Agama, Riwayatmu Kini - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
04/03/2010

Agama, Riwayatmu Kini

Oleh Saidiman Ahmad

Barangkali benar bahwa para pemuka agama sekarang masih memiliki sejumlah peran sosial. Tetapi kita saksikan dengan mata telanjang bahwa peran-peran itu semakin hari semakin terkikis dan cepat atau lambat akan habis. Pada kondisi semacam ini, kekhawatiran akan ada parade kemunculan agama-agama baru sungguh tidak beralasan. Yang terjadi justru adalah bahwa semakin banyak manusia yang sangsi terhadap mitos-mitos kebenaran yang diciptakan oleh para pemuka agama.

Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Koran Tempo, 4 Maret 2010

Dalam sidang Mahkamah Konstitusi yang membahas judicial review atas Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Menteri Agama Suryadharma Ali serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar secara tegas meminta Mahkamah Konstitusi menolak pencabutan undang-undang tersebut. Mereka menyatakan, jika undang-undang itu dicabut, akan banyak muncul agama baru di Indonesia. Dan kondisi semacam itu akan menciptakan kekisruhan dan aksi anarkistis.

Mari kita telusuri keabsahan pendapat kedua menteri tersebut. Memang benar, jika undang-undang itu dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, akan terbuka peluang bagi siapa pun untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya. Selama ini undang-undang itu menjadi alat pemerintah dan masyarakat untuk mengkriminalkan pendapat-pendapat baru mengenai agama.

Tetapi hal itu bukan berarti bahwa benar-benar akan muncul banyak agama baru. Sebenarnya era kemunculan agama-agama telah terjadi jauh sebelum masa sekarang. Di masa lalu, di era kegelapan, banyak orang membuat agama. Menurut sejumlah ahli sejarah dan filsafat agama, agama lahir sebagai bentuk pelarian manusia dari ketidakmampuan menjawab fenomena alam.

Itulah sebabnya begitu banyak nabi yang lahir pada masa kegelapan itu. Filsuf sosial Auguste Comte menyatakan bahwa dunia ini bergerak maju dengan beberapa tahapan: tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positivis. Tahap teologis ketika agama-agama lahir telah lama tertinggal. Antusiasme membangun agama pada masa kini jauh lebih berkurang daripada pada masa-masa ketika ilmu pengetahuan belum berkembang. Yang tersisa saat ini adalah pengikut dari agama-agama yang sudah sangat lama dan tua. Fakta bahwa agama-agama mayoritas penduduk dunia dilahirkan pada ribuan tahun yang lalu menunjukkan bahwa pada masa sekarang mendirikan agama adalah sesuatu yang sangat tidak menarik.

Masa sekarang adalah masa ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi mudah percaya terhadap cerita-cerita mitos yang tidak berbukti. Pelbagai penemuan di bidang ilmu pengetahuan telah mengajarkan manusia untuk menggunakan nalar dan perangkat indranya untuk mengamati sendiri setiap gejala dan memberi kesimpulan sendiri. Memang betul bahwa masih sangat banyak penduduk dunia yang beragama. Tetapi kita bisa saksikan bahwa umat beragama ini sudah sangat berbeda jauh perilakunya dengan umat pada masa-masa awal agama itu lahir dan berkembang.

Pada masa lalu, semua persoalan dunia bisa ditanyakan kepada kaum agamawan, seperti sakit, kesedihan, fenomena alam, dan seterusnya. Sekarang sudah sangat langka orang yang lari ke pemuka agama ketika ia sakit perut dan susah buang air besar. Mereka mengerti bahwa resep obat dari mantri di puskesmas jauh lebih mujarab daripada seribu kali jampi seorang kiai. Orang yang sedang dirundung sedih akan mencari psikiater atau berlibur di tempat wisata atau menyanyi di tempat karaoke daripada mendengarkan ceramah seorang ustad, yang boleh jadi menambah beban kesedihannya. Menghormati bulan dan matahari di saat gerhana tidak lagi menarik karena semua orang mulai tahu bahwa hal itu adalah fenomena alam biasa yang terjadi dalam jangka waktu yang bisa diukur.

Kita tentu belum melupakan peristiwa Pemilihan Umum 2009. Saat itu pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto paling rajin menggandeng ulama dan kiai. Tidak tanggung-tanggung, dua organisasi gudang ulama, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, mengeluarkan pernyataan resmi untuk mendukung pasangan ini. Di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan sebagainya, forum-forum kiai mengeluarkan pernyataan bersama mendukung JK-Win. Yang terjadi kemudian adalah kekecewaan para kiai dan ulama karena ternyata imbauan dan seruan mereka sama sekali tidak punya dampak signifikan pada perolehan suara JK-Win. Pasangan ini hanya memperoleh angka 12 persen dan berada di nomor terakhir perolehan suara.

Fenomena ini membuktikan, masyarakat Indonesia--yang sering dianggap sebagai masyarakat agamis--mengetahui bahwa ulama dan kiai tidak memiliki otoritas untuk menentukan pilihan penyaluran aspirasi politik warga. Dalam menentukan pilihan politik, masyarakat tidak lagi bergantung kepada orang lain. Sebab, jaringan informasi melalui media massa memberi mereka pengetahuan yang cukup, acap kali lebih baik dibanding ulama dan kiai, mengenai percaturan politik.

Barangkali benar bahwa para pemuka agama sekarang masih memiliki sejumlah peran sosial. Tetapi kita saksikan dengan mata telanjang bahwa peran-peran itu semakin hari semakin terkikis dan cepat atau lambat akan habis. Pada kondisi semacam ini, kekhawatiran akan ada parade kemunculan agama-agama baru sungguh tidak beralasan. Yang terjadi justru adalah bahwa semakin banyak manusia yang sangsi terhadap mitos-mitos kebenaran yang diciptakan oleh para pemuka agama.

Studi yang dilakukan oleh Pippa Norris dan Inglehart menunjukkan bahwa tingkat religiositas ditentukan oleh keamanan eksistensial manusia. Semakin manusia merasa aman secara eksistensial, kebutuhan-kebutuhan hidupnya terpenuhi, agama akan semakin menjadi tidak penting. Masyarakat dengan tingkat kemakmuran yang tinggi cenderung tidak lagi peduli terhadap agama. Sementara itu, religiositas pada masyarakat terbelakang masih cukup tinggi. Tetapi tren umum menunjukkan bahwa ada perkembangan positif mengenai kesejahteraan penduduk dunia. Pengentasan buta aksara, perbaikan fasilitas kesehatan, dan peningkatan mutu pendidikan menjadi program-program unggulan pemerintah pada negara-negara miskin. Dampak langsung yang terasa adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia. Norris dan Inglehart kemudian menunjukkan bahwa bahkan di negara-negara yang terbelakang pun terjadi penurunan tingkat partisipasi keagamaan.

Dalam kondisi ketika semua pemenuhan hidup bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan kemampuan manusia, apakah yang bisa ditawarkan oleh agama? Jika agama tidak bisa menjanjikan sesuatu yang lebih bernilai dari sekadar janji-janji surga dan neraka, bukan hanya agama baru yang akan ditolak oleh masyarakat dunia, melainkan juga agama-agama lama.

Dan fenomena itu telah terjadi di sekitar kita. 

04/03/2010 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (40)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya rasa kemampuan daya pikir kitalah yg bisa membantu dalam menjalani hidup ini

Posted by Today Hot news  on  10/03  at  12:20 PM

Berbicara AGAMA adalah berbicara TAWARAN ... Setiap TAWARAN ... Pasti berbeda RESPONSE yang akan diberikan ...Bisa saja MENOLAKNYA ... Kadang menyebut dirinya dengan AGNOSTIK dan kadang ekstreemnya menyebut dirinya ATHEIST ... Namanya saja TAWARAN ... Pasti ada PENJELASAN atas APA, SIAPA, KAPAN, DIMANA, MENGAPA dan BAGAIMANANYA ?

Yang seru ... Dalam masalah KETUHANAN ini ... HANYA TUHAN ISLAM ...Yang begitu PEDENYA ... Menjelaskan diriNYA ... Yang TERTULIS dalam Al QUR’AN
Siapa DIRINYA SESUNGGUHNYA ... Bahwa DIALAH SATU-SATUNYA TUHAN ... TIDAK ADA YANG LAIN ... Nah ... Kalau ada TUHAN yang lain, PASTILAH TERSINGGUNG ... Dan akan MENCIPTAKAN TANDINGAN atas TUHANNYA ISLAM ini ... Karena ISLAM itu AGAMA TERAKHIR ... Maka KOK NGGAK ADA ...
Yang NAMANYA KITAB SUCI yang turun belakangan ... Yang MEMBANTAH AL QUR’AN ?  Kenapa ya ? Pasti ada APA-APANYA ... ? Ini saja kalau kita mau berpikir akan dapat banyak hal-hal mendasar akan kebenaran ... Sedemikian PEDENYA TUHANNYA ISLAM itu ... Sampai MEMBUAT KATEGORISASI ...
MUKMIN --PERCAYA--KAFIR --PENENTANG-- MUSYRIK --DISTORSI ASOSIASI PROILE TUHAN--MUNAFIQ --PLINTAT PLINTUT-- Yang namanya MANUSIA diukur dalam UKURAN ini ? Nggak PEDULI ... Seberapa baik orang tersebut dalam konteks hubungan antar manusia --human being relationship-- Kalau bukan TUHAN yang SEBENARNYA ... Pastilah TAKUT membuat KATEGORISASI seperti itu ... Suatu KATEGORISASI yang begitu GAMBLANG dan TERANGNYA ... Tidak SETENGAH-SETENGAH apalagi ABU-ABU ... Begitu CLEAR and PURE-nya sehingga kalau dibuat permisalan yang CLEAR and PURE itu adalah AIR di suatu KOLAM, maka AIRNYA itu adalah air yang sangat jernih sehingga obyek-obyek yang ada di suatu kolam akan kelihatan apa adanya. Mana pasir, mana ikan --termasuk jenisnya--, batu dsb. Coba kalau airnya BUTEK ... Ha ... Ha ... Ha ... Obyek-obyek yang ada di kolam jadi kabur ... Nggak jelas ... Mana ikan mas, mana gurame, mana lele dsb ... Kalau itu BUKAN dari TUHAN yang sebenarnya ... PASTI KEDER ... Yang akhirnya NGACIR ... Saat membuat kategorisasi tersebut ... Maksudnya apa ? Itu lho ... Kalau ada ayat-ayat yang MENCEKAM ... Delete ... Kalau ada ayat-ayat yang menyenangkan ... POLES ... Yang akhirnya TERDISTORSI ... Jadi BERAGAMA itu ... Lihat juga dalam BAHASA KEKINIAN ... Ambil contoh ... Saat para SAHABAT berjuang dengan NABI MUAMMAD ...,para SAHABAT ini tahu LANGSUNG “KEHEBATAN” NABI MUHAMMAD ini ... Bukan KATA ORANG ... atau KATA yang lain ... Tapi PENGALAMANNYA SENDIRIlah yang MEMBUKTIKAN hal itu ... Makanya MEMBEKAS ... Sehingga DAYA JUANGNYA ... LUAR BIASA ... Tapi sekarang ... NABI TIDAK ADA ... Yang ada adalah TINGGALANNYA ... Apa itu ? Yaitu Al QUR,AN dan HADIST ... Kalau boleh dimisalkan dengan dunia pendidikan ... Anak didik diperlihatkan sejumlah gambar suatu obyek, bisa binatang, tanaman dsb. Jelas para anak didik ini tahu akan hal tersebut tapi akan jauh membekas kalau dipelihatkan binatangnya atau tanamannya sendiri, maka hal itu JELAS akan sangat MEMBEKAS.

NABI SUDAH TIADA --FISIK--, memang mewariskan Al QUR’AN dan HADIST ... Sehingga orang-orang akhirun ini TIDAK DAPAT MERASAKAN “RASA’ bersama NABI. Tapi ALLAH ADIL, dimana ILMU PENGETAHUAN TELAH DIBUKA meskipun melalui orang-orang NON MUSLIM ... Akan BERBAGAI ASPEK YANG ADA DISEKITAR kita. Dari ILMU PEGETAHUAN inilah ... Kalaulah kita mau MEMANFAATKAN atau MELIHATNYA sebagai jalan melihat KEBESARAN TUHANNYA ISLAM yaitu ALLAH, maka eskipun NABI sudah tidak bersama kita ... Kitapun TETAP BERSEMANGAT menuju kepada ALLAH SWT.

Posted by HP  on  04/15  at  09:44 AM

Untuk Myra:
Menurut saya akar sistemis problem umat Islam adalah penempatan Qur’an kemudian Hadis dipuncak struktur logika umat Islam diatas nalar dan kemanusiaan.
Pendidikan tinggi hanya akan menambah daya rusak umat Islam bila struktur logika diatas yang digunakan.
Taliban adalah contoh, anda tidak akan menemui kesalahan dgn logika mereka bla anda strict dgn struktur logka diatas. Mereka adalah contoh pengamal ketat Qur’an & Hadis sebagai petunjuk praktis hidup.
Sebagai petunjuk praktis Quran hanya akan kompatibel diera dimana ia diturunkan. Sebagai contoh, perbudakan yg diregulasikan dalam Quran adalah sesuatu yang tidak dapat ditolerir lagi pada masa kini. Semut yg berbicara pada Sulaiman juga tidak bisa diterima berdasarkan fakta ilmiah bahwa logika kompleks yg diperlukan untuk berbicara belum berkembang pada semut.
Kita seharusnya mengambil semangat aukflarung - berani menggunakan nalar kita sendiri dan bertanggung jawab pada Allah. Kita menempatkan Quran sejajar dgn kitab2 lainnya, kemudian mengambil langkah kita sendiri secara bertanggung jawab.

Posted by Harun  on  04/13  at  08:15 AM

saya pikir sdr Harun, pertumpahan darah yang terjadi pada kasus beda pendapat tentang agama disebabkan mereka tidak menggunakan akal tetapi emosi, sehingga cenderung membabi buta. Saya yakin para penyuka perang dan pembunuhan itu sama sekali tidak mengerti agama. Sedangkan perbedaan pendapat dalam sains, tentu saja pakai otak, jadi untuk apa saling membunuh. Ini contoh untuk selalu memakai otak dan berpikir rasional, jadi yang palling penting adalah prendidikan. Ajaran Islam tidak akan dimengerti oleh individu yang bodoh, sehingga mereka menggunakan emosi. Yang terp3nting pendidikan---belajar---pakai otak.

Posted by myra  on  03/31  at  10:53 PM

Manusia diberi kesepurnaan akal tentu,memang,dan harus digunakan berfikir.Dari itu agama(islam) menyebut kita sebagai HAYAWAN AN-NATIK. Namun sehebat apapun akal kita tidak akan mampu menganalogikan KEHENDAK Allah atau bujur Allah itu sendiri.Sampel: pernahkah kita tahu kemana AKAL kita saat kita tertidur?! Faqully ya JAHUL...!!

Posted by Sakera  on  03/29  at  05:38 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq