Agama-Agama Tak Mungkin Disamakan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
22/05/2006

Metta Dasmasaputra: Agama-Agama Tak Mungkin Disamakan

Oleh Redaksi

Sekelompok kaum muda yang tergabung dalam Forum Samantabadra, kemarin (10-12 Mei), memperingati waisak dengan mengadakan Festival Waisak. Acara itu digelar untuk menunjukkan bahwa umat beragama di Indonesia memang beragam, dan karena itu, menolak penyeragaman. Apa saja problematika umat Buddha Indonesia dewasa ini? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Metta Darmasapurtra, salah satu pendiri dan aktivis Forum Samantabadra, Kamis (11/5) lalu.

Sekelompok kaum muda yang tergabung dalam Forum Samantabadra, kemarin (10-12 Mei), memperingati waisak dengan mengadakan Festival Waisak. Acara itu digelar untuk menunjukkan bahwa umat beragama di Indonesia memang beragam, dan karena itu, menolak penyeragaman. Apa saja problematika umat Buddha Indonesia dewasa ini? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Metta Darmasapurtra, salah satu pendiri dan aktivis Forum Samantabadra, Kamis (11/5) lalu.

NOVRIANTONI (JIL): Mas Metta, Anda dan teman-teman Buddha kemarin (10-12 Mei 2006) mengadakan Festival Waisak. Apa yang ingin dicapai festival ini?

METTA DARMASAPUTRA: Pertama saya ingin menjelaskan bahwa saya bukan seorang tokoh Buddha. Saya hanya bicara sebagai penganut Buddhisme yang baru dua bulan lalu mendirikan Forum Samantabadra. Ini adalah forum untuk memperjuangkan pluralisme dan humanisme universal. Untuk itu, kami menyelenggarakan Festival Waisak dari tanggal 10 sampai 12 Mei di Utan Kayu.

Makna waisak secara sederhana adalah peringatan tiga kejadian penting dalam agama Buddha yang kerap disebut Trisuci. Karena itu orang sering menyebutnya Trisuci Waisak. Trisuci adalah peringatan kelahiran, pencapaian kesadaran sempurna, dan “wafatnya” Siddharta Gautama. Tapi, kata wafat maupun kelahiran sebetulnya kurang tepat di dalam Buddhisme. Dalam Buddhisme, tidak dikenal konsep wafat yang abadi. Itu semua adalah proses mimbar lahir, atau lahir-mati, lahir-mati.

JIL: Bagaimana sejarah waisak itu sendiri?

Waisak adalah sebuah tradisi yang berawal dari perkembangan agama Buddha di jalur selatan. Dalam sejarahnya, Buddha lahir di India, lalu berkembang ke utara dan ke selatan. Ke utara melewati India bagian utara, lalu ke Asia Tengah, Cina, Jepang, dan Mongol. Jalur selatan berkembang ke Srilanka, Thailand, Birma, Kamboja, lalu masuk Indonesia. Nah, yang masuk ke Indonesia adalah kedua-dua aliran Buddhisme, Mahayana maupun Hinayana atau Theravada.

Nah, tradisi waisak yang bersumber dari Buddha di jalur selatan itu, sekarang sudah dianggap perayaan bersama, sesuai dengan kapan jatuhnya purnama. Kalau di Jepang atau Cina, bulan purnamanya tidak jatuh pada Mei, tapi bisa Desember atau Oktober. Nah, yang merayakan pada bulan Mei ini khas tradisi selatan.

JIL: Apa yang biasanya dilakukan umat Buddha dalam waisak?

Biasanya dirayakan dalam berbagai macam bentuk ritual yang sudah menjadi tradisi tahunan. Yang jelas, ada upacara di wihara-wihara atau kuil-kuil, dan berpuncak pada acara ke Borobudur. Pendek kata, ada macam-macam upacara, karena agama Buddha sendiri, organisasinya juga beda-beda. Jadi ada yang di Borobudur dan ada yang di tempat lain.

JIL: Kita tahu, agama Buddha lahir di India, tapi di India perkembangannya tidak begitu baik. Bisa dijelaskan sejarah sampainya di Indonesia?

Betul, agama Buddha memang berawal di India, tapi yang sangat menyedihkan, ia relatif “punah” di sana. Dia tidak lagi dikenal. Ketika saya ke India, sulit mencari informasi di mana taman Lubini, tempat lahirannya Siddharta Gautama. Tampaknya, itu bukan tempat yang populer di sana. Justru kakaknya (agama Hindu) yang tetap subur di India.

Baru-baru ini, majalah National Geoghrafic versi Indonesia memuat artikel tentang Buddhisme. Di situ dinyatakan, Budhisme saat ini berkembang pesat di Barat dan di Cina yang komunis. Tapi di Jepang, ternyata hampir punah juga. Jadi kuil-kuil di Jepang relatif menyempit dan Buddhisme disebut sebagai agama yang hanya untuk pemakaman. Jadi hanya dipakai untuk ritual keagamaan.

Di Indonesia, agama Buddha berkembang sejak lama, sejak zaman Sriwijaya. Salah satu peninggalannya yang sedang kami pamerkan di Festival Waisak adalah Situs Muara Jambi, yang luasnya 12 km persegi, peninggalan abad ke-9 sampai ke-14. Tapi kemudian, situs itu tidak berjejak sama. Ia punah dan baru ditemukan lagi tahun 1932. Waktu itu, muncul Java Buddhist Association dengan kedatangan Biksu Narada. Tapi setelah itu pun Buddhisme berkembang terbatas hanya di Jawa, khususnya Jakarta dan Bogor.

Kemudian ia tidak berkembang lagi dan baru muncul ketika kedatangan biksu yang di kalangan Buddha sangat legendaris, Mahabiksu Asin Jinarakkitha. Kalau kita ingat, dulu ada biksu yang jenggotnya panjang sekali. Nah, itulah Biksu Asin Jinarakkitha. Dia yang pertama kali memasukkan kembali dan mengembangkan agama Buddha di Indonesia. Kalau tidak salah, itu sekitar tahun 1954. Sejak itu, baru mulai ada kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Tapi rupa-rupanya, itu pun sudah agak bergeser juga. Agama Buddha setelah itu lebih banyak berkembang di kalangan etnis Tionghoa, dan tidak lagi menjadi agama seperti di zaman Sriwijaya.

JIL: Mas Metta, dalam studi-studi tentang agama Buddha sering dikatakan bahwa Buddhisme adalah agama tanpa dewa-dewa. Bahkan, Sidharta sendiri tidak ingin dirinya disebut dewa. Apakah Buddhisme bisa disebut agama tanpa konsep Tuhan seperti yang dikenal dalam agama-agama semitik?

Menurut saya, sekarang kita harus mulai pengkajian yang lebih serius tentang konsep ketuhanan dalam agama Buddha. Dulu tidak ada ruang untuk melakukan pengkajian seperti itu, karena agama harus diakui oleh pemerintah yang waktu itu dibatasi hanya lima. Dan, prinsip dasarnya harus mengakui adanya Tuhan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Pancasila.

Nah, agama seperti Hindu dan Buddha itu tidak mengenal konsep Tuhan dalam pengertian “kata benda” seperti agama-agama samawi. Karena itu, sebetulnya dalam agama Buddha tidak dikenal konsep Tuhan. Cuma celakanya, kalau tidak mengakui itu, dulu dicap atheis, distempel sebagai orang komunis, dan itu akan repot sekali. Saya dan beberapa rekan pernah mengalami bagaimana harus bolak-balik membuat penjelasan buku putih ke badan intelijen negara.

Waktu itu, umat Buddha Indonesia, minimal sepengetahuan saya, berusaha menyiasati ketentuan. Kami memang tidak mengakui adanya konsep Tuhan, tapi mengakui konsep ketuhanan. Itu jalan tengahnya. Dengan konsep ketuhanan, kami tidak mengakui Tuhan dalam bentuk kata benda, tapi mengakui sifat ketuhanan. Kita mengakui adanya Zat atau sesuatu yang di luar kita, yang dalam pengertian Buddhisme sebetulnya lebih dikenal sebagai hukum yang Mahadahsyat, Mahabergerak sendiri, yang mengatur semua isi alam.

Nah, kita masuk dengan konsep ketuhanan seperti itu. Tapi akhirnya, mau tidak mau, karena diharuskan menyebut personifikasi Tuhan, dalam agama Buddha lalu dikenal nama Sang Hyang Adi Buddha yang dalam literatur-literatur internasional sebetulnya tidak pernah dikenal. Jadi itu adalah personifikasi Tuhan yang hanya ada di kalangan Buddha Indonesia.

Jadi, kita memang harus membongkar betul pola pikir yang sudah dibakukan, yang selama ini harus memandang Tuhan dalam konsep tertentu. Karena itu, mulai saat ini harus ada ruang-ruang diskusi tentang konsep ketuhanan; apa yang disebut konsep ketuhanan, bagaimana sebenarnya konsep ketuhanan itu, dan lain sebagainya?

Tapi yang jelas, banyak sekali buku yang diterbitkan literatur internasional yang menunjukkan sangat besarnya perbedaan konsep tentang Tuhan dalam agama samawi dengan agama bumi, khususnya Buddhisme. Itu tidak bisa disamakan, karena Siddharta sendiri mencapai kesadaran puncaknya dari diri sendiri, bukan dari wahyu. Dari situ saja sudah jelas perbedaan bagaimana nantinya konsep penghayatan keagamaan selanjutnya.

JIL: Bagaimana dengan aliran-aliran dan sekte-sekte dalam Buddhisme?

Di dalam Buddhisme, banyak juga sekte-sekte dan aliran-aliran. Semua beranjak dari beragam penafsiran tentang Buddha. Ketika Sidharta meninggal, belum ada yang namanya kitab suci. Setelah 3 bulan, baru diadakan pesamon pertama. Itu dipimpin oleh murid tertua Buddha untuk memulai rekonstruksi apa yang diajarkan Sakyamuni (julukan yang diberikan kepada Buddha) dan apa-apa aturan yang harus dimuat.

Nah, multitafsir itu menimbulkan banyak pemahaman tentang Buddisme. Karena itu, apa yang saya utarakan tentang konsep ketuhanan misalnya, sudah barang tentu tidak mutlak. Tapi sejauh yang saya tahu, memang tidak ada konsep Tuhan dalam artian seperti agama-agama samawi dalam Buddhisme. Yang ada hanyalah sebuah hukum alam semesta yang kekal dan hukum ini yang mengatur keseluruhannya secara harmoni. Ketika Siddharta mencapai kesadaran sempurna, dia memang sudah inheren dengan alam semesta itu sendiri.

JIL: Bagaimana dengan persepsi adanya kekuatan gaib di luar diri manusia yang diasumsikan akan membimbingnya untuk berbuat baik atau jahat?

Yang saya dalami, tidak ada konsep seperti itu. Sebab kesadaran sempurna Siddharta tidak diperoleh melalui wahyu, tapi dari tahap-tahap pencapaian dan peningkatan kesadaran kejiwaan. Nah, di sini memang ada perbedaan antara Theravada dan Mahayana. Di Mahayana, pencapaian kesadaran Buddha atau kebuddhaan itu menjadi ultimate goal atau tujuan utama seseorang. Karena itu dia terus mencari, berusaha seperti Siddharta untuk sampai ke tingkat kesadaran yang paling sempurna.

JIL: Bagaimana dengan pandangan Buddhisme tentang surga dan neraka?

Sejauh yang saya tahu, dalam Buddhisme tidak dikenal surga dan neraka seperti yang digambarkan dalam agama-agama samawi. Yang dikenal adalah proses hidup-mati, hidup-mati. Jadi kalau pun digambarkan sebuah surga dalam pengertian nirwana, nirwana itupun banyak tafsirannya. Tapi yang saya pahami, nirwana bisa diciptakan di dalam kehidupan kita. Karena itu, ketika kita beribadah, tujuannya tidak untuk mencapai surga yang kelak, tapi bagaimana mencapai keadaan surga itu di dalam kehidupan sekarang.

JIL: Kalau boleh tahu, berapa perkiraan umat Buddha di Indonesia kini?

Saya tidak punya data statistik yang pasti. Tapi sepengamatan saya, tampaknya umat Buddha kini mulai mengalami penurunan cukup jauh. Dulu, agama Buddha bisa berkembang pesat karena inheren dengan etnis Tionghoa. Perkembangan agama Buddha di Cina sendiri bercampur-baur dengan apa yang disebut agama-agama asli. Karena itu, orang-orang etnis Thionghoa di sini merasa dekat dan menganutnya. Tapi ketika orang-orang generasi pertama itu beranjak tua, generasi mudanya lebih memilih agama-agama yang dianggap lebih modern seperti Katolik, Kristen, dsb.

Memang harus diakui, Buddhisme di Indonesia yang berkembang di tahun 1952-an itu tidak seperti perkembangannya ketika zaman Sriwijaya. Kini, kesannya seperti barang antik, kuno, dsb. Kini, pusat penyebarannya memang lebih banyak di kota-kota, dan didominasi etnis Thionghoa. Tapi di desa-desa juga masih banyak, terutama di pucuk-pucuk gunung. Di sana masih banyak umat Buddha dari kalangan pribumi. Namun itu pun rata-rata sudah bercampur dengan Kejawen. Kira-kira penyebarannya seperti itu.

Yang saya tahu, di Indonesia saja minimal berkambang delapan sekte Buddha dari Mahayana dan Theravada. Itulah sekte-sekte yang terbentuk di Indonesia dan tidak ada di negara lain, seperti sekte Kasogata. Itu sebetulnya sekte Buddha yang berkembang di Jawa, kemudian berasimilisi dengan budaya Jawa. Kemudian ada sekte Tridarma; campuran antara Buddha, Konghuchu, dan Laotse. Sekte ini memang lebih terpengaruh Buddhisme di Cina.

JIL: Bagaimana dengan konsep misologinya atau dakwah?

Dari awalnya, Buddhisme hampir tidak punya konsep penyebaran agama, sehingga celakanya, ketika diserang, kerajaan-kerajaan Buddha bisa sampai punah. Kerajaan Sriwijaya itu terdesak dan akhirnya hilang.

JIL: Apakah karena Buddhisme lebih dipandang sebagai ajaran perbaikan diri, bukan untuk berkuasa?

Ya, memang lebih bernuansa seperti itu. Tapi kalau boleh mengkritisi, sebagai umat Budha, kita tidak bisa berlindung dari ciri seperti itu. Menurut saya, agama Buddha di Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding agama lain. Bahkan, tertinggal pula dibandingkan Konghuchu yang baru diakui pemerintah. Meskipun selama ini tidak diakui, mereka lebih maju dalam pengkajian-pengkajian filosofi, dan kiprah dalam dunia keagamaan internasional. Yang saya amati, penganut Buddha Indonesia lebih sibuk dengan urusan sendiri, dan ditambah perpecahan-perpecahan di dalam. Itu yang sangat disayangkan.

JIL: Beberapa bulan lalu, hak-hak sipil Konghuchu diakui pemerintah. Apa dampaknya bagi penganut Buddha di Indonesia?

Dampaknya mungkin merugikan, karena selama ini, agama Buddha diuntungkan dengan tidak diakuinya Konghucu sebagai agama resmi. Dulu, memang ada saja yang tetap bertahan sebagai Konghucu. Tapi sebagian memilih Buddha karena konsekuensinya memang tidak kecil. Saya sendiri pernah menulis tentang Konghuchu dan bagaimana sulitnya menjadi seorang penganut Konghuchu. Tapi saya tetap mendorong pemerintah untuk tetap mengakui Konghucu. Itu hak asasi yang harus mereka peroleh. Karena itu, saya rela-rela saja mereka diakui. Prinsipnya, agama tidak boleh dipaksakan. Kita harus berangkat dari keyakinan terdalam diri kita sendiri.

Namun sebelum agama Konghucu disahkan, di dalam agama Budha---meski diuntungkan—juga terjadi kebingungan. Salah satu contoh adalah bila orang bertanya apa rumah ibadah agama Buddha. Orang bingung antara vihara, kuil, atau kelenteng. Seharusnya jelas, tempat ibadah umat Buddha adalah vihara, sementara kelenteng itu sudah bercampur-baur dengan Konghuchu. Sekarang, ketika Konghuchu sudah diakui sebagai agama resmi, akan jadi PR sendiri; mana kelenteng yang vihara dan mana kelenteng yang Konghuchu. Itu memang harus dibedakan. Menurut saya, itulah problematika yang tersisa ketika sekarang kondisinya mulai berubah. 

JIL: Mungkin pangkal soalnya bukan karena kini Konghucu disahkan, tapi mengapa negara harus mengatur-atur agama sedemikian dalamnya?

Betul. Menurut saya, harusnya negara tidak mencampuri urusan agama, karena begitu negara mencampuri urusan agama, semua akan jadi repot. Di Indonesia, dulu hanya diakui lima agama. Padahal, PBB sendiri mengakui lebih banyak lagi agama. Karena itu, aneh bila batasan agama dibuat oleh manusia, bukan oleh Tuhan. Kok kita sendiri yang menentukan mana yang agama dan mana yang bukan?!

Mas Metta, adakah fundamentalisme dalam agama Buddha?

Saya pikir, kalau melihat esensi kelahiran Buddhisme, seharusnya tidak ada fundamentalisme dalam artian sikap radikal, memaksakan, dan ekspansif. Seharusnya Buddhisme lebih pada penghayatan yang tenang untuk mencapai sebuah kesadaran. Tapi meski demikian, saya melihat dalam umat Buddha Indonesia tetap ada semangat-semangat yang tidak bisa menolerir perbedaan yang satu dengan yang lain. Akibatnya, Borobudur misalnya dijadikan ajang rebutan dua kelompok Buddha dan harus dipakai bergiliran. Ini kan agak disayangkan.

Menurut saya, seharusnya tidak ada sikap seperti itu jika kita bisa bergerak dengan keimanan, sesuai dengan aliran masing-masing. Fundamentalisme dalam Buddha lebih dalam artian mementingkan kebenarannya sendiri secara mutlak terhadap yang lain.

JIL: Bagaimana perasaan umat Buddha ketika Taliban menghancurkan patung Buddha di Bamiyan beberapat tahun lalu?

Soal itu tentu sangat disayangkan. Bukan karena itu milik orang Buddha, tapi lebih karena ia sebuah peninggalan yang bersejarah. Itu sebuah jejak peradaban manusia yang dihancurkan hanya dalam hitungan detik. Saya begitu sedih menonton film itu. Kalau saya tak salah, profesor arkeologi yang sekarang mencari patung Buddha tidur yang jauh lebih besar di sana bukanlah seorang Buddhis, tapi muslim Afganistan. Tentu sakit melihat kejadian seperti itu. Tapi yang juga patut disayangkan, sikap atau kepedulian umat Buddha Indonesia juga hampir tidak ada ketika Borobudur runtuh.

Ketika Pak Daoed Jusuf memperjuangkannya untuk direhabilitasi lewat Unesco, dia berjuang sendiri, tidak didukung pemerintah, dan menurutnya, tidak ada satu pun umat Buddha yang mendukung. Termasuk ketika stupa Borobudur diledakkan. Ketika itu, dia membuat protes terbuka. Tapi tidak ada juga umat Buddha yang peduli masalah itu. Umat Buddha sekarang dituntut untuk lebih bisa memperjuangkan pluralisme agar secara riil diterapkan di masyarakat.

JIL: Anda merasa ada ancaman terhadap pluralisme di Indonesia saat ini?

Saya merasakan itu. Bagaimana pun, Indonesia adalah negara yang dibangun atas kesepakatan bersama. Ketika ada batasan-batasan yang dibuat berdasarkan agama tertentu, ini tentu akan jadi problem. Misalkan batasan tentang aurat. Pemahaman Buddha tentu sangat berbeda dalam soal itu. Kalau itu diterapkan menurut standar tertentu saja, tentu eksistensi kami sebagai umat Buddha akan terbatasi.

JIL: Apa perjuangan pluralisme itu juga yang akan jadi agenda Forum Samantabadra ke depan?

Kalau menginginkan hak, itu harus kita perjuangkan. Nah, selama ini, tidak ada suara dari umat Buddha untuk mendukung perjuangan itu. Karena itu, saya ingin acara seperti Festival Waisak ini menjadi ajang. Meski kecil, minimal itu bisa mengingatkan orang bahwa ada ancaman terhadap pluralisme. Festival Waisak ini juga untuk menunjukkan bahwa pluralisme masih ada di tengah-tengah kita.

JIL: Apakah umat Buddha khawatir akan pluralisme agama atau justru mendorongnya?

Saya termasuk orang yang tidak sepakat dengan definisi pluralisme sebagai dengan semua agama, seperti yang diutarakan MUI. Menurut saya, agama-agama sangat tak mungkin untuk disama-samakan. Yang paling penting bukan semuanya harus satu warna, tapi biarkan berbeda warna tapi tetap serasi. Karena itu, kami membuat Festival Waisak untuk mengingatkan bahwa kita memang beragam dan tidak berangkat dari sesuatu yang homogen. []

22/05/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya kira dalam setiap agama jelas ada beberapa persamaan dan perbedaannya dengan agama yang lain. Persamaannya terletak pada nilai-nilai universal mengenai baik dan buruk dalam hidup bermasyarakat. Dan perbedaannya terletak pada bagaimana setiap agama mengatur hubungan umatnya dengan Tuhan. Dalam hal yang terakhir inilah agama-agama membawa kebenarannya masing masing dan tidak perlu dipertentangkan satu sama lain. Maaf untuk pak Bambang. Persamaan dalam agama yang bagaimana sebenarnya yang bapak maksud? Yang saya lihat dan saya amini dari JIL adalah suatu komitmen akan tauhid. Laa Illah. Hanya ada satu Tuhan, Tuhan segala agama.
-----

Posted by iqbal amrullah  on  06/16  at  03:06 PM

Saya beranggapan bahwa semua agama itu sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan,tetapi yang menjadi perbedaan hanyalah cara menjalankannya. seperti yang kita ketahui,setiap manusia moralnya itu telah di bentuk sejak dini....sehingga itu juga membentuk karakteristik yang berbeda pada setiap orang. Jika semua orang-orang di dunia tidak mempunyai moral yang jelek,maka agama itu sama. terima kasih

Posted by Andy  on  06/13  at  10:07 PM

Saya sngt setuju dngan pernyataan yang diatas,nah klu umt budha saja tdk ingin semua agama disamakan apalagi islam, krn kita tdk bs menyamakan semua agama dngan melihat satu bentuk saja krn bisa jd berbeda dr bentuk yang lain nah kalau sudah begitu tujuanpun akan lain pula,bs jd agama yang satu tujuannya hanya sebatas saja sedangkan agama yang lain masih meluas.

Nah dr situlah kita melihat islam berbeda dngan agama yang lain, krn kalau semua agama disamakan mk akan hancur dunia ini karena hanya islam sndirilah msh berpegang teguh pada yang namanya HALAL&HARAM karena kita masih takut dengan azab Allah hanya orng-orang yang tidak takutlah akan berbuat seenaknya di bumi ini.

Ya mudah-mudahan semua kebaikan yang kita lakukan jg akan dipandang Allah baik karena Allahlah yang maha tahu atas Segalanya akan tetapi kalau kita sudah tahu itu salah akan tetapi tetap kita lakukan jg ya mungkin karena terlalu mengejar dunia sekali dan mungkin karena gengsi maka tunggulah akan azabNya. Mk dr itu sy juga tdk setuju dengan disamakannya semua agama.syukran

Posted by heryandi  on  06/19  at  03:06 AM

Kepada yth Bapak Metta Dasmasaputra

Anda ternyata anti JIL. Kenapa anti JIL? Kerana di JIL semua agama sama, kok anda bisa-bisanya bilang agama berbeda. JIL seharusnya tidak mewawancarai pak Metta nih.

Posted by bambang nih  on  06/04  at  12:06 AM

Apakah Tuhan yang maha sempurna dan maha segalanya harus kita bela dengan mengangkat simbol-simbolnya. dan corong speaker kita keras kan, dan kita siarkan lewat TV, Radio. Sungguh aneh pabila kita mengangkat senjata, dan berkata ini perintah tuhan. baik lewat artikel dan lain sebagainya. Tuhan sudah menghamparkan alam semesta ini dengan penuh kasih sayang. Bisa kah kita menjaganya, dengan kasih sayang pula, agama yang kita anut benarkah dari Tuhan??? ataukah ia hanyalah sebuah presepsi atau asumsi dari orang yang mengasumsikan bahwa dia ada dan dia adalah Tuhan. untyuk itu apakah agama itu????

Posted by saepullah  on  05/28  at  05:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq