Transisi Demokrasi Indonesia
Pindahan dari Multiply
URL: http://seto7688.multiply.com/journal/item/69/Transisi-Demokrasi-Indonesia
Menurut Sutoro Eko dalam bukunya “Transisi Demokrasi Indonesia”, (2003: 13) konsolidasi demokrasi merupakan proses politik yang terjadi pada level masyarakat. Konsolidasi demokrasi, menurut Laurence Whitehead, mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Demokrasi yang terkonsolidasi apabila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan lainnya menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan, dan tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim veto terhadap tindakan pembuat keputusan yang sudah terpilih secara demokratis. Yang lebih penting, konsolidasi demokrasi adalah penanaman demokrasi dalam budaya politik masyarakat. Oleh karena itu Robert Putnam menyatakan bahwa penguatan budaya politik demokratis merupakan kunci utama dalam konsolidasi demokrasi.
Dalam perkembangan demokrasi di negara ketiga, seperti ditengarai oleh Juan Linz dan Alfred Stephen (1997), proses transformasi demokrasi yang berlangsung menekankan bahwa transisi dari suatu rezim otoriter ke suatu rezim baru, belum tentu menuju ke suatu pemerintahan demokratis. Artinya, transisi yang berjalan tidak sempurna dapat membuahkan pola demokrasi yang rentan (unconsolidated democracy). Oleh karena itu, dibutuhkan konsolidasi demokrasi yang matang. Dengan kata lain, proses konsolidasi demokrasi menjadi faktor signifikan sebagai upaya menuntaskan transisi demokrasi itu sendiri.
Larry Diamond, dalam bukunya “Developing Democracy Toward Consolidation” (1999), mengungkapkan definisi konsolidasi demokrasi sebagai persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Lanjutnya, konsolidasi demokrasi menekankan pada proses pencapaian legitimasi yang kuat dan dalam, sehingga semua aktor politik yang signifikan, baik pada level massa maupun elite, percaya bahwa pemerintahan demokratis adalah yang paling tepat bagi masyarakat mereka.
Dalam konteks Indonesia, setelah diasumsikan berhasil meraih demokrasi pasca runtuhnya pemerintahan orde baru, ternyata tidak diikuti oleh penguatan konsolidasi demokrasi. Akibatnya, bangsa ini kehilangan arah dan orientasi dalam menentukan masa depannya. Persoalan legitimasi yang menjadi salah satu indikator dari keberhasilan konsolidasi demokrasi, juga belum mengakar secara kuat. Hal ini dibuktikan oleh beberapa kali pergantian rezim pasca tumbangnya orde baru. Dan tidak menutup kemungkinan pemerintahan ke depan akan mengalami nasib yang sama, jikalau tidak mempercepat langkah-langkah menuju penguatan demokrasi. Karena tidak berjalannya konsolidasi demokrasi yang mengakar dapat mengakibatkan krisis legitimasi.
Kegagalan konsolidasi demokrasi di Indonesia, pertama karena proses konsolidasi demokrasi masih terpusat pada struktur-elite. Di Indonesia sendiri, elite politik yang ada masih tercerai-berai tanpa ada visi dan komitmen bersama untuk membangun demokratisasi yang lebih substansial. Konsolidasi demokrasi oleh elite dimaknai sebagai kompromi politis memperebutkan kekuasaan bukan sebagai kekuatan transformatif yang memperjuangkan nasib rakyat. Fenomena pelacuran politik ini dapat kita amati pada pemilu legislatif dan pemilihan presiden kemarin. Meskipun dilakukan secara langsung, dalam arti rakyat yang menentukan, tetapi tetap saja yang berperan penting adalah elite dan partai politik. Bukannya konsolidasi demokrasi yang terjadi melainkan konsolidasi elite untuk mempertahankan status quo.
Meski negosiasi elite menjadi penting bagi konsolidasi demokrasi, tapi bukan saja dimaknai sebagai proses politik yang hanya terjadi pada level prosedural dan institusi-institusi politik. Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi harus menyentuh dan berlangsung pada level masyarakat. Artinya, partisipasi masyarakat lebih diutamakan daripada kompetisi dan kompromi elite. Ruang partisipasi masyarakat tidak hanya dalam bentuk partisipasi pemilu, tetapi digeser ke arah yang lebih substansial, yaitu memperjuangkan hak politik, sosial dan ekonomi mereka.
Untuk memperjuangkan hak-hak tersebut, konsolidasi demokrasi harus diperluas ke wilayah civil society. Transformasi struktur sosial-politik tidak mungkin terjadi jikalau masih mengandalkan para aktor elite, melainkan harus diletakkan dan digerakkan oleh civil society. Agar memiliki kapasitas transformatif yang mengakar, civil society harus mengalami radikalisasi yang tidak hanya berbasis pada kaum kelas menengah kota tetapi juga mampu mengorganisir dirinya secara integratif dan massif dengan gerakan rakyat.
Kegagalan konsolidasi demokrasi yang kedua karena adanya intervensi politik militer dan persoalan birokrasi nasional. Realitas politik di Indonesia sejak orde lama, orde baru sampai era reformasi sekarang ini belum mampu menghapus peran militer yang masih menancapkan kukunya dalam konfigurasi politik nasional. Dengan dalih stabilitas pertahanan dan keamanan negara militer masih bermain politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi. Pencalonan presiden dari kalangan militer pada pemilu 2004 dapat menjadi indikasi bahwa militer belum sepenuh hati mereformasi dirinya.
Demokrasi, menurut Larry Diamond, tidak dapat dikonsolidasikan sampai militer menjadi benar-benar tersubordinasikan secara kokoh di bawah kontrol sipil dan berkomitmen pada keterlibatan konstitusional demokrasi. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya komitmen elite politik melakukan kontrol sipil atas militer. Malah sebaliknya, elite sipil justru melakukan perselingkuhan politik dengan militer hanya demi menjamin kekuasaan status quo. Kepemimpinan nasional ke depan harus berani menjauhkan militer dari ruang politik. Karena demokratisasi membutuhkan proses demiliterisasi agar tidak jatuh lagi dalam kubangan otoritarianisme.
Belum berjalannya reformasi birokrasi juga menjadi penghambat bagi pelaksanaan agenda demokratisasi. Tidak bisa dipungkiri birokrasi yang ada di Indonesia menjadi sarang bersemainya korupsi. Alih-alih berfungsi sebagai pelayan masyarakat, birokrasi yang ada malah menjadi penyumbang terbesar krisis finansial negara. Tugas konsolidasi demokrasi ke depan harus mampu mendorong pemerintah lebih memperhatikan rakyat, responsif terhadap keinginan dan kepentingan rakyat.
Assalamualaikum wr.wb, saya mahasiswa ilmu politik universitas Syiah Kuala Aceh, sedang mempersiapkan skripsi tentang proses konsolidasi demokrasi (indonesia), mohon dibantu jurnal/tulisan yang bisa dijadikan referensi. Terima kasih.