Tangis Pilu di Hari Wafat Kyai Umar Al-Muayyad Mangkuyudan
Sumber: Majalah Serambi Al-Muayyad Edisi 04/Th.II/Juli 2013
Oleh Muhammad Ishom
Pagi itu menjelang pukul 04.00 dini hari, Kamis 11 Ramadhan 1400 H, bertepatan 24 Juli 1980 M, aku dibangunkan seorang santri senior Mbah Umar[1] sekaligus guru bahasa Arabku di pondok. Saat itu aku tengah nyenyak tidur di salah satu kamar lantai bawah Pondok Lor yang sekarang menjadi Ruang Guru Madrasah Aliyah Al-Muayyad. Guru itu bernama Pak Toha Abu Amar yang saat ini sedang gerah (semoga segera diberi-Nya kesembuhan. Amin). Sambil mengguncang-guncangkan punggungku, Pak Toha memberi tahukan Mbah Umar baru saja wafat.
“Pak Kiai Umar sedo! Pak Kiai Umar sedo!”
Aku terkejut dan segera bangun mendengar suara itu. Kulihat Pak Toha bersimpuh menangis sesunggukan. Akupun sedih dan bingung mendengar berita itu sebab sebelumnya tak ada kabar serius mengenai Mbah Umar. Namun aku tak mampu meneteskan airmata sebagaimana Pak Toha. Air mataku beku mendengar Mbah Umar wafat. Kepergian Mbah Umar untuk selamanya begitu mengguncangkan jiwaku. Aku teringat “hutangku” pada Mbah Umar. Aku teringat sebuah mushaf Al-Quran kecil pojok[2] bersampul merah yang diberikan Mbah Umar kepadaku tak lama setelah aku khatam Juz Amma pada tahun 1973. Dalam mushaf itu di halaman depan tercantum namaku dalam huruf Arab yang ditulis tangan sendiri oleh Mbah Umar, tertanggal 11 Muharram 1393 H.
Dalam keadaan galau di pagi dini hari itu, aku mencoba mengambil sepeda milik Pak Toha. Aku bermaksud menyampaikan kabar wafatnya Mbah Umar kepada Bulik Umi Kultsum di Jenengan Jayengan Serengan. Aku gayuh sepada itu meninggalkan Pondok Lor. Baru sampai di jalan sebelah timur Pondok Putri, aku terhenti oleh beberapa warga di sekitar pondok yang keluar dari rumah masing-masing. Mereka berlari-lari kecil menuju sumber suara tangis yang mendengung. Mereka mendapati dengung tangis itu berasal dari pondok.
Betul. Itu adalah paduan tangis ratusan santri Mbah Umar, putra dan putri, semunya menangis serentak. Mereka amat bersedih hati telah kehilangan Mbah Umar yang mereka cintai dan hormati. Suara tangis itu terdengar dari luar pondok hingga radius puluhan atau bahkan ratusan meter.
“Ini ada apa. Ada apa ini di pondok?” Warga sekitar pondok itu bertanya satu sama lain.
Aku mencoba menjelaskan Mbah Umar baru saja wafat. Mereka pun kaget mendengar berita itu dan menanyakan Mbah Umar sakit apa. Aku tak bisa menjelaskan karena setahuku Mbah Umar baik-baik saja. Para tetangga itu akhirnya memaklumi mengapa para santri menangis pilu dalam waktu yang sama. Segera setelah itu, aku melanjutkan perjalananku ke rumah Bulik Umi. Ternyata Bulik Umi telah menerima kabar itu sebelumnya. Aku langsung kembali ke pondok untuk melaksanakan shalat Shubuh.
Ketika hari mulai terang, banyak orang datang ke pondok untuk mengkonfirmasi wafatnya Mbah Umar sekaligus meminta informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemakaman beliau. Misalnya, dimana beliau akan dimakamkan dan jam berapa upacara pemakamannya. Aku sendiri tidak ikut terlibat dalam pembicaraan penting itu. Aku masih kecil pada waktu itu. Aku baru duduk di bangku kelas 1 (satu) Madrasah Aliyah Al-Muayyad.
Namun begitu, setelah ada keputusan Mbah Umar akan dimakamkan pada hari itu jugaba’da Dzuhur di sebelah barat masjid, sesuai dengan isyarat beliau ketika masih sugeng, aku mendapat tugas menyampaikan kabar duka itu kepada Pakde Adnan di Pundung Tegalgondo Klaten. Pakde Adnan adalah salah seorang adik ipar Mbah Umar yang menikah dengan adik beliau bernama Bude Djawahiroh. Dengan naik Colt (semacam angkot) jurusan Delanggu, aku menuju Tegalgondo untuk kemudian naik dokar menuju rumah Pakde Adnan.
Ditugaskannya aku menyampaikan kabar itu kepada beliau karena aku dipandang cukup tahu alamat tersebut. Apalagi beberapa waktu sebelumnya aku telah ditugaskan ke sana untuk menyampaikan berita wafatnya Mbah Nyai Muslihah, istri ketiga Mbah Kiai Abdul Mannan. Wafatnya Mbah Nyai Muslihah itu sendiri kebetulan juga tak lama setelah meninggalnya adikku bernama Ma’muroh dalam usia tiga tahun.
Sebelum aku memohon diri kepada Pakde Adnan untuk segera kembali ke Solo, Pakde Adnan sempat menuturkan bahwa bisa saja setelah wafatya Mbah Umar akan ada saudara yang meninggal dunia. Betapa terkejutnya aku ketika kira-kira 40 hari setelah wafatnya Mbah Umar, aku mendengar berita Pakde Adnan wafat. Innalillahi wa inna iliahi rajiun.
Peristiwa kematian beruntun dalam lingkaran keluarga dekat itu mengingatkan aku pada mitos Jawa bahwa orang yang meninggal di hari Sabtu akan mengajak saudara dekat. Adikku Ma’muroh, yang tak lain adalah keponakan Mbah Umar dan cucu Mbah Nyai Muslihah, memang meninggal dunia pada hari Sabtu. Tetapi sekali lagi, ini hanyalah mitos yang tak bisa diyakini kebenarannya. Ibuku sendiri, Mbah Ngis Sakdullah binti K.H. Abdul Mannan juga wafat pada hari Sabtu di bulan Ramadhan empat belas tahun kemudian, yakni tahun 1994. Tidak ada saudara dekat yang meninggal dalam rentang waktu tidak lama setelah beliau.
Tepat pukul 11.00 siang aku sudah berada kembali di pondok. Suasana sudah sangat ramai dengan banyaknya tamu yang hendak men-shalat-kan beliau dan mengikuti upacara pemakamannya. Begitu banyak orang men-shalat-kan jenazah Mbah Umar, dan ini berlangsung rombongan demi rombongan. Rombongan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Masing-masing rombongan jamaah shalat jenazah dipimpin oleh seorang kiai terkemuka. Banyak kiai besar hadir dalam upacara pemakaman Mbah Umar. Salah seorang diantaranya adalah Mbah Kiai Ali Ma’shum dari Krapyak Bantul Yogyakarta.
Hadirnya para kiai besar dalam pemakaman Mbah Umar adalah wajar karena Mbah Umar sendiri memang kiai besar. Banyak dari mereka memondokkan putra atau putrinya di Mangkuyudan. Misalnya, Mbah Ma’shum Lasem memondokkan beberapa cucunya bernama Mas Muhammad Zaim, Mbak Nur Jihandan Mbak Nur Inayah. Ketiganya adalah putra dan putri Mbah Kiai Amad Syakir; Mbah Kiai Ali Ma’sum memondokkan putri beliau yang bernama Mbak Durroh Nafisah; Mbah Kiai Mufid Sunan Pandanaran Sleman memondokkan Mbak Sukainah dan Mbak Wiwik Fashihah; Mbah Kiai Hasan Mangli Magelang memondokkan Mbak Nimaunah dan Mbak Nibariyah.
Dari Jawa Barat, Prof. K.H. Anwar Musaddad Garut memondokkan putranya bernama Mas Thonthowi Jauhari. Dari Jawa Timur, Mbah Kiai Ahmad Shiddiq Jember memondokkan putri sulungnya bernama Mbak Asni Furoidah. Itu belum termasuk Mbah Kiai Mundzir Kediri yang sering berkunjung ke Mbah Umar sewaktu-waktu. Beliau sering dimohon Mbah Umar mengimami jamaah shalat fardhu di masjid. Mbah Mundzir diyakini secara luas sebagai seorang wali. Demikian pula Mbah Hasan Mangli Magelang dan Mbah Ma’sum Lasem.
Semua itu menjadi bukti Mbah Umar adalah seorang Kiai yang sangat dihormati meski beliau memilih hidup sederhana. Kesederhanaan yang menjadi bagian dari zuhud Mbah Umar itulah yang menjadikan beliau disegani diantara kiai-kiai berpengaruh. Hal ini diakui sendiri oleh Kiai Syukron Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, ketika aku berkunjung ke pesantren itu pada tahun 1985-an.
Siapa pun tahu Mbah Umar di Mangkuyudan menghuni sebuah rumah sederhana. Apa yang disebut nDalem Mbah Umar hanyalah sebuah bangunan kecil berdinding anyaman bambu alias gedek dengan sedikit tembok diatas pondasi. Ketika ndalem tersebut diperlukan untuk perluasan pondok putri, Mbah Umar mengalah dan rela pindah kamar di pondok putra yang sebelumnya dihuni para santri. Di sebuah kamar yang sederhana itulah Mbah Umar wafat dalam usia 63 tahun di waktu sahur.
Mbah Umar semasa hidupnya memang tidak suka ngematke atau nggondeli hal-hal yang bersifat duniawi. Beliau tidak kersa mirsani TV ataupun mendengarkan musik-musik yang hanya akan mengganggu dzikir beliau kepada Allah SWT. Beliau seorang sufi dan hafidz Quran yang senantiasa menjaga hafalannya. Beliau tidak meninggalkan rumah dan tanah yang beliau miliki semasa hidupnya kecuali telah diwakafkan untuk pondok.
Pondok putri yang berdiri megah berlantai tiga itu dibangun di atas tanah wakaf Mbah Umar dan adik-adik beliau serta Mbah Ti sebagai istri. Siapa pun tak akan pernah bisa menemukan rumah dan tanah warisan beliau karena semua telah diwakafkan untuk kemaslahatan umat. Mbah Umar tidak dikaruniai keturunan. Maka harta milik beliau diwakafkan sebagai amal jariyah.
Ketika jam bandul di masjid telah menunjukkan pukul 12.00 Waktu Istiwak, dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Para pelayat pun kemudian melakukan shalat Dzuhur berjamaah yang juga bergelombang. Saat itu keadaan di masjid dan sekitarnya sudah semakin padat dan berjejal dengan tamu-tamu yang hendak memberikan penghormatan terakhir pada Mbah Umar. Hampir semuanya ingin mendekat pada jenazah Mbah Umar secara fisik dengan harapan dapat menyentuh atau setidaknya mendekat peti jenazah yang sedang disemayamkan di masjid. Tua dan muda berebut kesempatan mendekat pada peti jenazah Mbah Umar.
Ketika jamaah shalat Dzuhur sudah dirasa cukup, dan upacara pemakaman yang ditandai dengan beberapa pidato sambutan dari berbagai pihak telah usai, maka dilaksanakan shalat jenazah terakhir. Waktu itu menjelang pukul 13.30 WIB, dan tibalah saatnya mengusung peti jenazah Mbah Umar untuk kemudian diturunkan dari masjid. Selanjutnya peti akan dibawa ke tempat pemakaman yang jaraknya dari mihrabmasjid tak lebih dari 3 meter. Dengan diiringi bacaan La ilaha illallah Muhammadur rasulullah yang terus menerus diulang oleh ribuan pelayat sambil menderaikan air mata, baik putra maupun putri, peti jenazah Mbah Umar diangkat oleh sanak saudara, handai tolan dan para santri senior.
Suasana duka semakin terasa ketika peti jenazah Mbah Umar mulai diusung. Tak ada wajah ceria. Semuanya murung dalam kesedihan yang mendalam. Tak ada canda dan tawa. Tak ada kata terucap dari bibir para pelayat kecuali lantunan dzikir dan tahlil dalam linangan air mata. Semua merasa kehilangan Mbah Umar, seorang kiai hafidz Quran sejak usia belasan tahun. Seorang kiai yang dikenal saleh sejak masa kecil. Beliau tak pernah menyakiti orang lain. Beliau rendah hati, suka bermusyawarah dan berlaku adil. Mbah Umar sangat halus dalam sikap dan tutur kata. Namun kelembutan hati Mbah Umar mampu menghentikan kenakalan dan kekerasan hati santri-santri yang dicintainya.
Pada saat peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak, saat itulah awal krisis terjadi karena para pelayat yang jumlahnya ribuan itu tiba-tiba ingin mengungkapkan rasa hormat dan baktinya kepada Mbah Umar dengan cara masing-masing. Ada yang ingin melihat peti jenazah Mbah Umar dari jarak dekat. Ada yang ingin menyentuh peti jenazah atau kain yang menutupinya meski hanya sekejap. Tetapi kebanyakan ingin ikut mengusung peti jenazah beliau hingga makam yang telah dipersiapkan. Padahal mereka yang telah berhasil memegang peti jenazah enggan melepaskannya. Mereka bersikukuh untuk tetap mengusungnya hingga tempat pemakaman.
Sementara itu mereka yang belum berhasil memegang peti jenazah, terus bergerak dari semua arah. Mereka berdesak-desakan dan berebut kesempatan. Tentu saja ini menghambat perjalanan peti jenazah Mbah Umar terutama mereka yang bergerak dari arah depan. Peti jenazah itu terhenti dan tak mampu dimajukan kedepan barang selangkah pun. Saat itu posisi peti jenazah sudah berada di sebelah utara masjid yang memang ruangnya tidak cukup luas.
Meskipun jarak tempuh menuju makam tinggal beberapa meter saja, perjalanan untuk sampai ke sana tidak semudah yang dibayangkan. Banyak pelayat yang mencintai Mbah Umar ingin menunjukkan cintanya kepada beliau dalam waktu yang sama. Mereka juga bermaksud tabarruk. Apalagi hari itu di bulan Puasa yang penuh berkah. Mereka berharap dicatat malaikat sebagai santri Mbah Umar ila yaumil qiyamah.
Dalam keadaan seperti itu, tampillah seorang tentara Angkatan Darat berpangkat mayor. Beliau adalah Mayor Mashadi, seorang wali santri yang tinggalnya di kampung Sampangan Pasar Kliwon. Dengan suaranya yang lantang, Mayor Mashadi menghimbau agar para pelayat tidak berebut mengusung peti jenazah. Mereka diminta kesadarannya demi memperlancar jalannya peti jenazah. Himbauan Mayor Mashadi tak segera diindahkan. Mayor Mashadi menaikkan nada suaranya dengan berbicara lebih lantang. Mayor Mashadi terpaksa berteriak untuk mencegah mereka yang bermaksud mendekat peti jenazah Mbah Umar. Mayor Mashadi mulai kehabisan suaranya.
Dengan dibantu banyak orang, Mayor Mashadi tidak putus asa. Beliau terus berusaha menertibkan para pelayat agar tidak mendekat apalagi menyentuh peti jenazah yang memang sudah ada orang-orang yang dipersiapkan untuk itu. Usaha keras Mayor Mashadi mulai membuahkan hasil. Perlahan-lahan peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak lagi hingga akhirnya sampai di makam. Perjalanan jarak pendek yang hanya sejauh kira-kira 45 meter itu ternyata harus ditempuh dalam waktu cukup lama. Kira-kira 45 menit atau bahkan satu jam. Sulit dipercaya. Namun itulah keadaannya.
Sesampai di makam, jenazah Mbah Umar kemudian dimasukkan ke liang lahat disertai ritual pemakaman seperti adzan dan iqomah. Aku tidak tahu atau sudah tak ingat lagi siapa kiai yang memimpin ritual pemakaman beliau. Jarak pandangku ke makam Mbah Umar dari tempat aku berdiri di sudut barat laut masjid, yang sekarang dibangun tempat wudhu dan kamar kecil, tidak memungkinkan aku untuk menyaksikan dan mendengar setiap peristiwa yang terjadi di sana. Terlalu banyak orang berjejal di depanku. Mereka berebut kesempatan untuk dapat mengantarkan jenazah Mbah Umar hingga beliau dikebumikan, dibacakan talqin dan doa.
Menjelang Ashar upacara pemakaman Mbah Umar telah usai. Beberapa orang mulai meninggalkan makam. Tapi aku tidak segera beranjak dari tempat aku berdiri termangu dan kaku. Air mataku yang sejak dini hari beku, di sore hari itu mulai meleleh, lalu menitik setetes demi setetes. Aku tak mampu menahan tangis itu. Aku biarkan air mataku jatuh bercucuran membasahi bumi. Hanya tangis itu yang bisa aku lakukan untuk mengungkapkan seluruh kesedihanku. Aku sangat terpukul dengan kepergian Mbak Umar untuk selamanya. Aku sangat bersedih karena belum mampu melaksanakan dhawuh beliau hingga beliau wafat. Padahal beliau sudah berbuat banyak dalam memberikan kesempatan sejak masa kanak-kanakku hingga remaja.
Sejak hari itu aku hanya bisa merindukan Mbah Umar. Beliau tidak saja guruku yang mengajariku mengaji Al-Quran dari alif ba ta, tetapi sekaligus pakdeku, abang dari ibuku. Ketika ayahku Mbah Dullah dalam kesulitan, Mbah Umar sering memberi solusi. Beliau yang mengkhitankan aku ketika umurku telah cukup. Beliau sering memberiku uang untuk potong rambut. Ketika aku menangis di pagi hari pada tanggal 10 setiap bulan karena belum bisa membayar SPP, Mbah Umar selalu mendengar tangis itu. Diutusnya Mbah Ti ke rumahku untuk memberikan uang SPP. Lalu bergegaslah aku berangkat ke sekolah SD dengan berlari dan rasa bangga pada Mbah Umar.
Kini tinggallah rinduku pada Mbah Umar dalam seluruh hidup dan jiwaku. Rinduku abadi. Rindu yang takkan pernah terobati.
Allahummaj’al qabrahu raudhatan min riyadhil jinan. Wala taj’al qabrahu hufratan min hufarin niran. Amin.
Solo, 12 Mei 2013
(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad Edisi 04/Th.II/Juli 2013/Ramadhan 1434, halaman 3 – 5)
Bagus dan mengharukan.