegiatan-kegiatan pemuda, hingga akhirnya dianugerahi penghargaan Pemimpin Muda Indonesia 2008 oleh Bapak Presiden. Kala itu pula saya berkenalan dengan Bang Muharman (saya biasanya memanggil bang Imoe), orang yang saya anggap begitu besar peranannya dalam membawa dan membimbing saya dalam mengembangkan berbagai gerakan sosial. Orang yang selalu meyakinkan bahwa saya bisa, dan mengajarkan saya untuk berani bermimpi dan menjaga mimpi saya untuk terus hidup.

Keempat, ketika pertama kalinya kaki saya menginjakkan negeri yang sama sekali asing buat saya, mengikuti program pertukaran pelajar AFS ke Jepang. Tidak lama, bahkan cukup singkat, saya di sana. Tapi momen inilah yang membuka mata saya betapa pentingnya untuk keluar dari zona nyaman saya, membuka diri terhadap perbedaan, dan hal-hal baru dalam hidup. Jepang membuat saya semakin bersemangat untuk menjelajahi dunia, dan melihat peta dunia yang terpampang di dinding kamar, bukan sebagai teritori yang tak dapat ditembus, tapi justru untuk dijelajahi. Membuat saya bisa mengklarifiikasi pandangan dan sinisme orang terhadap Indonesia, menunjukkan kompetensi global pemuda Indonesia, dan melihat Indonesia dari sudut pandang yang berbeda.

Hal ini pula yang membuat saya mulai berani dan percaya diri untuk berjejaring dengan teman-teman dari berbagai negara, dan membawa saya kini menjelajah ke belasan negara. Langkah awal menuju impian masa kecil saya, mengelilingi dunia. Semakin banyak negara yang saya jelajahi, semakin besar kecintaan saya pada negeri ini. Kecintaan yang bukan hanya berlandaskan chauvinism belaka.

Kelima, saat saya mendirikan Indonesian Future Leaders bersama 6 teman saya di tahun 2009. Saat itu tak pernah terpikir IFL akan jadi seperti sekarang. Semuanya hanya berawal dari kegelisahan kolektif, yang memicu aksi kecil. Namun aksi kecil yang dilakukan oleh segelintir orang inilah yang kemudian memandu kami kepada aksi yang lebih besar, dengan dampak yang lebih besar. Entahlah, saya berharap IFL akan bisa bertahan sepanjang masa.

Membangun Indonesia dengan sumberdaya manusianya, karena kekayaan terbesar yang dimiliki bangsa ini bukanlah minyak, bukanlah emas, bukanlah hutan berlimpah (seperti yang diajarkan pada kita sewaktu kecil), tapi sumberdaya terbesar adalah orang-orang Indonesia sendiri. Menjadikan sumberdaya Indonesia yang tangguh, kesitulah IFL bermuara.

Saya percaya perjalanan saya masih panjang, dan masih ada hal-hal lain yang menunggu saya, menambah pijakan saya hingga akhirnya sampai ke akhir perjalanan ini (kematian).

Tentang yang Dihargai
Perjalanan hidup saya jalani sepanjang 20 tahun saya di dunia ini membawa saya pada titik dimana saya merasa bersyukur dengan segala hal yang diberikan Tuhan kepada saya.

Saya menghargai diri saya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakan seorang Iman yang tidak pernah berhenti menyerah, bersemangat, dan mau belajar. Saya percaya bahwa saya dilahirkan ke dunia ini, dengan tujuan. Menjadi solusi, dan bukannya jadi masalah. Meninggalkan jejak pengamalan untuk anak, cucu, dan orang-orang di sekitar saya.

Saya menghargai keluarga atas dedikasi tanpa pamrih, komitmen tanpa putus, dan rasa cinta tak terbendung untuk menjadikan saya menjadi Iman yang sekarang. Tanpa kedua orang tua saya, saya tidak pernah hadir di dunia ini, tidak akan bisa mengecap pendidikan yang berkualitas, di saat perekonomian kami sendiri sedang sulit saat itu. Berkat keduanya, saya tumbuh dengan karakter yang tak mau menyerah, dan percaya bahwa selalu ada kemudahan di setiap kesulitan.

Saya menghargai kakak-kakak saya, yang meskipun jarak usianya cukup jauh dengan saya, sehingga tak banyak waktu yang benar-benar saya habiskan dengan mereka semua, namun saya percaya bahwa kasih sayang mereka tak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Mereka semua berkoban, berusaha secara kolektif, membentuk saya seperti sekarang.

Saya menghargai orang-orang di sekitar saya atas pelajaran hidup yang begitu luar biasa. Mengajarkan saya tentang berbagai hal, menunjukkan inspirasi yang menggugah saya untuk beraksi. Air mata kepedihan masyarakatlah yang menjadi pecut bagi saya untuk tidak pernah berhenti bergerak. Tawa dan senyuman lepas mereka yang jadi pengobat luka di saat-saat saya merasa letih dan lelah melakukan ini semua.

Tak mampu saya menyebut orang-orang yang telah berjasa dalam kehidupan saya, tak putus kata menguraikan nama dan pengabdian yang mereka lakukan. Hanya rasa terima kasih, terima kasih.

Saya menghargai Indonesia, negeri yang tidak pernah berubah rasa cinta saya kepadanya. Saat sulit maupun saat bahagia, rasa bangga menjadi orang Indonesia. Negeri yang selalu memacu saya untuk bergerak, menginspirasi dan mengabdi lewat karya nyata. Negeri dimana masa depan dan impian saya berlabuh, dan ditautkan kepadanya.

Saya menghargai kehidupan ini, entah bagaimana caranya, tapi.. terima kasih Tuhan untuk kehidupan yang saya jalani ini. Tak pernah terbesit pikiran untuk menyia-nyiakan anugerah ini.

Tentang Simbol Diri
Sulit sekali mencari simbolisasi diri saya, karena kompleksitas imaji akan diri saya sendiri. Tapi jika harus memilih, mungkin air adalah elemen bumi yang paling bisa menggambarkan saya. Hidup saya mengalir, tapi bukan berarti mengalir tanpa tujuan dan rencana, air kehidupan ini akan bermuara kepada mimpi besar dan tujuan saya berada di bumi ini. Air mengalir dari atas ke bawah, yang selalu mengingatkan saya untuk tetap melihat ke bawah meskipun posisi atau status sosial saya sedikit lebih tinggi.

Air kadang bisa begitu menenangkan, tapi juga bisa menghanyutkan. Kadang semangat saya begitu menenangkan bagi orang-orang di sekeliling, tapi juga bisa menjadi meledak-ledak tak terbendung, utamanya ketika saya diremehkan, semakin besar keinginan untuk membuktikannya.

Air yang menjadi pelepas dahaga, menyiratkan bagaimana saya ingin hidup menjadi berkah untuk orang lain. Tapi saya tidak pernah tahu hidup saya di masa depan akan seperti apa, entah menjadi air yang menyenangkan orang lain dengan segala kelebihannya, atau (mungkin saja) justru jadi cobaan bagi orang lain. Tapi selama saya bisa memilih dan berencana, saya ingin jadi air yang menyenangkan, menjadi berkah, bukan kutukan.

Tentang Imajinasi Indonesia 2030 
Saya selalu punya bayangan besar untuk Indonesia. Entahlah mungkin karena kecintaan berlebih saya pada negeri dimana saya lahir, dan negeri dimana saya ingin akhir perjalanan saya juga berakhir di sini. Bukan kecintaan semu, tapi kecintaan tanpa syarat. Bagi sebagian orang mungkin melihat mimpi-mimpi saya ini utopis. Tapi bagi saya yang seorang optimis, saya percaya bahwa suatu saat ini semua bisa tercapai.

Di tahun 2030, saya bayangkan tak ada lagi korupsi di Indonesia, tak ada lagi anak yang terlantar dan harus mengais di jalanan. Tak ada lagi anak Indonesia yang tak dapat bersekolah, hanya karena persoalan biaya. Anak-anak Indonesia bisa lahir, hidup, dan tumbuh kembang sebagaimana layaknya. Tak ada lagi anak Indonesia yang tak dapat bermain, karena harus mencari nafkah membantu orang tua.

Kita semua hidup damai, saling hormat menghormati. Tak ada lagi mendengar berita di bom nya gereja, perusakan mesjid, pelarangan ibadah, dan sejenisnya. Tak ada lagi kerusuhan membabi buta. Kita semua bersaudara, meskipun warna kulit, dan potongan rambut kita tetap beda. Logat bahasa kita tak berubah, amat kental dengan asal kedaerahan kita. Tarian, nyanyian, dan karya budaya leluhur masih amat terjaga. Tapi wawasan kita mulai mengglobal, kita bisa diadu secara intelektual dengan negara manapun.

Ketika saya perhatikan media massa, yang saya lihat dan saya dengar adalah deretan prestasi dan khabar baik tentang karya anak negeri. Pejabat-pejabat di pemerintahan berhasil menuntun rakyatnya kepada kemakmuran dan kedamaian. Masyarakat bahu membahu, bekerja kolektif memajukan bangsa. Pemudanya berlomba untuk meraih prestasi untuk negeri, berkarya, menciptakan inovasi untuk kemajuan umat.

Utopiskah? Tidak!

Karena kini saya menyiapkannya. Saya siapkan diri saya sembari berkarya untuk negeri. Melalui Indonesian Future Leaders, kami mencoba untuk membangun kapasitas dan karakter kami, sembari menjadi katalis, mengajak anak-anak muda lain untuk bergerak, berkarya, dan berdampak positif bagi negeri. 2030 seperti hal di atas? Kenapa tidak?

tentang diri

Iman Usman

Blog: http://imanusman.com
Web: http://indonesianfutureleaders.org
Twitter: http://twitter.com/imanusman
 

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy