Aspirasi Parokial Khianati Demokrasi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
13/11/2006

Saiful Mujani: Aspirasi Parokial Khianati Demokrasi

Oleh Redaksi

Desentralisasi merupakan bagian dari usaha pematangan proses berdemokrasi. Namun desentralisasi yang liar juga dapat memicu munculnya aspirasi-aspirasi parokialistik dan mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi. Apa bentuk aspirasi-aspirasi parokialistik itu? Berikut perbicangan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kamis (2/11) lalu.

Saiful Mujani:

Aspirasi Parokial Khianati Demokrasi

Desentralisasi merupakan bagian dari usaha pematangan proses berdemokrasi. Namun desentralisasi yang liar juga dapat memicu munculnya aspirasi-aspirasi parokialistik dan mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi. Apa bentuk aspirasi-aspirasi parokialistik itu? Berikut perbicangan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kamis (2/11) lalu.

HAMID BASYAIB (JIL): Desentralisasi adalah bentuk transfer kekuasaan dari pemerintahan pusat kepada otoritas-otoritas di bawahnya, yakni pemerintahan daerah, agar kekuasaan lebih tersebar. Sekarang, kita melihat proses desentralisasi di Indonesia sudah irreversible, tidak mungkin dibalik lagi. Pertanyaannya: apa dampak positif dan negatifnya?

SAIFUL MUJANI: Peertama, tujuan awal desentralisasi adalah membuat pemerintahan demokrasi bekerja lebih efektif, karena pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan lebih cepat pada tingkat lokal (tingkat kabupaten) untuk hal-hal yang sangat penting bagi masyarakat di sana. Dengan begitu, tingkat partisipasi pemerintahan atau elite-elite lokal akan lebih menentukan kebijakan. Per definisi atau secara normatif, desentralisasi akan membuat pemerintahan lebih efisien, efektif, dan lebih cepat dalam pelaksanaan.

Dalam pemerintahan yang tersentralisasi seperti di masa lalu, proses pengambilan keputusan berlangsung begitu lama. Mungkin waktu itu terbantu karena sistemnya otoritarian, sehingga komando masih relatif bisa menentukan. Jarak yang begitu jauh antara Jakarta dan Papua relatif bisa dijangkau/diatasi.  Tapi kalau masuk sistem demokrasi, itu tak mungkin lagi dilakukan dengan cepat kalau tersentralisasi. Karena itu, di mana-mana sistem yang terdesentralisasi biasanya berkembang dalam konteks politik yang demokratis. Kita punya demokrasi, kerena itu desentralisasi bisa dikembangkan dalam konteks itu.

Kedua, dalam masyarakat kita yang sangat majemuk, dengan adanya desentralisasi akan tumbuh dinamika yang akan membuat kebijakan-kebijakan di pemerintahan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah bersangkutan. Dalam sistem sentralisasi, pukul rata sudah pasti tak bisa dihindarkan. Dengan desentralisasi, ada spesifikasi-spesifikasi yang bisa diterjemahkan dan diperjuangkan di tingkat lokal. Jadi intinya, desentralisasi akan membuat pemerintahan lebih efisien, efektif, dan lebih cepat. Itu garis besar aspek-aspek yang positif.

Kemudian aspek negatifnya: desentralisasi mengharapkan kesiapan kelompok-kelompok masyarakat dan elite-elite lokal untuk dapat menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam konteks perpolitikan nasional. Apabila komitmen terhadap nation state secara umum kurang begitu kuat, desentralisasi bisa menjadi masalah. Itu masalah utama yang harus diantisipasi.

Di samping itu, kalau budaya parokial di dalam masyarakat masih kuat maka akan muncul dinamika-dinamika di masyarakat yang mengartikulasikan kepentingan kelompok dominan dengan mengabaikan prinsip dasar demokrasi. Kelompok parokial adalah kelompok masyarakat yang ingin mendiktekan keyakinannya atau nilai-nilai yang mereka anut ke kelompok lain yang tidak menganut sistem tersebut dengan mensubordinasi kelompok yang tidak menganut sistem tersebut. Itu bisa berimplikasi pada pelemahan demokrasi itu sendiri dan menimbulkan konflik-konflik di tingkat lokal.

Kita sedang melihat itu di banyak tempat. Sebab pertama, pemerintah yang terdesentralisasi ini relatif masih baru. Kedua, walaupun kekuatan penegak hukum kita ada di daerah-daerah, tapi berdasarkan pengalaman selama ini, mereka juga lebih tersentralisasi. Sumber daya untuk penegakan hukum di tingkat lokal juga belum berkembang menggembirakan. Oleh karena itu, ketika dinamika, tuntutan, artikulasi, partisipasi yang parokial itu tumbuh di masyarakat, dibutuhkan perangkat hukum yang lebih bagus untuk membuat partisipasi tersebut tidak menimbulkan konflik dan anarki.

Jadi, aspek negatif dari desentralisasi kita untuk sementara adalah karena budaya masyarakat belum kompatibel betul dengan tuntutan desentralisasi yang demokratis. Di sisi lain, aparatur atau perangkat pemerintahan yang berkaitan dengan penegakan hukum dan untuk penciptaan dinamika politik yang sehat di tingkat lokal juga belum memadai/berkembang.

JIL: Desentralisasi bisa dikatakan lebih sejalan dengan demokrasi. Tapi Indonesia sebagai suatu unit memang terlalu besar. Karena itu, rantai pengambilan keputusan juga panjang dan pasti berpengaruh pada efektifitasnya...

Dalam konteks pemerintahan demokrasi sekarang ini—mungkin karena kita masih belajar berdemokrasi—kita tak jarang melihat keputusan-keputusan pemerintahan pusat bisa tidak disetujui oleh birokrasi di tengah. Birokrasi yang lebih di bawahnya mungkin setuju dengan aspirasi yang di atas. Yang di tengah itu misalnya dalam bentuk birokrasi yang di tingkat provinsi. Jadi, walau keputusan di pusat dibuat sangat bagus dan sejalan dengan aspirasi masyarakat, itu bisa saja terhambat oleh dinamika, gagasan-gagasan, dan kepentingan birokrasi di tingkat yang lebih bawah.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja dipotong bila kita punya sistem desentralisasi yang lebih mapan. Kita tidak bisa membayangkan kalau sistem kita masih sangat sentralistis, disertai sumber daya dan pengalaman berdemokrasi yang masih sangat terbatas. Dugaan saya, pemerintahan demokratis yang kita miliki sekarang kemungkinan akan lumpuh, menjadi tidak efektif. Saya melihat, desentralisasi adalah suatu upaya untuk menanggulangi kebuntuan tersebut. Tapi sayangnya, untuk sementara kita masih melihat kuatnya budaya parokial. Selain itu, kemampuan pemerintah lokal untuk menciptakan law and order juga tampak masih kurang.

JIL: Proses desentralisasi di negeri ini sudah berjalan sekitar tujuh-delapan tahun. Ada keberhasilan di sana-sini. Secara umum, hasilnya positif. Tetapi di sisi lain muncul juga fenomena benturan antar kelompok masyarakat. Salah satu sebabnya, sebagaimana Anda sebutkan tadi, adalah tingginya semangat parokialisme. Mungkin juga ada soal perebutan sumber daya. Menurut hasil riset Anda, apakah fenomena tersebut sudah pada tingkat yang merisaukan?

Kalau kita melihatnya secara keseluruhan, kita masih punya harapan. Kita masih optimis dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Tapi belakangan ini kita harus lebih hati-hati dengan konflik di tingkat lokal. Hal yang menggembirakan kita justru konflik itu tidak terjadi antar kabupaten. Jadi masih internal kabupaten. Itu pun akibat ketidakpuasan politik. Misalnya konflik pada Pilkada. Konflik tersebut tidak terjadi antara kelompok masyarakat kabupaten dengan kabupaten lain. Konflik terjadi di antara kelompok masyarakat di kabupaten yang sama, misalnya karena aspirasi politik berbeda dan karena ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada.

Ini lebih berkaitan dengan perilaku elite politik di tingkat lokal. Karena yang membuat konflik itu bukan masyarakatnya sendiri, tapi hasil mobilisasi elite. Itu sebenarnya refleksi dari konflik di tingkat elite. Bukan hanya elite politik, tapi juga elite sosial atau tokoh masyarakat. Lebih tepatnya elite sosial yang punya linkage atau hubungan dengan elite politik tertentu. Itu misalnya kita lihat dalam kasus kerusuhan di Banyuwangi dan Tuban. Yang berpartisipasi di situ adalah anggota masyarakat yang dimobilisasi oleh pemimpin-pemimpin masyarakat, bukan oleh pemimpin partai politik. Jadi hal seperti itu bisa saja terjadi. Saya melihat itu lebih karena faktor politik. Tapi hal itu berbeda dengan konflik Poso. Kita melihat di sana konfliknya bukan karena faktor persaingan karena yang satu kalah dan yang lain menang dalam Pilkada. Di Poso ada Pilkada gubernur, tapi berjalan dengan baik.

JIL: Jadi kasus Poso bukanlah dampak dari desentralisasi?

Bukan. Saya kira itu agak khusus. Kalau itu bagian dari dampak desentralisasi, mestinya ia tak hanya terjadi di Poso, tapi di semua daerah. Itu pasti. Tapi Poso kenyataannya unik. Jadi kita harus lihat kasus per kasus untuk tahu akar konflik masyarakat di daerah. Saya kira konflik itu tidak ada hubungannya dengan persoalan desentralisasi. Itu masalah perilaku masyarakat dan penegakan hukum saja.

JIL: Saya tertarik dengan pernyataan Anda bahwa tidak mulusnya proses demokratisasi yang diharapkan beriringan dengan proses desentralisasi terutama disebabkan budaya masyarakat yang belum kompatibel dengan spirit atau semangat demokrasi. Pertanyaannya: bagaimana caranya membuat budaya ini lebih kompatibel?

Budaya itu bukan sesuatu yang statis. Ia adalah hasil dari proses sejarah yang sangat dinamis. Jangan dianggap bahwa sebelum abad ke-20 budaya demokrasi di Eropa sudah sangat kuat. Tidak juga. Kita tahu bahwa sebelum tahun 1980-an, kita masih percaya bagaimana kuatnya budaya Konfusianisme yang dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi di Korea dan Cina. Tapi bersamaan dengan itu, ternyata demokrasi tumbuh berkembang dan stabil di negara-negara tersebut. Itu artinya apa? Artinya budaya demokrasi itu merupakan hasil dari proses belajar. Bukan sebagai sesuatu yang terberi atau given.

Dulu orang mengatakan demokrasi di Indonesia tidak mungkin berkembang karena kelompok masyarakat yang dominan adalah masyarakat Jawa. Mereka yakin sekali akan dugaan itu. Argumen-argumen yang umum mengatakan bahwa Soeharto begitu dominan karena budaya Jawanya. Tapi sebenarnya tidak begitu juga. Jadi ini lebih pada persoalan proses belajar tadi. Masyarakat semakin berkembang. Mereka belajar pada negara-negara lain bahwa pemerintahan yang efektif, meski tak sempurna, adalah pemerintahan demokratis; pemerintahan yang lebih mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan itu menjadi penting karena merupakan hasil dari proses belajar, hasil dari modernity juga. Karena itu, saya melihat semua ini merupakan suatu proses belajar.

Dan kalau kita berbicara tentang budaya, persoalannya sangat panjang. Perubahan budaya adalah perubahan yang sangat panjang. Engineering atau rekayasa perubahan budaya tidak terjadi kecuali melalui jalur pendidikan. Itu satu sisi. Di sisi lain, adanya tindakan-tindakan dan inisiatif dari elite politik yang punya komitmen kuat terhadap nilai-nilai demokrasi. Dalam elitist theory of democracy, dijelaskan bahwa sebenarnya kita jangan terlalu berharap pada massa untuk berperilaku demokratis. Atau jangan pula berharap mereka menjadi orang-orang yang sangat komitmen terhadap nilai-nilai kebebasan sipil atau civil liberty. Di mana-mana, massa berprilaku sama: tidak punya komitmen terhadap nilai-nilai. Itu satu hal yang biasa dan wajar terjadi.

Karena itu, yang paling penting adalah perubahan di tingkat elite. Misalnya, ketika kita menyebut konflik Pilkada merupakan hasil dari pertarungan elite, tepatnya elite yang tidak siap kalah. Atau bagaimana konflik terjadi ketika seorang bupati yang sudah terpilih tiba-tiba harus turun di tengah jalan. Di-impeach oleh anggota DPRD tanpa alasan yang jelas. Hal semacam itu menunjukkan bahwa elite-elite belum punya komitmen terhadap nilai-nilai prosedural di dalam berdemokrasi.

Karena itu saya berpendapat bahwa yang pertama dilakukan untuk memperkuat dan memperbaiki kualitas demokrasi kita harus dimulai dari elite. Kita melihat sistem sosial politik yang sekuler itu adalah bagian yang sangat sentral dari demokrasi. Tapi kita melihat juga apa yang terjadi di daerah-daerah: para elite kita ingin menerapkan syariat Islam. Mereka sebenarnya sudah menyimpang dari prinsip demokrasi. Kita pun tahu bahwa apa yang sedang terjadi di Aceh adalah pekerjaan (rekayasa) para elite politik. Dulu yang mengusulkan diberlakukannya syariat Islam di Aceh adalah Gus Dur. Sekarang pun perdebatan mengenai mekanisme pemberlakuan syariat Islam masih dilakukan para elite di DPR. Jadi komitmen dan pemahaman terhadap demokrasi di tingkat elite sangat menentukan. Desain dan kualitas demokrasi akan ditentukan oleh mereka.

Nah, bagi saya Aceh merupakan kasus yang sangat penting. Aceh kita sebut sebagai “sebuah pemerintahan daerah yang bersandar kepada syariat Islam dan ditetapkan secara demokratis”. Ini hal yang baru di sepanjang sejarah peradaban Islam di seluruh dunia.

JIL: Itu beda dengan Kelantan di Malaysia dan Teheran di Iran, ya?

Beda. Kita tahu kualitas demokrasi di Malaysia. Iran pun pertama-tama menancapkan syariat Islamnya lewat revolusi, bukan demokrasi. Sebenarnya apa yang terjadi di Kelantan dan Trengganu lebih merupakan kelanjutan dari tradisi lama Islam. Itu sebenarnya bukan sistem baru. Beda dengan Aceh. Dulu Aceh pernah menerapkan pemerintahan Islam di masa pra-kemerdekaan, tapi kita tahu, kemudian terjadi keterputusan sejarah. Ada keterputusan cukup panjang di mana pemerintahan Aceh sejak masa kemerdekaan sebenarnya adalah pemerintahan yang sekuler. Sekarang, ketika ada demokrasi dan ada aspirasi di tingkat elite, ironisnya elite sendiri yang justru membuat pemerintahan Islam di Aceh. Jadi ini buatan elite. Yang menarik dalam kasus Aceh adalah tidak adanya satu partai politik pun yang menolak aspirasi Piagam Jakarta dalam konteks pemerintahan Aceh.

JIL: Termasuk partai-partai “sekuler” atau yang nasionalistik?

Persis. Anehnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga mendukung penerapan syariat di Aceh. Tapi bagi mereka itu hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam. Itu kan sebenarnya aspriasi Piagam Jakarta. Aspirasi yang lebih keras tentang pemberlakuan syariat di Aceh datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Syariat Islam bagi mereka perlu berlaku bukan hanya untuk umat Islam, tapi bagi siapapun yang tinggal di Aceh. Jadi menurut saya, Aceh adalah test case: sejauhmana komitmen para elite politik di parlemen terhadap kebangsaan yang pluralistik.

Itu test case. Ternyata semuanya gagal. Tidak ada satupun kekuatan di parlemen yang menolak pemberlakuan syariat. Tidak ada satupun kekuatan di parlemen yang mengatakan, “Ok, syariat Islam diterapkan terhadap warga yang mau dan percaya bahwa syariat Islam itu harus ditegakkan oleh negara. Namun, kalau Saiful Mujani tidak percaya perlunya syariat Islam ditegakkan oleh negara, mestinya dia dikasih tempat juga, seperti di dalam hukum sekuler.”

Nah, kenyataan itu tidak mungkin terjadi kalau syariat Islam diterapkan negara. Kalau saya tinggal di Aceh, meskipun saya tidak setuju syariat, saya harus tetap taat. Jadi, Aceh adalah ujian atau kasus untuk melihat dan menguji komitmen demokrasi dari elite politik kita di parlemen maupun elite eksekutif kita secara nasional.

JIL: Ini kan belum diputuskan. Tapi Anda melihat kecenderungannya hampir pasti diputuskan begitu?

Dipastikan, aspirasi Piagam Jakarta akan menang untuk kasus Aceh. Kalaupun bukan versi PKS, mungkin versi yang lebih lunak. Mungkin versi yang menarik dan lucu adalah yang datang dari Partai Golkar. Isinya: syariat berlaku bagi semua yang beragama Islam dan juga bagi yang tidak beragama Islam, jika dia mau. Itu kan main-main namanya. Jadi sekali lagi, kasus Aceh adalah kasus yang sangat penting untuk menguji komitmen elite kita terhadap nilai-nilai dasar dari demokrasi.

JIL: Kalau beigtu, sulit menghindari istilah penghianatan terhadap falsafah dasar berdirinya negara ini?

Persis. Sekarang saya baru merasakan pentingnya Pancasila dan UUD 45. Kini orang sudah jarang memandang Pancasila sebagai sesuatu yang penting. Padahal inilah landasan dasar yang bisa menyelamatkan dan mempersatukan masyarakat kita yang bhinneka tunggal ika. Karena itu, jika desentralisasi tidak disertai dengan nilai-nilai tadi, maka yang mengemuka adalah agenda-agenda parokial yang dominan. Walaupun kita tahu, urusan agama adalah urusan nasional atau pusat, bukan urusan daerah.

JIL: Desentralisasi pun sebenarnya sudah menggariskan itu. Urusan agama, pertahanan, dan ekonomi adalah kewenangan pemerintah pusat, kan?

Ya, di mana-mana tetap begitu. Di Amerika misalnya. Di negara bagian manapun, tidak ada yang mata uangnya berbeda. Semuanya sama. Semua pakai dolar. Tidak ada yang pakai ringgit. Tapi Amerika tidak ngurusin agama. Dalam Undang-Undang Otonomi Daerah kita, urusan agama sudah ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat. Tapi ketika muncul aspirasi-aspirasi daerah yang menuntut hak untuk mengurusi itu juga, pemerintah pusat umumnya bersikap oportunistik. Mereka tidak mau mengambil resiko dan tetap komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Sebab, mereka punya persepsi bahwa masyarakat pada umumnya menginginkan penerapan syariat. Bagi saya, asumsi itu masih harus diuji.

JIL: Anda khawatir munculnya ”separatisme demokratis” di daerah-daerah lain juga?

Ya, misalnya seperti yang terjadi di Tangerang; di Bulukumba, Sulawesi Selatan; dan sebentar lagi Depok. Kalau ini sudah menjadi gejala umum, akan muncul undang-undang atau aturan-aturan yang non-publik. Undang-undang non-publik adalah undang-undang yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak, tapi harus diterima oleh siapapun meski latar belakangnya berbeda. Undang-undang ini adalah undang-undang parokial, yang merupakan aspirasi dari suatu kelompok agama atau sosial tertentu, bukan aspirasi dari semua kelompok.

Kalau suatu undang-undang dibuat lintas kelompok dan untuk kepentingan nyata, bukan yang abstrak bagi banyak orang, itu baru undang-undang publik. Dan kalaupun undang-undang yang diberlakukan di beberapa daerah itu (dipaksakan) menjadi undang-undang publik, itu adalah undang-undang publik parokialistik. Saya banyak belajar dari kasus-kasus ini. Ini mengkhawatirkan. Kayak PKS misalnya. Untuk kasus Aceh, partai ini menuntut aspirasi parokial yang maksimal: bahwa syariat Islam harus berlaku bukan hanya bagi pemeluk Islam, tapi juga pemeluk non-Islam.

Ini mengerikan. Kalau PKS menjadi kekuatan politik nasional, menjadi kekuatan mayoritas, kita bisa memperkirakan masa depan suram Indonesia. Bisa jadi UUD 45 dihapus; Pancasila diharamkan, dan akan diganti dengan Islam menurut persepsi mereka. Dan itu bisa dipicu dengan/oleh adanya desentralisasi. Bayangkan saja, Jakarta akan dikepung oleh kekuatan syariat dari daerah yang terdesentralisasi tadi. Mulai dari Depok, Tangerang, mungkin juga Banten. Itulah gambaran pesimistis tentang masa depan demokrasi kita dengan sistem yang terdesentralisasi. []

13/11/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Apa yang dipaparkan oleh saudara Saiful Mujani hanya sebuah kekhawatiran dan ketakutan yang tak berarti. Jangan takut saudaraku akan Islam. “Mereka-mereka” hanya mencari uang, uang dan uang. Menjual Islam dengan harga yg sangat rendah. Jangan takut saudaraku Saiful Mujani dengan Islam yg damai. Bukan Islam yang LIBERAL.
-----

Posted by azzam audah  on  11/20  at  12:12 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq