Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPBN) Departemen Keuangan Republik Indonesia telah membuktikan dirinya menjadi instansi yang paling aktif mengkampanyekan anti suap dan gratifikasi dalam aktivitas pelayanannya kepada stakeholder. Hal ini telah mendapatkan pengakuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan diberikannya Penghargaan Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) sebagai instansi dengan inisiatif pencegahan terbaik di Indonesia.
Dengan diterimanya penghargaan tersebut bukan berarti jajaran DJPBN menjadi berpuas diri dan stagnan dalam upaya untuk mewujudkan good governance dan clean government. Apalagi kejahatan yang berkaitan dengan korupsi dan penyalahgunaan wewenang juga terus berevolusi mencari bentuk-bentuk dan modus lain guna memberikan keuntungan pribadi/kelompok dengan memanfaatkan kewenangan dalam melayani stakeholder.
Salah satu modus yang patut di waspadai yang dapat menodai reformasi birokrasi yang dibanggakan jajaran DJPBN adalah Makelar Pengadaan/Makelar SPM di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Modus ini memanfaatkan posisi oknum yang bekerja di KPPN untuk mencari keuntungan dengan kamuflase “membantu” stakeholder yaitu satuan kerja (satker) yang memilliki kelemahan dibidang pengadaan barang dan perbendaharaan. Praktek makelar ini merupakan hasil kerjasama antara satker dan oknum yang bekerja di KPPN. Proses yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Oknum KPPN menawarkan kepada satker agar pengadaan barang/jasa melalui jasa mereka. Biasanya oknum mewakili satu atau lebih perusahaan yang bisa jadi milik sendiri ataupun saudara/teman. Pengadaan barang/jasa melalui oknum akan dibantu dalam pengurusan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan oleh peraturan terkait dengan pengadaan/jasa pemerintah dan pencairan dana melalui APBN.
2. Satker yang mendapatkan penawaran tersebut terutama yang memiliki kelemahan/kurang mengerti terkait prosedur dan dokumen-dokumen pengadaan barang/jasa dan pencairan dana APBN tentu saja akan tertarik dengan tawaran tersebut, apalagi yang menawarkan adalah oknum kppn. Disatu sisi satker merasa terbantu, disisi lain juga merasa aman dan pasti bahwa proses pengadaan barang dan pencairan dana mereka akan lancar karena yang mengurus semuanya adalah orang yang bekerja di kppn.
3. Oknum kppn membuatkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pengadaan barang/jasa dan tentu saja pembelian yang dilakukan harus menggunakan perusahaan milik ataupun yang bekerja sama dengan mereka. Dokumen-dokumen terkait pencairan dana di KPPN dalam rangka pengadaan tersebut (SPTB, Resume Kontrak, SPM) juga ‘dibereskan’ oleh oknum kppn. Satker tinggal tanda tangan dan mengajukannya ke KPPN. Bahkan bisa juga sekaligus oknum tersebut “membantu” membuatkan laporan-laporan terkait seperti laporan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dan Sistem Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (SAKPA).
Praktek-praktek tersebut di atas masih dapat (terus) terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
- Kurangnya pemahaman satker dalam melaksanakan pengadaan barang jasa dan pencairan dana APBN di KPPN hingga merasa sangat terbantu (tidak perlu repot) saat ada penawaran dari oknum KPPN. Kurangnya pemahaman ini meliputi peraturan-peraturan, teknis prosedur hingga penguasaan IT/aplikasi.
- Kurang pedulinya manajemen KPPN dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara penuh. Reformasi birokrasi yang dilaksanakan DJPBN khususnya KPPN memerlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar berjalan dengan baik diantaranya pelaksanaan Standar Operasi dan Prosedur (SOP), standar minimum pelayanan, Sarana dan prasarana, SDM yang berkualitas dan kompeten, pengawasan yang memadai dan beberapa hal lainnya.
Kekurang pedulian ini bisa jadi disebabkan antara lain:
- Mindset yang belum berubah. Perubahan mind set tidak cukup dengan kata-kata dan sumpah jabatan. Action dan keteladanan sangat penting untuk menjamin konsistensi perubahan mind set.
- Kurang memahami peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan di KPPN dalam rangka memberikan pelayanan yang bebas suap, pungli dan gratifikasi.
- Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
- Pengawasan dan pembinaan yang kurang efektif dari instansi terkait membuat manajemen KPPN merasa tidak perlu menjadi lebih baik dibanding masa yang lalu ataupun untuk mencapai prestasi yang membanggakan.
- Tidak adanya pesan yang jelas dan tegas khususnya dari manajemen KPPN tentang perubahan mind set KPPN baik kepada satker maupun internal KPPN. Pesan ini bukan hanya berupa spanduk-spanduk dan pengumuman, tetapi harus dikomunikan secara langsung kepada satker dalam setiap kesempatan dan interaksi bahwa KPPN telah berubah. Dengan adanya komunikasi ini satker dapat bertambah yakin karena langsung berasal dari manajemen KPPN. Bila tidak, satker dapat merasa spanduk-spanduk dan pengumuman tersebut hanya slogan/basa-basi, tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi dan masih sama dengan mind set masa lalu.
Terjadinya praktek makelar pengadaan/makelar SPM ini akan mengakibatkan kerugian-kerugian antara lain sebagai berikut:
- Stakeholder dapat menganggap reformasi di DJPBN KPPN hanyalah formalitas sehingga menurunkan citra DJPBN khususnya KPPN.
- Meskipun tidak terjadi disemua kppn ataupun hanya dilakukan oleh segelintir oknum di KPPN, praktek makelar ini bila tidak dideteksi, diberantas dan dicegah, lambat laun akan menular dan menyebar ke personil-personil lain karena keuntungan yang diterima dengan pembenaran “membantu” satker.
- Mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat dalam pengadaan barang/jasa yang dapat merugikan perekonomian daerah wilayah kerja KPPN bersangkutan.
- Perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan proyek/pekerjaan akan memanfaatkan oknum-oknum KPPN yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan satker-satker yang dilayaninya.
- Satker-satker khususnya yang terbiasa “dibantu” menjadi malas untuk meningkatkan pengetahuan personilnya dibidang pengadaan barang/jasa dan perbendaharaan, baik peraturan terkait, prosedur dan penggunaan IT/aplikasi. Hal ini akan menyulitkan upaya DJPBN untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan penggunaan kas satker-satker di daerah.
- Kemungkinan penggunaan dana-dana APBN menjadi tidak efektif dan efisien karena pembelian barang/jasa tidak dilakukan dengan pertimbangan harga termurah dengan kualitas terbaik, jumlah yang cukup hingga pengadaan fiktif. Belum lagi satker harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membayar “jasa bantuan” kepada oknum KPPN yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Semangat reformasi birokrasi harus senantiasa dipelihara dan diupgrade agar tidak lengah dengan evolusi korupsi berupa suap, pungli dan gratifikasi yang selalu melahirkan modus-modus dan cara-cara baru dalam rangka mengambil keuntungan pribadi dari kewenangan pelayanan yang dimiliki oleh KPPN. Semua pihak harus sadar dan waspada dengan kemungkinan yang bisa terjadi. Tanggung jawab dan amanah reformasi birokrasi adalah milik semua jajaran DJPBN khususnya KPPN sebagai ujung tombak baik dilevel manajemen ataupun level staf/pelaksana.
Mari bersama-sama memajukan DJPBN.