Alquran bisa Dianulir oleh Teori Ilmiah Baru - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
24/02/2002

Nirwan Ahmad Arsuka: Alquran bisa Dianulir oleh Teori Ilmiah Baru

Oleh Redaksi

Soal Maurice Bucaille ini, ketika pertama kali ia muncul sejumlah orang bersorak karena implikasi dari penjelasannya adalah Alquran sudah banyak berbicara sejak 14 abad sebelum penemuan-penemuan oleh ilmuwan cemerlang di seluruh dunia. Tapi mereka lupa bahwa teori-teori ilmiah itu bersifat tentatif, setiap saat bisa diubah oleh teori yang lebih bagus. Kalau para pendukung Bucaille tetap berpatokan dengan mencantolkan ayat dengan teori ilmiah maka mereka merisikokan ayat tersebut untuk suatu waktu dianulir pada saat teori ilmiah tersebut difalsifikasi.

Keterlibatan intensif terhadap kegiatan riset ilmu pengetahuan dan teknologi jangan diartikan mengurangi andil dan peran Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam ini. Bagi Nirwan Ahmad Arsuka, alumnus jurusan Teknik Nuklir UGM Yogyakarta, seseorang yang aktif melakukan riset bisa berimplikasi pada naiknya grafik keberislamannya. Namun demikian, Nirwan, yang aktif menulis tema-tema sains dan Islam di Jurnal Ulumul Qur’an ini, tidak sependapat dengan respon sebagian muslim yang selalu mengaitkan temuan saintis dengan ayat-ayat Alquran. Bagi Nirwan yang kini memegang suplemen Bentara di harian Kompas, sikap seperti itu justru membuat Alquran harus menghadapi risiko suatu saat dianulir oleh temuan baru.

Berikut petikan perbincangan Nirwan Ahmad Arsuka dengan Ahmad Sahal dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) yang disiarkan Jaringan Radio 68H di seluruh Indonesia pada tanggal 7 Februari 2002.

Bung Nirwan, saat ini tumbuh kesadaran baru untuk melakukan penyerapan besar-besaran iptek. Namun di dunia muslim masih saja timbul perasaan bahwa iptek telah mengambil alih andil Tuhan.

Sebenarnya gejala yang Anda gambarkan tersebut tidak khas terjadi di negara-negara muslim. Hampir bagian dunia yang kita sebut Dunia Ketiga, bahkan bekas jajahan Uni Soviet, menunjukan gejala adanya kesadaran yang relatif lebih baru untuk menyerap sebanyak mungkin perangkat teknologi. Akan tetapi, kultur pandangan dunia yang berada di belakang pandangan teknologi tersebut tidak diserap cukup bagus. Bahkan ada kecenderungan untuk menolak. Kecenderungan ini muncul sangat kuat di dunia muslim, diusung oleh mereka yang membawa panji-panji yang mereka sebut islamisasi sains.

Apa dan bagaimana kultur sains yang Anda maksud?

Kultur sains berangkat dari anggapan bahwa apa pun yang ada di dunia ini bisa dijelaskan dengan hukum sebab-akibat yang coba dipahami dengan rasio. Termasuk juga dengan satu keyakinan bahwa dengan sains dan teknologi kita bisa dibebaskan dari kekuatan-kekuatan yang selama ini dianggap berasal dari dunia luar, atau berasal dari kekuatan supranatural, entah itu bernama Tuhan, mistik, dan lain-lain. Intinya adalah supremasi rasio.

Bukankah hal itu justru ironis? Dalam Alquran banyak sekali anjuran untuk mengamati alam, berfikir, dan komitmen untuk bersikap ilmiah. Bagaimana Anda menjelaskannya?

Banyak penjelasan yang dapat dipaparkan, terutama ketika kita mengingat misalnya di dalam Alquran tadi ada ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengamati bagaimana langit ditegakkan, bagaimana bumi dihamparkan, dan seterusnya. Fakta-fakta alam yang disebutkan dalam Alquran berjumlah hampir seperdelapan dari keseluruhan ayat Alquran, sementara ayat yang menunjuk perintah untuk melakukan berbagai ritual yang sekarang ini mendominasi tafsir atas alquran, justru berjumlah tidak terlalu banyak.

Pada intinya, ayat-ayat ritual-peribadatan jauh lebih sedikit dari perintah untuk mengamati alam dan memikirkannya. Ini ironi yang pertama. Yang kedua adalah justru pada awal kemunculan peradaban sejarah Islam, umat Islamlah yang menjadi pengusung kekuatan-kekuatan berpikir dengan menggunakan akal sehat. Ketika itu di sebagian belahan Eropa justru tenggelam dalam —apa yang disebut— abad kegelapan. Sampai sekarang kita juga melihat warisan ilmiah dari peradaban muslim awal ini. Jejak-jejaknya bisa kita temukan pada banyak cabang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, aljabar, dan lain-lain berkembang dan maju.

Jadi kita sebenarnya memiliki referensi bagus dalam iptek pada masa lalu?

Memang demikian. Namun sekarang ini fakta sosiologis membuktikan bahwa umat Islam berada pada barisan paling belakang bila diukur dari perkembangan teknologi. Memang penjelasannya banyak, tapi menurut saya yang paling bisa menjelaskan hal tersebut adalah adanya perubahan penafsiran terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kita bisa melihat kecenderungan awal Islam begitu terbuka menyerap berbagai macam sumber yang ada di sekitarnya kemudian beralih dan cenderung ada penyempitan. Masyarakat muslim kemudian lebih tertutup. Mereka merasa cukup dengan sumber-sumbernya sendiri, kemudian —dan ini yang lebih berbahaya dan lebih rancu, yaitu— menyamakan antara kegiatan ilmiah dengan praktik-praktik sekuler. Atau lebih parah lagi, menganggap bahwa sains dan teknologi berasal dari Barat, tidak dilihat sebagai upaya manusiawi dari manusia untuk memahami lingkungannya untuk bertahan hidup.

Secara umum respon umat Islam terhadap sains itu seperti apa? Adakah yang cenderung pragmatis, dalam arti kata menerima teknologi, tetapi menolak pandangan dunia saintifik yang dianggap anti-Islam? Mungkin penjelasan Anda bisa dikaitkan dengan usaha mengislamkan sains lewat islamisasi sains yang ditempuh sebagian umat Islam.

Benar memang, belakangan ini ada sejumlah kalangan dari masyarakat muslim yang mencoba melihat situasi ini lebih pragmatis. Mereka menyerap buah teknologi tersebut, menyerap teknik-tekniknya, tetapi tetap mengecam asumsi-asumsi dasar pandangan dunia tersebut.

Hukum sebab-akibat mestinya tidak dijelaskan dengan intervensi Tuhan, yang dalam disiplin ilmiah dimusuhi. Satu prinsip dari metode ilmiah adalah jika sesuatu bisa dijelaskan dengan fenomena fisik dengan gejala-gejala alam ini, maka memasukkan intervensi Tuhan adalah tindakan salah secara epistemologis.

Dari sisi ini saja sudah ada perbedaan diametral antara mereka yang mempromosikan kemajuan berpikir dengan mengandalkan kekuatan rasio manusia dengan mereka yang tetap menghendaki segala hal harus dijelaskan dengan intervensi Tuhan. Sebenarnya ada contoh-contoh yang menarik dalam karir sejumlah ilmuwan muslim. Misalnya satu contoh yang paling saya suka adalah muslim yang pertama memenangkan hadiah Nobel, Prof. Abdussalam. Abdussalam tetap seorang yang religius, bahkan di kantornya dia memajang satu gambar yang berisi ayat Alquran. Namun demikian ia juga tetap melakukan riset dan memberikan kontribusi penting dalam khazanah fisika mutakhir. Dia bisa mendamaikan antara kedua hal tersebut. Mendamaikan antara pencarian intelektual manusia untuk menjelaskan gejala-gejala alam dengan kehadiran kekuatan supranatural, dalam hal ini Tuhan, yang bekerja di balik kekuatan-kekuatan alam tersebut.

Bagaimana Abdussalam mendamaikan dua pandangan yang sekilas berbeda secara diametral tersebut?

Sebelumnya saya jelaskan bahwa Abdussalam tidak mengambil jalan pintas menjelaskan semua ini dengan mengembalikannya pada Tuhan. Dia tetap melakukan riset dan mempelajari bagaimana gaya-gaya alam itu bekerja; bagaimana ini bisa disatukan dengan akibat bahwa kegiatan tersebut memperkaya intelektual manusia tentang mekanisme alam semesta ini bekerja; bagaimana hukum-hukumnya berjalan. Kalau kita ikuti terus konsekuensi pemikiran ini, akan banyak hal yang secara tidak langsung akan bisa memajukan peradaban manusia itu sendiri.

Akan tetapi, dalam kenyataannya orang seperti Abdussalam terkucilkan dari komunitas Islam. Dalam arti, dia dianggap tidak mewakili Islam karena berasal dari aliran Ahmadiyah, misalnya. Bagaimana Anda menjelaskan gambaran umum secara lebih rinci tentang Islamisasi sains?

Kita mulai dari pandangan ortodoks, yang melihat kegiatan ilmiah murni sebagai kegiatan sekuler. Kegiatan yang mencoba mengurangi wilayah kekuasaan Tuhan karena kaum ortodoks melihat bahwa penjelasan yang menggunakan akal sehat terhadap keajaiban Tuhan tersebut telah mengambil alih peran Tuhan. Misalnya peran Tuhan di situ yang sebenarnya bisa dijelaskan oleh rasio, justru mereka tolak secara total. Hal itu tidak saja berangkat dari pandangan bahwa dunia sains yang memang mereka tuding anti religius dan atheis, tetapi juga menolak hasil-hasilnya. Alasanya, menurut mereka, dianggap kegiatan dari perpanjangan yang tak bertuhan.

Pandangan tersebut semakin merosot didesak oleh kenyataan di mana kehadiran sains dan teknologi semakin tidak bisa dibendung. Juga dengan fakta melajunya iptek yang mampu menjelaskan hal-hal yang paling pragmatis seperti pemurnian air minum sampai ke hal-hal yang lebih vital seperti teknologi pembedahan otak yang disumbangkan oleh teknologi mutakhir ini. Mereka lebih terbuka, dan kita melihat bagaimana kelompok ortodoks ini kemudian beralih menjadi kelompok pragmatis.

Kelompok pragmatis ini yang mencoba menyerap buah teknologi sebanyak mungkin tetapi tetap mempertahankan pandangan religusnya, yakni bahwa pada dasarnya pandangan sains dan teknologi itu bukan islami. Itu kegiatan yang anti Islam karena memperkecil peran Tuhan. Mereka ini yang kemudian bermetamorfose menjadi kelompok yang mencoba mengislamkan pengetahuan tersebut. Dan mereka berpikir; kalau sejumlah sejumlah asumsi-asumsi dasar itu diislamkan, maka akan memunculkan buah teknologi yang bersifat Islami.

Bagaimana sikap Anda sebagai penggiat iptek menyikapi kelompok pengusung islamisasi sains tersebut?

Menurut saya, pada awalnya pandangan ini sudah salah. Keinginan mengetahui yang ada di alam ini adalah dorongan naluriah dalam diri manusia karena tanpa itu tidak mungkin kita bisa bertahan hidup. Kalau kita tidak mengetahui hujan; bagaimana mengantisipasinya, bagaimana gejala-gejala ini bekerja, bagaimana kita menghindari dampak buruknya, maka tidak akan mungkin kita bertahan di tengah lingkungan yang terus berubah ini. Memahami fenomena alam itu bukan kegiatan anti religius. Bagi kelompok pragmatis yang memperjuangkan islamisasi ilmu pengetahuan, pada dasarnya itu dianggap tidak Islami.

Cara berpikir itu harus dirombak. Saya tidak tahu bagaimana perombakan itu berlangsung, tetapi beberapa contoh menunjukkan bahwa apa yang disebut pengetahuan islami justru menjadi karikatur dalam perkembangan ilmu pengetahuan karena dasar-dasar teorinya sangat lemah, mudah dibantah, dan tidak cukup meyakinkan. Kalaupun islamisasi teknologi ini bisa memberikan sumbangan, itu terjadi pada pilihan-pilihan teknologi. Memang kita perlu semacam etik yang bisa menjadi penuntun kita untuk melakukan pilihan-pilihan pada teknologi yang jumlahnya sangat banyak. Kemungkinan-kemungkinannya juga sangat besar dengan konsekuensi yang belum bisa kita tebak sekarang. Di situ khazanah religi bisa sangat menolong untuk membantu manusia melakukan pilihan-pilihan yang tepat.

Bukankah itu menunjukkan kontribusi positif agama terhadap iptek?

Yang saya harapkan, kita tidak hanya sampai di situ. Kita seharusnya tidak hanya pada policy, tetapi penciptaan teknologi dan pengembangan kultur teknologis dan ilmiah ini. Fungsi seluruh agama sebenarnya sama, dan tafsir yang terlalu literer terhadap ajaran Islam yang diimposisikan pada perkembangan ilmu pengetahuan, akan merugikan bukan hanya pada perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, tapi juga umat Islam.

Secara jujur kita harus katakan bahwa kita hanya menjadi parasit. Kita hanya memanfaatkan temuan orang, tetapi tidak memberikan kontribusi balik terhadap khazanah yang dikembangkan oleh ilmuwan cemerlang, yang dianggap tidak Islami.

Selain kelompok-kelompok yang Anda jelaskan di atas, orang seperti Abdussalam masuk kategori mana?

Jadi Abdussalam mewakili mereka yang terjun langsung dalam riset dan tidak apriori terhadap iptek karena memang mereka terlibat sendiri dengan kegiatan ilmiah ini. Hal ini tidak menyebabkan keberislaman mereka semakin merosot, tapi justru iman mereka semakin kokoh. Mereka meyakini bahwa di balik fenomena alam ini ada sesuatu kekuatan yang bisa disebut Tuhan. Pemahaman mereka tentang Tuhan sudah berbeda dengan yang dipahami secara umum. Mereka lebih rendah hati, sebagaimana yang terjadi pada Abdussalam.

Namun di sisi lain, Abdussalam juga semakin percaya diri bahwa masyarakat muslim bisa kembali merebut posisinya sebagai kelompok yang memberikan kontribusi penting bagi pengetahuan dan kebudayaan manusia, dan juga bisa terus menerus mendamaikan antara pandangan religius sekaligus pandangan progresif terhadap perkembangan ilmu. Karena —sebagaimana yang kita lihat pada perkembangan mutakhir bioteknologi— sudah kelihatan secara genetik bahwa seluruh manusia lebih banyak mempunyai persamaan ketimbang perbedaan. Perbedaan kita secara genetik hanya sekitar 0,0 %, sementara persamaan kita 99 % lebih. Perbedaan yang kita miliki secara esensial ini tak lebih dari produk-produk kebudayaan kita saja yang tidak punya landasan ilmiah sama sekali.

Kalau kita di Indonesia, ada buku yang ditulis oleh Maurice Bucaille tentang Sains dan Al-Qur’an yang membenarkan ayat-ayat Alquran yang sangat cocok dengan temuan-temuan sains.

Soal Maurice Bucaille ini, ketika pertama kali ia muncul sejumlah orang bersorak karena implikasi dari penjelasannya adalah Alquran sudah banyak berbicara sejak 14 abad sebelum penemuan-penemuan oleh ilmuwan cemerlang di seluruh dunia. Tapi mereka lupa bahwa teori-teori ilmiah itu bersifat tentatif, setiap saat bisa diubah oleh teori yang lebih bagus. Kalau para pendukung Bucaille tetap berpatokan dengan mencantolkan ayat dengan teori ilmiah maka mereka merisikokan ayat tersebut untuk suatu waktu dianulir pada saat teori ilmiah tersebut difalsifikasi. Contoh yang paling tepat ialah tentang dzarrah yang dalam terjemahan Alquran Depag disebut sebagai sebesar biji sawi.

Teori atom, saat dimunculkan mekanika quantum dengan berbagai pakarnya, telah menjelaskan secara panjang lebar tentang struktur terkecil alam semesta ini. Teori baru itu sudah menunjukkan bahwa penyusunan alam semesta adalah building block, bukan lagi dzarrah. Pendeknya, bukan sebuah partikel, tapi mungkin gelombang. Kalau kita mau konsisten dengan ini, maka ayat yang mendukung teori tersebut seharusnya juga sudah difalsifikasi. Sehingga, bagi saya, buku Bucaille ini cocok bagi mereka yang merasa rendah diri., tapi itu bukan cara yang sangat tepat untuk memajukan kultur ilmiah dan teknologi di masyarakat Muslim.[]

24/02/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Setelah membaca beberapa kali artikel ini, ada perasaan ingin ikut bergabung dalam diskursus yang menurut saya menarik dari Pak Irwan.

Sebenarnya apa sih persoalan kita selalu terfokus pada teori dan logos yang berputar pada legitimasi sebuah teknologi. Saya hanya coba untuk kembali pada logika sederhana bahwa teknologi hanyalah pisau dari perdaban manusia siapa pun dia adanya. Laboran, tukang sayur, asongan, semua punya teknologi yang dititipkan oleh Pemilik Realitas Pertama --meminjam bahasa Ibnu Sina-- untuk menghadapi realitasnya masing-masing.

Persoalan sains yang akhirnya berbuah bencana terjadi tatkala sistem manusia tak lagi berintegrasi dalam menganalisa sebuah fenomene sains. Misalkan, Revolusi Hijau di Indonesia pada 1980-an hanya berhasil mempercepat laju pemiskinan kaum tani yang tidak punya akses pada teknologi, karena dalam berebut paket Inmas harus berebut dengan tuan tanah dan birokrat yang lebih dekat pada penguasa Orba saat itu. Jadi sains yang netral telah diperalat untuk kepentingan kelas tertentu dan dijadikan ‘pisau’ pembunuh.

Pada dataran ini saya pikir perdebatan tentang legitimasi sains harus dibongkar dengan mengikutsertakan peran manusia sebagai Second Creator. Toh, teknologi pada dasarnya hanyalah bagian dari kebudayaan manusia, bahkan ruh peradaban --mengutip Sudjatmoko-- yang harus dimulai hidup dan bernafas dalam ranah kemajemukan manusia.

JIka dikaitkan dengan transisi demokrasi yang sedang terjadi, saya mengusulkan adanya demokratisasi teknologi bahkan reorientasi teknologi sebagai alat perjuangan kelas menuju kesetaraan dan kesederajatan. Peran kampus-kampus ‘pusat’ dalam menafsirkan teknologi pertanian harus diarahkan menuju desentralisasi. OK?

Tapi kaya’nya terlalu sederhana bila melihat kondisi saat ini. Pengajaran sains terpisah secara diametral dengan ilmu sosial. So, masih terjadi devide et impera di antara kita.

Minta kritik Mas!
-----

Posted by bahtiar arifin  on  03/14  at  01:03 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq