Ahmad Abdul Haq


From Dhaka with Prayers

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Rabu, 02 Januari 2013 23:50 WIBFrom Dhaka with Prayers

From Dhaka with Prayers

Kita semua orang sibuk dan saking sibuknya banyak dari kita terheran-heran betapa cepatnya tahun 2012 berlalu. Demikian cepatnya berlalu sehingga banyak dari kita sulit mengambil waktu untuk refleksi diri.

Ada sebuah doa yang mungkin anda pernah tahu, sebuah doa yang pas untuk membatu kita dalam sebuah perenungan memasuki tahun baru. Demikian doa ini: "God, give us serenity to accept the things we cannot change, the courage to change the things we can and the wisdom to know the difference."

Ada tiga hal yang disebut dalam doa ini. Pertama, meminta Tuhan untuk memberikan kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak bisa diubah; kedua, keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat diubah; dan ketiga, kearifan untuk bisa membedakan kapan harus berdamai dan kapan berjuang untuk mengubah sesuatu.

Beberapa minggu lalu saya mengadakan perjalanan ke Bangladesh dan doa ini cukup manjur dan menguatkan saya. Terutama ketika pesawat yang membawa kami pulang dibatalkan setelah penantian delay lebih dari empat jam. That`s like the worst travel news to hear!

Malam itu kabut tebal menyelimuti kota Dhaka. Jarak pandang zero visibility. Akibat kondisi force majeur ini, 12 penerbangan dibatalkan malam itu. Alhasil, nasib lebih dari 3000 penumpang menjadi tidak menentu. Pihak airlines bukan saja sibuk mencari tempat bermalam untuk ribuaan penumpang, tapi lebih sibuk menenangkan ribuan penumpang yang kesal dan desperate.

Siapa yang mau terdampar di Dhaka? Dalam malam ini, tidak ada pilihan lain, kami terpaksa terdampar satu malam lagi di Dhaka. Sayapun beranjak-andai jika ini terjadi karena badai Sandy di New York, mungkin masih ada senyuman getir campur senang yang muncul. Lumayanlah semalam lagi di Big Apple. Tapi, ini Dhaka....Jelas lebih banyak kekuatiran dibanding senyuman yang muncul. Apalagi setelah lima hari mengikuti forum young leaders dari Asia Society dan melakukan studi banding di beberapa lembaga legendaris kredit mikro, rasanya I just cant wait to leave the city!  (Jujur sih rasa tidak sabar kepengen pulang sudah muncul sejak malam pertama).

Lewat tengah malam, kami kemudian diangkut ke hotel bintang empat versi Dhaka yang lebih tampak seperti bintang dua (atau maksimal setara bintang tiga minus) di Jakarta. Walaupun ngomel karena bagasi tidak bisa dikeluarkan, tidak banyak yang dapat dilakukan selain menurut.

Keesokan harinya, pesawat dijanjikan akan terbang jam 2.30 siang. Tapi kenyataannya terjadi delay lagi. Antara latihan militer di landasan pesawat yang terjadi di pagi harinya dan mati lampu di gedung layanan katering pesawat, kami tidak tahu dengan pasti hal mana yang menyebabkan kemunduran semua jadwal penerbangan hari itu. Sekitar jam 4 sore, akhirnya pesawat kami tinggal landas.

Empat setengah jam kemudian, ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian untuk mendarat, saya melihat kilauan kota di bawah. Tampak demikian indah kerlap kerlip lampu kota Singapura yang membentang luas dari kejauhan. Ada satu rasa yang muncul yang saya tidak duga sebelumnya. Sukacita yang mendalam.

Walau hanya sesaat, kebahagian yang saya rasakan sungguh nyata. Mungkin ada rasa lega lolos dari kabut ketidakpastian yang membuat intensitas rasa bahagia ini bertambah. Namun, lebih daripada itu, kebahagiaan ini berasal dari sebuah harapan. Harapan untuk pulang. Harapan untuk berkumpul kembali dengan keluarga tercinta.

Namun drama perjalanan ini belum berakhir di sini. Sesampai di Singapura, saya sangat kecewa karena kami ketinggalan pesawat terakhir koneksi ke Jakarta. Bayangkan betapa galaunya suasana hati saat itu. Rencana semula mau memperpendek perjalanan berantakan. Yang terjadi malahan sebaliknya. Yang tadinya mau mempersingkat satu malam, malah kena dapat bonus dua malam tambahan!

Satu hal yang saya pelajari adalah expect the unexpected. Berkelana ke negara seperti Bangladesh, kita memang harus lebih fleksibel dan adventurous. Memang benar apa kata orang, "Manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menetukan." Tidak ada cara lain selain menerima apa adanya. Ternyata, nrimo itu indah. Nrimo membuat hidup lebih ringan, lebih nyaman.

Ada banyak force majeur yang terjadi dalam hidup kita. Ada banyak "kabut" kehidupan yang membutakan sehingga kita gagal tinggal landas atau terhambat dari kesuksesan. Ada banyak "malam tambahan" yang terpaksa harus kita jalani ketika berbagai hal meleset dari rencana. Perjalanan kehidupan yang melenceng karena banyak hal terjadi di luar kuasa dan ekspektasi kita.

Di awal tahun 2013 ini, mari kita bersama mengucapkan doa ini: "God, give us serenity to accept the things we cannot change, the courage to change the things we can and the wisdom to know the difference."

Mari kita belajar untuk berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Mari kita memiliki keberanian untuk terus berjuang mengubah apa yang masih bisa diubah. Dan marilah kita tetap berdoa untuk mendapatkan hikmat untuk membedakan kapan harus nrimo dan kapan harus berjuang.

Niscaya lampu kerlap kerlip kehidupan akan kita lihat - dan, bukan saja dilihat, tapi dapat dinikmati. Seperti kilauan lampu kota Singapura, kilauan kehidupan itu membawa harapan baru bagi kita. Harapan untuk "mendarat" di tanah penuh berkat yang Tuhan telah siapkan untuk kita di tahun ini.
 

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy