Ahmad Abdul Haq


YANG TERHORMAT PAK PRESIDEN

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Jumat, 07 September 2012 21:30 WIBYANG TERHORMAT PAK PRESIDEN

YANG TERHORMAT PAK PRESIDEN Sampai hari ini, banyak persoalan bangsa yang belum selesai. Sebagian diantara kasus-kasus itu menyangkt Hak Asasi Manusia. Ada yang mengatakan bangsa kita ini adalah bangsa pelupa. Kita mudah melupakan persoalan-persoalan yang belum tuntas, lalu kemudian persoalan itu terkubur oleh jaman. Tetapi ada sejumlah sosok yang menjadi korban dari ketidakadilan - mencoba melawan. Mereka berjuang agar kita semua tidak lupa. Tidak lupa bahwa KEADILAN harus tetap ditegakkan.

Maria Katarina Sumarsih adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas atma jaya yang tewas saat Peristiwa Semanggi I. Sumarsih adalah sosok yang berani. Selama bertahun-tahun Sumarsih berjuang bersama suami, Arief Priadi, dan para orang tua korban lainnya, menuntut keadilan atas kematian putranya. Berkas Kasus Wawan (Semanggi I) hingga saat ini masih tersangkut di Kejaksaan Agung. Walaupun pada 26 Maret 2008, Presiden SBY sudah memerintahkan untuk menyelesaikan kasus kejahatan masa lalu, termasuk Semanggi I (saat Sumarsih bertemu dengan SBY). Namun, sampai sekarang tidak ada tindakan nyata. Sumarsih menganggap bahwa perkataan SBY hanya pencitraan saja, hal tersebut agar terlihat seakan-akan presiden punya perhatian kepada keluarga korban. Hingga saat ini Sumarsih masih melakukan “Aksi Kamisan” payung hitam dan aksi diam di depan Istana setiap Hari Kamis (sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang) Dalam aksi tersebut, Sumarsih bersama dengan keluarga korban pelanggaran HAM lainnya, selama ini sudah menulis 239 surat kepada presiden sejak bulan Juli 2007. Surat-surat itu ditulis dan dikirim ke Sekretariat Negara saat mereka melakukan aksi di depan Istana Negara. Sumarsih sendiri mengaku belum pernah menulis surat secara pribadi langsung kepada presiden. Pasca kematian Wawan, hingga saat ini Sumarsih masih bernazar tidak akan makan nasi, jika kasus anaknya belum tuntas dan keadilan belum ditegakkan.

Berjuang menuntut keadilan atas kasus kematian anaknya, Rifki Andika - membuat pria berusia 53 tahun ini - Indra Azwan, rela terus berjuang hingga ajal menjemput. Kala itu 8 Februari 1993, sebagai seorang bapak hatinya hancur, saat mengetahui putra sulungnya yang masih berusia 12 tahun saat itu harus menghadap sang khalid dengan cara yang tragis. Terlebih penyebab kematian sang buah hatinya itu akibat menjadi korban tabrak lari dari sebuah mobil, yang di kendarai oleh seorang oknum perwira polisi. Berbagai upaya hukum terus menerus dilakukan, hingga tanggal 9 Juli 2010, Indra memutuskan mengadukan nasib hukumnya kepada Sang Presiden. Bukan tanpa sebab, meski bukti dan proses hukum tengah dilakukan oleh pihak berwajib, namun si pelaku tabrak lari tersebut se-olah menjadi sosok yang tak tersentuh secara hukum. Bahkan kasusnya tersebut sempat dinyatakan sebagai kasus yang sudah kadaluarsa. Melihat kenyataan itu, sebagai warga negara ia merasa berhak meminta keadilan dengan mendatangi dan mengadu ke Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, Mabes Polri, Komisi III DPR RI, Satga Mafia Hukum, bahkan ia pun juga langsung menuju ke rumah sang presiden. Hampir 20 tahun sudah, perjuangannya mendapatkan keadilan di jalanan. Hingga kini ia pun terus melakukan pencarian keadilan.

Tanggal 26 Desember 2004, tsunami telah meluluhlantahkan Nangro Aceh Darussalam. Ratusan ribu orang menjadi korban, ribuan rumah rata dengan tanah, dan banyak warga yang kehilangan tempat tinggalnya. Hidup mereka dihabiskan di barak-barak tenda pengungsian. Tahun 2004 pemerintah dan BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) menjanjikan pembangunan 6000 rumah baru untuk para korban yang tercatat berhak atas pembangunan tersebut. Tapi janji tersebut kian bermasalah sejak masa kerja BRR selaku penanggung jawab bencana habis di tahun 2009. Sebanyak 1569 rumah pun masih belum direalisasikan, dan warga pun hanya bisa menunggu janji itu. Edy Chandra, adalah salah satu dari ribuan korban yang masih menunggu realisasi janji pemerintah itu. Edy merasa miris ketika melihat teman-teman sesama korban, masih hidup luntang lantung di barak pengungsian. Di tahun 2008 Edy bersama para korban lainya membentuk Gerakan Pejuang Rumah Korban Tsunami di Aceh Besar atau GPRS. Edy yang kini menjadi koordinator GPRS telah melakukan berbagai mediasi untuk menuntut janji pemerintah. Aksi mediasi pun telah dilakukan mulai dari mengirim surat ke presiden SBY hingga aksi demontrasi. Tapi tak ada satupun respon nyata hadir dari  pemerintah. Kini janji hanya tinggal janji, 8 tahun sudah Edy dan para korban tsunami lainnya hanya menjadi saksi hidup janji-janji kosong yang dilakukan pemerintah. Edy bersama istri dan kedua anaknya kini tingal di rumah petak yang ia kontrak. Untuk membiayai sewa rumah dan kehidupan sehari-harinya pun Edy menjadi pedagang kopi, meski begitu Edy dan para korban tsunami lainnya masih berharap pemerintah bisa menepati janjinya.

Kasus Skandal Bank Century telah memasuki tahun ke 4. Namun hingga sekarang belum menemukan kata tamat. Berbagai upaya telah nasabah lakukan. Tak hanya berunjuk rasa, mengadu ke DPR hingga menulis surat kepada presiden. Salah satu nasabah yang masih berjuang, dialah Siput Lokasari, suami Veronica Lindawaty - nasabah Bank Century asal Yogyakarta, yang uangnya sebesar Rp 5,4 miliar dialihkan oleh Bank Century ke Antaboga Sekuritas, yaitu sebuah reksadana fiktif. Bersama korban-korban lainnya, ia terus saling menguatkan diri, karena banyak dari nasabah yang uangnya digelapkan ini banyak yang meninggal dan frustasi. Selain itu Siput yang juga koordinator Forum Nasabah Korban Century Yogyakarta ini sering berdiskusi mencari mencari solusi, dan tak jarang Siput mengajak nasabah-nasabah lainnya untuk turun ke jalan melakukan unjuk rasa di depan Bank Mutiara. Walaupun rata-rata usia nasabah ini sudah paruh baya, mereka tetap berenergi dan tak bosan untuk terus menagih dana mereka yang dicuri Bank Century. Bahkan putusan dari Pengadilan Negeri Solo, Yogyakarta, Mahakamah Agung dan DPR, yang menuntut Bank Mutiara, sebagai pemilik baru dari Bank Century Tbk, meski bank tersebut telah dijamin oleh LPS Lembaga Penjamin Simpanan - untuk mengembalikan uang nasabah- tetap saja hal itu belum juga terealisasi hingga kini.

Munir Said Thalib. Sosok sederhana yang tanpa kenal lelah menyuarakan keadilan untuk rakyat kecil. Namanya melambung sebagai pembela bagi kaum tertindas yang terampas hak-haknya di masa itu. Pada 7 September 2004, garis nasib menentukan hidup seseorang. Aktivis HAM sekaligus pendiri KontraS dan Imparsial ini, meninggal di atas pesawat ketika dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Bahwasanya kala itu Munir hendak melanjutkan kuliah pasca-sarjana di negeri itu. Informasi hasil otopsi munir yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda, membuktikan bahwa Munir meninggal akibat racun senyawa Arsenikum dalam jumlah dosis yang fatal. Kini, menginjak tahun ke-8 sejak kematian suaminya, Suciwati dan beberapa kawan yang bernasib sama, terus berjuang mencari keadilan dengan melakukan aksi “Kamisan” sebagai ekpresi protes mereka di depan Istana Negara. Sambil sesekali kembali menjadi ibu dan merawat ke dua buah hatinya itu.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy