Azahari, Fundamentalisme, dan Terorisme - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
21/11/2005

Azahari, Fundamentalisme, dan Terorisme

Oleh Wiwit Rizka Fatkhurrahman

Ahli kimia yang menyabet gelar doktor di University Of Reading, Inggris itu, lahir di Malaka, 14 september 1957. Sejak kecil hingga dewasa, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas. Di jalur akademis, dosen pembimbingnya tak ragu untuk memberinya rekomendasi guna menempuh program doktoral. Tahun 1990, Azahari meraih gelar Philosophiae Doctor (Ph.D) dalam soal kajian model statistik dengan predikat cum laude.

Rabu sore (9/11) lalu, Vila Flamboyan No A 1/7, di kota Batu, Malang, menjadi saksi bagi akhir petualangan Dr. Azahari Husin, buron teroris nomor wahid di Indonesia, dan dua orang rekannya. Pasca peristiwa itu, nama Azahari kembali menjadi buah bibir banyak orang. Dari rentetan perjalanan hidupnya, kita membaca bagaimana Azahari yang mulanya awam akan gerakan-gerakan militan Islam, justru pada akhir hayatnya akrab dengan berbagai aksi teror yang menghebohkan.

Ahli kimia yang menyabet gelar doktor di University Of Reading, Inggris itu, lahir di Malaka, 14 september 1957. Sejak kecil hingga dewasa, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas. Di jalur akademis, dosen pembimbingnya tak ragu untuk memberinya rekomendasi guna menempuh program doktoral. Tahun 1990, Azahari meraih gelar Philosophiae Doctor (Ph.D) dalam soal kajian model statistik dengan predikat cum laude.

Sejak kuliah di Australia, tidak ada anasir radikal yang jadi minatinya. Dari pergaulannya dengan lingkungan, tidak ada pula tanda-tanda bahwa ia akan mengikuti dan memelopori gerakan-gerakan radikal. Ketika mengambil keputusan bersama istrinya untuk menjadi dosen di Fakultas Teknik dan Ilmu Geoinformasi UTM di Skudal, Johor Bahru, masyarakat sekitarnya pun menganggap Azahari sebagai sosok akademisi yang cerdas dan harmonis dalam keluarga.

Titik balik hidup Azahari baru bermula tahun 1991. Dia bergabung dalam sebuah kelompok pengajian (usroh) di Skudai. Sejak saat itu, jejak langkahnya seolah berbelok haluan. Tanpa banyak diketahui teman maupun dosennya, Azahari aktif di pesantren Lukmanul Hakim, yang belakangan diketahui sebagai tempat Amrozi dan Ali Ghufron alias Muchlas (dua terpidana mati kasus peledakan bom di Bali I) pernah mengaji.

Entah doktrin dan dogma apa yang merasuki Azahari sehingga jadi begitu militan dan keras. Dengan berbekal doktrin itu, Azahari menempa pengalaman di berbagai negara. Dia mengukuhkan dirinya sebagai seorang militan; otak intelektual pelbagai pengeboman di banyak tempat.

Tahun 1999, ia sudah disebut-sebut sebagai instruktur bom di kamp gerilyawan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Mindanao, Filipina Selatan. Setahun kemudian, bersama Hambali alis Encep Nurjaman, ia mengikuti kursus bom tingkat lanjut di Kandahar, Afganistan. Dan akhir Januari-Maret 2002, ia dan Noordin Mohammad Top berada di Thailand, menyusul Ali Imron yang lebih dulu tiba di sana setelah diburu pemerintah Malaysia atas dugaan keikutsertaan dalam jamaah Mujahidin.

Baru 5 Oktober 2002 Azahari menginjakkan kaki di Indonesia. Dari situlah bermulanya cerita pengeboman berdarah di tanah air. Azahari bersama Noordin Moh Top menjadi buah bibir setiap kali terjadi bom di berbagai tempat di Indonesia; bom Bali I (12 Oktober 2002) yang menewaskan 202 orang, bom di hotel JW. Marriott (5 Agustus 2005), bom di depan Kedubes Australia di Jl H. R. Rasuna Said, Jakarta, (9 September 2004), serta terakhir, Bom Bali II (1 Oktober 2005).

Cerita Lain Fundamentalisme

Dari perjalanan hidup Azahari, kita tidak menyangka, sosok mudanya yang cerdas dan ramah, tiba-tiba menunjukkan kemarahan. Jika melihat karirnya, kita jadi teringat pernyataan Karen Armstrong, yang meramalkan akan terjadinya fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20, yaitu munculnya fundamentalisme dalam tradisi keagamaan dunia.

Dalam ceritanya, Armstrong menggambarkan bagaimana para fundamentalis tega menembaki jamaah yang sedang salat di masjid, membunuh para dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu menggulingkan pemerintahan yang kuat (Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, 2001).

Fundamentalisme yang dimaksud Armstrong, tidak hanya terjadi dalam agama semitik saja--Yahudi, Kristen, dan Islam--tetapi menerpa seluruh agama-agama “formal” dunia. Fundamentalisme agama melambangkan keinginan kuat untuk kembali ke ajaran fundamental agama, dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali “duplikasi sejarah” agama itu pada kondisi saat ini. Lebih jauh Armstrong menjelaskan, fundamentalisme tidak hanya gerakan kembali ke akar, tetapi juga gerakan melawan modernitas yang dituduh mengakibatkan krisis multidimensi.

Pernyataan Armstrong menemukan pembenaran ketika kita melihat terorisme global dan kejahatan kemanusiaan universal yang menggunakan ajaran agama sebagai kedok dan legitimasi. Pengeboman WTC (11 September 2001), agresi meliter Amerika atas Afganistan yang sempat disebut “Crusade” oleh George W Bush, dan aksi-aksi kekerasan di Tanah Air menguatkan pendapat Armstrong.

Pelbagai pertunjukan kekerasan berkedok agama, termasuk serangkaian bom di beberapa tempat di tanah air, merupakan gambaran budaya keberagamaan kita saat ini. Dari petualangan Azahari yang menorehkan luka di berbagai tempat, yang acap kali memakai label agama, kita bisa membuktikan bahwa agama punyai potensi untuk membentuk pribadi yang beragam, mulai dari “ekstrim kanan”, hingga “ekstrim kiri”. 

Cara pandang dan penghayatan seseorang atas agama dan kepercayaannya, ditambah perkembangan sosial-relijius di lingkungannya, dapat saja kuat berpengaruh pada pola perilaku umat beragama umumnya. Penghayatan dan ekspresi keberagamaan masyarakat, niscaya tidak akan pernah tunggal, tapi selalu beragam dan warna-warni. Tafsir terhadap agama juga cukup beragam, sehingga kalau ia cukup mengakar juga akan ikut membentuk perilaku keberagamaan masyarakat.

Hasilnya adalah fundamentalisme umat Islam yang acapkali berbuah aksi-aksi kekerasan. Selain karena faktor-faktor sosial-politik-ekonomi, itulah dampak tafsir atas agama.

Fundamentalisme = terorisme?

Lalu apakah dengan begitu fundamentalisme akan selalu berujung pada terorisme? Kesan ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Yang perlu adalah kejelian serta kritisisme kita agar tidak menyeret agama ke dalam label terorisme. Inilah yang jadi persoalan.

Masalahnya, kini kita juga melihat indikasi telah disesatkannya istilah fundamentalisme. Fundamentalisme kini bukan lagi sekadar kategori sosiologis bagi pemeluk agama tertentu yang hendak kembali ke ajaran pokok, dasar dan asas dari agama, namun telah masuk dalam pencitraan negatif, seperti kepicikan, militansi, dan kecenderungan menafsirkan teks suci agama secara literal.

Contoh paling nyata dari citra negatif fundmentalisme Islam adalah peristiwa Rabu, 9/11, lalu, tepat di hari ke-5 idul fitri. Kita dikejutkan oleh aparat Australia yang menangkap 17 orang Islam yang dituduh sebagai aktivis teroris. Inilah penangkapan paling kolosal yang terjadi bulan ini terkait isu terorisme (Radar Banyumas, 10/11).

Namun lepas dari berbagai peristiwa di tempat lain tersebut, kekerasan atas nama agama yang beberapa tahun terakhir merebak di negeri ini, sejatinya tetap saja tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun. Agama, dan Islam khususnya, sejatinya mesti tetap ditegakkan sebagai rahmat bagi semesta alam, bukan laknat bagi kehidupan. Tantangan kita saat ini dan ke depan: mampukah kita mewujudkan peradaban dunia atas landasan rahmah dan perdamaian? Wallahu a’lam!

* Wiwit Rizka Fatkhurrahman, sekretaris eksekutif eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) di Semarang.

21/11/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

John Perkin dalam bukunya, Confession of Economic Hitman, membuka rahasia jahat Amerika Serikat mengusai negara-negara lemah seperti Indonesia. Indonesia ditawarkan program ekonomi dengan bantuan melebihi kemampuannya, dengan tujuan Indonesia tidak akan mampu membayarnya. Di saat Indonesia tidak mampu, di saat itulah Amerika bisa mengendalikan negara nusantara ini. Cara ini memberikan hutan ini adalah cara pertama untuk menaklukan sebuah negara. Jika cara ini gagal, maka dilakukan rencana ketiga mengutus para agen CIA untuk melakukan pembunuhan terhadap Presiden, seperti dilakukan terhadap Presiden Panama. Jika cara ini juga gagal, jalan terakhir melakukan perang seperti dilakukannya terhadap Irak dan Afganistan. Cara-cara kotor Amerika ini dalam rangka membangun imperium Amerika untuk mengusai dunia. Demikian resensi singkat dari John Perkin.  Pertanyaannya, apakah perang melawan terorisme atau menstreotype kan orang taat beragama dengan fundamentalis, adalah bagian dari skenario Amerika? Sidney Jones, seorang wartawan luarnegeri, menyisalir bahwa perang melawan terorisme dan melawan gerakan fundalmental adalah bagian dari skenario Amerika untuk menekan negara-negara lemah (baca negara Islam). Tujuan dari semua tidak lagi untuk membangun imperium Amerika itu.  Membaca buku Michael Todaro maupun William K. Tabb membentang bagaimana negara-negara industri maju mengusai negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Teori ekonomi baru atau endogen yang saat ini dipaksakan ke negera-negara berkembang, semakin membuat Indonesia sulit maju dan berkreasi untuk memajukan daerahnya sendiri. kuatnya hegemoni negara Barat, membuat Indonesia tidak berdaya. Istilahnya, Amerika batuk saja, Indonesia sudah terkena penyakit liver. Begitu harga BBM dunia naik, Indonesia ekonomi Indonesia goyang.  Kembali kepada gerakan fundalmentalis yang dilakukan Osama bin laden termasuklah Dr Azhari, bagi Amerika adalah duri yang merintangi ambisinya. Tidak ada cara lain, gerakan fundalmental harus dimusuhi bila perlu diperangi seperti Taliban di Afganistan.  Lalu, bagaimana dengan gerakan iklusifisme atau gerakan yang lebih mengutamakan substansi daripada simbol. Bagi Amerika, gerakan iklusifisme harus dijadikan kawan untuk melawan gerakan fundamental. Dukungan Amerika terhadap gerakan inklusifisme Islam tidak sedikit, caranya memberikan beasiswa untuk belajar di negaranya. Pada akhirnya, yang satu dimusuhi yang lainnya dijadikan sahabat. Puncak dari skenario ini, Amerika akan mengadudomba, maka terjadi permusuhan yang begitu dalam dalam tubuh negara Islam. Jika terjadi kekacauan, maka Amerika tidak perlu lagi untuk melakukan perang.  Secara pribadi, saya setuju gerakan fundamental islam yang benar-benar mengkaji Islam secara murni. Bukan Islam yang mengajarkan permusuhan atau menebar kebencian kepada agama lain. Walaupun mengkaji Islam secara murni ini hanya bersifat normatif, paling tidak Islam janganlah dikotori dengan dogtrin permusuhan atau kebencian terhadap agama lain. Kemudian, iklusifisme juga sangat penting, lebih mengedepankan semangat kemanusian ketimbang ilahiah. Catatanya, karena mementingkan perihal kemanusian, lalu melupakan Allah itu juga tidak baik. Konsep ini bisa menghilangkan identitas Islam. Keduanya baik dan bagus, satu kuncinya, janganlah menebar permusuhan dan kebencian sesama umat manusia. Manusia terbaik di sisi Allah adalah manusia yang banyak berbuat baik bagi sesama, bukan malah menjadi mesin pembunuh bagi manusia lainnya.  Untuk negara Amerika dan Eropa, apapun yang datang dari negara maju itu, janganlah malah menghilangkan identitas Islam. Memang ada mengatakan identitas itu tidak penting, tapi Amerika dan Eropa justru mengekspor identitasnya kepada negara-negara lain. Kenapa kita tidak eksplor identitas kita sendiri. Sekian.
-----

Posted by rosadi  on  11/23  at  06:11 AM

Saya kecewa baca artikel yang malas penggarapannya. Detail tentang jumlah yang tewas bersama Azhari salah, dan cerita tentang penangkapan tersangka terorisme di Australia gak jelas juntrungan serta ujung pangkalnya, apalagi kutipannya dari Radar Banyumas! Dan dibalik unsur-unsur pelorot mutu itupun tak ada gagasan yang ditawarkan ataupun diolah, kecuali cerita pernah baca Karen Armstrong. Saya anjurkan redaksi lebih teliti soal mutu tulisan apalagi mengingat JIL sudah dijadikan sasaran oleh kelompok teroris.Mari kita bahas.

Salam hangat, Bram

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  11/22  at  01:11 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq