Agama: Instrumen atau Tujuan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
25/08/2003

Agama: Instrumen atau Tujuan

Oleh Afriadi

Tentu banyak umat beragama yang merasa heran, miris, dan tak-habis-pikir dengan pandangan (baca: pemahaman keagamaan) para teroris berbasis agama tersebut. Tetapi kalau kita bersedia jujur mengakui kekurangan dan kelebihan agama, maka hal seperti itu pada dasarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah keberadaan agama. Ia merupakan implikasi tak terhindarkan dari eksistensi agama itu sendiri.

Kehidupan dunia makin dihantui oleh
kecemasan karena keganasan terorisme. Koalisi global memerangi terorisme yang
dikomandoi oleh Amerika Serikat pasca peristiwa 11 September 2001 tidak
menciutkan nyali para teroris. Keberhasilan demi keberhasilan dalam sejumlah agenda
yang mereka tuai–Indonesia saja berhasil ‘dipukul telak’ sebanyak dua kali (Bom
Bali dan J.W. Marriott)—telah mendatangkan efek ketakutan bagi siapa saja dan
negara mana saja.

Sampai sekarang, Islam ‘tertuduh’
sebagai agama yang paling banyak menghasilkan teroris. Masyarakat Islam boleh
saja mengecam para teroris sebagai biadab, tidak bertuhan, dan tidak
berperikemanusiaan. Atau mengingkari bahwa teroris itu sebenarnya bukanlah
orang beragama. Tetapi fakta menunjukkan kepada dunia; para pelaku teror
mengakui bahwa perbuatannya itu didasari oleh, dan mendapat legitimasi
doktrinal dari, agama Islam. Aksi yang mereka lakukan dipahami sebagai bentuk
pengabdian tertinggi terhadap nilai-nilai luhur agama; merupakan bentuk
pembalasan terhadap musuh-musuh kosmik, sehingga aksinya dipandang sebagai
mulia, terhormat, dan membanggakan. Apa lagi kemuliaan tertinggi dalam agama
selain ‘pengorbanan tanpa batas’ pada agama itu sendiri?

Tentu banyak umat beragama yang merasa
heran, miris, dan tak-habis-pikir dengan pandangan (baca: pemahaman keagamaan)
para teroris berbasis agama tersebut. Tetapi kalau kita bersedia jujur mengakui
kekurangan dan kelebihan agama, maka hal seperti itu pada dasarnya merupakan
bagian tak terpisahkan dari sejarah keberadaan agama. Ia merupakan implikasi
tak terhindarkan dari eksistensi agama itu sendiri.

Lahir Sebagai Instrumen

Kalau kita tengok sejarah kelahiran
agama-agama, maka semangat awal yang diusungnya pada dasarnya adalah untuk
menciptakan tatanan sosial yang harmonis, berkeadilan, dan memuliakan
kemanusiaan. Musa lahir dengan misi membebaskan masyarakat Yahudi dari
penindasan oleh Raja Ramses II. Isa hadir dalam rangka mendatangkan kasih pada
masyarakat Ibrani papa yang merana di bawah kekuasaan despotisme Romawi.
Muhammad mengemban tugas memperbaiki kebobrokan moral dan menciptakan keadilan
di tengah masyarakat Arab. Masing-masing Nabi ini berhasil mengemban misinya
karena ditunjang oleh pengakuan masyarakat bahwa ia datang sebagai pembawa
ajaran suci (agama) dari Tuhan. Tanpa menisbahkan dirinya pada Kekuasaan Yang
Tinggi, tentu nabi akan sulit melembagakan ajarannya dalam tujuan penciptaan
tatanan sosial yang dia harapkan.

Timbul pertanyaan, kenapa harus
diembel-embeli dengan agama? Tidak cukupkah misalnya sekedar membuktikan bahwa
dia (Nabi) adalah anggota masyarakat yang cerdas, jujur, dan baik hati sehingga
aturan-aturan yang dibuatnya layak dipatuhi? Pada titik ini kita berhadapan
dengan persoalan derajat efektivitas legitimasi. Legitimasi yang
dimaksud di sini merujuk pada konsep Peter L. Berger (Langit Suci,
1991), yaitu pengetahuan yang diobjektivasi secara sosial yang bertindak
untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial. Atau bisa juga disebut dengan
rumusan-rumusan pengesah (legitimating)

Setiap masyarakat tidak pernah kosong dari
legitimasi. Legitimasi itu dibutuhkan dalam rangka pengaturan kehidupan sosial,
yang secara inheren mengandung kerentanan. Rentan, karena ia dihuni oleh
individu-individu yang mempunyai kepentingan dan tujuan bertentangan.
Kepentingan diri dan kebodohan manusiawi sering merusak tatanan sosial yang
didambakan banyak orang.

Pada dasarnya, semua pengetahuan yang
diobjektivasi (melembaga) secara sosial adalah pemberi legitimasi, baik pengetahuan
itu bersumber pada pengetahuan individu (profan) maupun disandarkan pada Tuhan
(sakral). Menurut Berger, legitimasi yang efektif mendukung tatanan sosial
adalah legitimasi yang mensimetriskan antara definisi-definisi realitas
subjektif (bagaimana individu memahami dunia di dalam kesadarannya sendiri) dan
objektif (bagaimana hubungan manusia antar manusia).  Karena, kata Berger,
tujuan pokok legitimasi adalah pemeliharaan realitas, baik pada tingkat
objektif maupun subjektif.

Sejarah peradaban dunia telah membuktikan bahwa
legitimasi agama adalah instrumentalitas legitimasi yang paling tersebar dan
efektif. ‘Keunggulan’ agama sebagai instrumen legitimasi dibandingkan yanglainnya
bisa kita pahami pada dua titik ini: pertama, legitimasi selain agama hanya
mungkin memenuhi tuntutan pemeliharaan realitas pada tingkat objektif, tetapi
sulit untuk perfect pada tingkat subjektif. Kedua, legitimasi
agama menghubungkan konstruksi-konstruksi realitas rentan dari masyarakat
empiris dengan realitas purna. Ia mendapat sandaran pengesah dari–meminjam istilah
Teolog Rudolf Otto—misterium tramendum fascinan (kekuasan yang misterius
dan menakjubkan), sehingga ‘daya paksa’-nya menjadi lebih kuat.

Dalam hubungannya dengan legitimasi
ini, kita bisa mengatakan bahwa tujuan Tuhan menurunkan agama kepada umat
manusia hanyalah sebagai instrumen, yaitu alat yang dibutuhkan bagi
pemeliharaan realitas objektif dan subjektif, alat yang dibutuhkan dalam rangka
memuliakan kemanusiaan. Secara ekstrim bisa dikatakan begini: seandainya
kehidupan sosial tidaklah rentan, maka Tuhan tidak akan menurunkan agama kepada
manusia; atau seandainya legitimasi yang bersifat profan cukup memadai untuk
menjaga tatanan sosial, maka tidak dibutuhkanlah kehadiran seseorang yang
memproklamirkan dirinya sebagai pembawa misi suci dari Tuhan.

Agama menjadi Tujuan

Jika penganut memahami bahwa tujuan
diturunkannya agama adalah sebagai instrumen, sebagai alat, orang seperti A.N.
Wilson (Against Religion: 1992) misalnya tidak akan punya alasan untuk
mengatakan bahwa “agama adalah tragedi umat manusia”. Karena, ketika penganut
memahami agama sebagai instrumen, akan lahir sebuah pandangan keagamaan yang
meletakkan persoalan kemanusiaan pada posisi yang paling tinggi, hatta atas
agama sekalipun, karena agama lahir adalah sebagai pelayan bagi kemanusiaan itu
sendiri.  Karena itu, setiap perbuatan yang menghinakan dan bertentangan dengan
kemanusiaan akan dipandang sebagai menghinakan agama itu (Indonesia patut
bersyukur karena pandangan keagamaan seperti ini relatif cukup berkembang. Kita
mengenal sebutan seperti Islam Liberal, Islam Inklusif, Islam Transformatif,
dsb).

Pertanyaan kita, apa yang salah dalam agama
sehingga ia (juga) melahirkan penganut yang membawa petaka bagi kemanusiaan,
sesuatu yang bertentangan dengan tujuan ia (agama) ‘ada’?

Lahirnya kenyataan yang paradok dengan semangat
utama agama ini tidak bisa dilepaskan dari sifat inheren dari agama itu
sendiri, yaitu menuntut umatnya untuk patuh secara total kepada (ajaran) Tuhan.
Pengingkaran terhadap ajaran Tuhan berarti melakukan penentangan terhadap
kekuasaan kosmis, dan bersiaplah dengan ganjaran yang setimpal.

Tidak ada yang negatif dalam sifat inheren agama
seperti ini. Kepatuhan secara total kepada Tuhan adalah mulia. Pemuliaan umat
beragama kepada persoalan kemanusiaan tidak bisa dinafikan sebagai realisasi
dari rasa ketundukannya kepada Tuhan. Persoalan bermula ketika penganut agama
tidak mampu menangkap semangat inti dari kehadiran agama, juga arti perjuangan
Nabi menyebarkan agama. Mereka memahami dan menunjukkan kepatuhan terhadap
agama sebatas pada doktrin-doktrin yang tertulis, sementara substansi terdalam
dari doktrin, dan kenapa doktrin itu diturunkan oleh Tuhan, tidak mampu mereka
selami.

Resiko terparah dari ketidakmampuan
ini adalah, lahirnya pandangan yang memosisikan ‘agama sebagai tujuan’. Manusia
dipahami hidup untuk agama, bukan sebaliknya. Pandangan seperti ini akan
meletakkan persoalan kemanusiaan sesudah agama. Demi agama, kapan perlu
kemanusiaan pun dikorbankan. Jadi betul-betul berbanding terbalik dengan
perspektif ‘agama sebagai instumen’.  Istilah populer yang dilekatkan kepada
kelompok ini adalah kaum fundamentalis.

Umat yang memandang ‘agama sebagai
tujuan’ akan menyerahkan segenap kehidupannya untuk membela ketinggian dan
keagungan agamanya. Kehormatan tak tertingga akan dia rasakan ketika mampu
menunjukkan pembelaan tertinggi terhadap agama itu: membela panji-panji agama
dari para musuh agama.

Dalam bentuk ekstrem, amalgamasi
antara sikap penyerahan diri secara total kepada agama dengan sikap
menomorduakan kemanusiaan (setelah agama), akhirnya melahirkan sebuah
kenyataan, di mana agama menjadi sumber tragedi kemanusiaan. Setiap individu
yang dipandang sebagai mengotori, merusak, atau ‘menghinakan’ agama, akan
diposisikan sebagai musuh-musuh agama oleh ‘pembela agama’. Dan, dia (pembela
agama) akan merasakan kebanggaan tak terbatas ketika mampu melaksanakan misi
‘memberikan ganjaran pada musuh agama’. Karena persoalan kemanusiaan
diposisikan berada di bawah agama, nyawa individu yang menjadi sasaran ganjaran
dipandang tidaklah penting. Bahkan dia sendiri pun akan merelakan nyawanya
(juga nyawa orang yang terkena imbas) untuk misi pembelaan agama itu ketika dia
tidak mampu lagi mencari alternatif lain yang lebih baik. Terorisme berbasis
agama salah satunya didasari oleh pandangan seperti ini.

Penutup

Sejarah peradaban dunia telah
membuktikan bahwa generasi penganut ‘agama sebagai tujuan’ tidak pernah pupus
dalam roda sejarah, dan tidak akan pernah pupus. Ia akan tetap ada sebagaimana
penganut perspektif ‘agama sebagai instrumen’ juga.

Masyarakat dunia layak cemas dan
was-was selama penganut ‘agama sebagai tujuan’ melihat masih banyak musuh-musuh
agama yang perlu diberi ganjaran. Karena aksinya tidak hanya akan melenyapkan
nyawa orang yang menjadi sasaran ganjaran, tapi juga nyawa mereka yang
kebetulan ketiban sial. Nauzubillahi min zalik.

25/08/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (16)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Mengutip tulisan Mas Wahyudin : ambil bom, sembunyikan, masuk kandang musuh Islam, niatkan jihad fi sabilillah, ikhlaskan diri, dan ledakkan di tengah-tengah musuh --> istisyhad.

Kalau yang kita ledakkan itu tentaranya musuh Islam, bisa kita bilang istisyhad. Kalau yang mati oleh ledakan itu orang yang tidak tahu apa apa termasuk anak anak, apa istisyhad juga? Numpang nanya aja ini sih. Kayak yang ngebom di Marriott hotel itu, termasuk yang mana ya? Belasan sopir taxi yang tak tahu apa apa harus hilang nyawa. Yang hilang nyawa ya sudahlah, keluarganya yg ditinggalkan gimana? Apa semua ini boleh dianggap sebagai colacteral damage?

Maaf, saya awam, jadi kepengin tahu jawabnya dari yang pandai macam Mas Wahyudin.
-----

Posted by Yatiman Adikusumo  on  09/19  at  10:09 PM

Assalamualaiku. wr.wb,

Saya cuman mau komentar soal bom aja nih. Kalo bom dengan niat jihad apakah pasti mati syahid? Apa iya? Khan hanya Allah SWT semata yang akan tahu apakah kita nanti masuk surga apa neraka. Apakah dengan syahid jalan yang dianjurkan untuk mendekatkan ke tuhan? Bukankan islam diturunkan untuk mencegah perbuatan keji dan munkar? Gimana ya? niat syahid tapi yg kena teman sendiri sesama muslim? Teman-teman muslim menjadi susah utk sekolah atau mencari penghidupan yang lebih baik di luar negeri gara2x bom. Ya, semoga aja yg udah berkorban dengan bom syahidnya tidak salah jalan dan tidak masuk neraka karena salah dalam menggunakan “akal"nya yang di karuniai oleh Allah SWT.

Wassalammualaikum. wr.wb

Muhammad Islam

Posted by Muhammad Islam  on  09/10  at  11:09 PM

Ide tentang latta dan uzza pada masa sekarang bukanlah sebentuk patung yang dulu disembah, akan tetapi boleh jadi suatu “ide atau pemikiran” yang dianggap sebagai penyelamat umat manusia. Seperti apa yg kita saksikan hari-hari ini ...

Bom bunuh diri berbeda dan lain sama sekali dengan bom istisyhad (mencari syahid). coba bandingkan:

ambil bom kemudian ledakkan di pangkuan kita --> bunuh diri ambil bom, sembunyikan, masuk kandang musuh Islam, niatkan jihad fi sabilillah, ikhlaskan diri, dan ledakkan di tengah2 musuh --> istisyhad

Posted by Wahyudin  on  09/08  at  08:09 AM

Stigma yang buruk telah menimpa institusi agama pada hari ini.dengan dalih memerangi musuh-musuh “Tuhan"mereka oknum yang beragama membuat kerusakan dan menciptakan tragedi kemanusiaan. Bom bunuh diri (kamikaze)dianggap sebagai obat yang manjur untuk melepaskan diri dari cengkraman kaum kapitalisme global, tanpa memperdulikan siapa yang menjadi korbannya.

Walaupun kita sepakat hari ini Islam atau agama apapun tidak pernah menganjurkan ummatnya untuk berbuat kerusakan dan membunuh. Itu adalah perbuatan oknum manusia yang beragama yang tidak memahami agama sebagai sebuah instrumen tapi sebagai tujuan. Ketika agama menjadi tujuan maka agama akan kehilangan fungsinya sebagai rahmatan lil’alamin, dan agama akan menjadi sebuah berhala kontemporer an sich. Latta dan uzza tidaklah mesti sebuah patung akan tetapi ketika kita telah terjebak dalam sebuah pengkultusan buta maka agamapun bisa menjadi berhala.

Posted by M.Riza Fahmi  on  09/04  at  06:09 PM

Menarik sekali tulisan yang anda ketengahkan bahkan saudarapun merelakan diri disebut sebagai teroris. Dengan anda saya jadi teringat dengan yang namanya seorang begalkelas kakap ‘Lokananta’ pada masa pemerintahan tumenggung Wilaguna di daerah kekuasan Majapahit waktu itu. Oleh sebagian masyarakat yang merasa “tertolong” dengan tingkah lakunya ia begitu dipuja sebagai dewa penolong.

Walaupun dengan pekerjaannya sebagai begal-kecu, ia tetap dianggap sebagai sang penolong. Namun bagi mereka yang kehilangan harta bendanya maka ia akan menganggap lokananta tak lebih sebagai sampah masyarakat, seseorang yang senantiaa meresahkan hati masyarakat.

Pada akhir petualangannya sebagai kecu-begal kelas kakap yang teramat sakti ia harus tunduk kepada seorang tua kaya yang membawa sebuah tongkat yang ujung tongkat itu berkilau karena terbuat dari emas mutu manikam.

Orang tua itu secara fisik dan kesaktian memang kalah bila dibandingkan dengan Lokananta. Namun,...orang tua itu menangis bukan karena telah terebut tongkatnya, namun ia menangisi mengapa dirinya sampai menyakiti makhluk Tuhan yang lain yaitu sejumput rumput yang tercerabut dari akarnya.

Akhirnya sang begal harus terperangah dengan keinginannya sendiri yang ternyata malah diberikan oleh sang Orang Tua dengan menunjuk pohon aren yang berubah menjadi emas yang bila ia mau orang tua itu mempersilahkannya untuk memetik pohon berbuah emas itu. Si Begal yang semula gagah perkasa ternyata harus tunduk didepan Orang Tua itu. Dan untuk menebus keselahannya diwaktu dulu sang orang tua menyaratkan bahwa ia harus menunggui tongkatnya sampai tiba waktunya untuk ia ambil kembali.

Mungkin lewat sepenggal kisah di atas dapat kita fahami apa itu sebenarnya menegakkan syariah Agama. Karena sebagaimana bisa dimafhum bahwa cara-cara penegakkan syariat adalah dengan hikmah dan mau’idhoh hasanah. Bahkan sejarahpun mencatat peringai sang Can’t Do No Wrong selalu membimbing orang-orang disekitarnya yang memang cara pandang yang membentuk budaya mereka berbeda dengan yang ia pahami sebagai konsep Islam. suatu konsep keuniversalan dan humanisasi.

Posted by Ishlahuddin  on  09/04  at  05:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq